Kabar Buruk dari Ekonomi Dunia, BI Ramal Melambat Jadi 2,8% di 2024

Kamis, 21 Desember 2023 - 16:23 WIB
loading...
Kabar Buruk dari Ekonomi Dunia, BI Ramal Melambat Jadi 2,8% di 2024
Ekonomi dunia diproyeksikan oleh Bank Indonesia bakal melambat tahun ini dan bakal tambah parah memasuki 2024. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) , Perry Warjiyo menyebut, bahwa perekonomian dunia saat ini bakal melambat, meski ketidakpastian pasar keuangan mulai mereda. Dia menyebut, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tahun 2023 lebih baik dari prakiraan awal ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspansi pemerintah.

"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 sebesar 3,0% dan melambat menjadi 2,8% pada 2024," ungkap Perry dalam Konferensi Pers Hasil RDG BI di Jakarta, Kamis (21/12/2023).

Sementara itu diterangkan oleh Perry, ekonomi China melemah seiring dengan konsumsi rumah tangga dan investasi yang tumbuh terbatas.

"Inflasi di negara maju, termasuk di AS, dalam kecenderungan menurun tetapi tingkatnya masih di atas sasaran. Suku bunga kebijakan moneter, termasuk Fed Funds Rate (FFR), diprakirakan telah mencapai puncaknya namun masih akan bertahan tinggi dalam waktu yang lama (high for longer)," sambung Perry.



Demikian pula yield obligasi pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, diprakirakan dalam kecenderungan menurun tetapi tingkatnya masih akan tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah.

"Kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju tersebut mendorong mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global," tambah Perry.

Sehubungan dengan itu, aliran modal sejauh ini mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia.

"Ke depan, sejumlah risiko dapat kembali meningkatkan ketidakpastian perekonomian dunia, di antaranya masih berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara termasuk China, serta masih tingginya suku bunga kebijakan moneter dan yield obligasi di negara maju," pungkas Perry.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2059 seconds (0.1#10.140)