Menko Polhukam Minta Waspadai Aksi Provokasi

Rabu, 14 Februari 2018 - 11:17 WIB
Menko Polhukam Minta Waspadai Aksi Provokasi
Menko Polhukam Minta Waspadai Aksi Provokasi
A A A
JAKARTA - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta agar seluruh pihak mewaspadai isu-isu provokatif yang akhir-akhir ini cenderung meningkat, terutama isu yang mengarah pada suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Wiranto juga sudah menginstruksikan kepada aparat kepolisian untuk tetap menjaga keamanan secara ekstra, terutama saat ini sudah memasuki tahun politik.

”Tapi harapan saya agar media, masyarakat, sementara bersikap tenang tidak terganggu ikut meributkan. Mengapa? aparat keamanan diinstruksikan lebih waspada dalam rangka menjaga agar kerawanan pemilu atau pilkada bisa ditekan serendah-rendahnya sehingga pada saat hari H nanti, semuanya bisa berjalan dengan tertib dan aman,” tandas Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.

Wiranto pun memastikan bahwa akan ada sanksi tegas kepada provokator yang memain kan isu-isu menyinggung SARA.

”Kami sudah instruksikan aparat keamanan untuk menindak tegas semua usaha yang membuat pemilu ini ternoda atau tidak aman. Ini enggak ada kompromi. Ini masalah kehormatan bangsa, masalah kemaslahatan kita bersama.

Enggak bisa main-main. Tunggu saja nanti hasil penyelidikan kepolisian agar dilaporkan kepada saya juga, tentu wartawan dapat informasi lebih lengkap,” ujarnya.

Senada diungkapkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Fadli mengecam serentetan serangan terhadap tokoh keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini.

Karena itu, dia mendesak Polri agar mengusut tuntas aksi-aksi brutal ter sebut, termasuk motif para pelaku. ”Aksi penyerangan terhadap jamaah dan pimpinan Misa di Gereja Lidwina Sleman, Yogyakarta, jelas melukai kita. Saya mengecam tindakan tak beradab tersebut. Tindakan itu sama sekali tak mencerminkan ajaran agama manapun,” tandasnya.

Namun di sisi lain, Fadli juga meminta agar masyarakat jeli menilai kejadian tersebut. Apalagi, kejadian serupa bukan pertama kali terjadi.

”Jangan sampai kita gampang menuduh seolah aksi terhadap kelompok A pastilah disebabkan kelompok B, atau sebaliknya, sebab saya mencium aroma adu domba antar kelompok di sini, baik antarkelompok yang berbeda agama, maupun antarkelompok dalam satu agama,” paparnya.

Jika ditarik lagi ke belakang, lanjut Fadli, sebelum peristiwa kekerasan di Gereja Lidwina, tercatat setidaknya ada empat serangan serupa yang kebetulan menimpa pemuka kalangan Islam dari ormas yang berbeda-beda.

Pertama, kekerasan terhadap KH Emron Umar Basyri, pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, seorang tokoh NU.

Kedua, serangan terhadap Ustad Prawoto, salah satu tokoh Persis (Persatuan Islam) yang akhirnya meninggal dunia.

Ketiga,serangan terhadap seorang santri dari Pesantren Al Futuhat Garut, oleh enam orang tidak dikenal.

Dan keempat, serang an terhadap Ustad Abdul Basit, yang dikeroyok sejumlah orang di Jalan Syahdan, Pal merah, Jakarta Barat.

Serangan-serangan tersebut menurut dia terlihat memiliki pola target yang sama. Sasarannya adalah tokoh atau kelompok keagamaan. Menariknya, sejumlah penyerang yang berhasil diidentifikasi juga memiliki identitas tunggal, yaitu diduga sebagai orang gila.

”Kejadian-kejadian tadi jadi ada polanya sehingga jangan heran jika ada sebagian dari kita yang menduga bahwa saat ini sedang ada semacam upaya adu domba antarumat beragama di sini, apapun kepentingannya,” tandas politikus Partai Gerindra ini.

Isu agama, lanjutnya, adalah isu sensitif, sehingga aparat kepolisian harus bekerja cepat dan transparan agar tidak muncul spekulasi dan prasangka yang bisa memicu konflik di tengah masyarakat. Terlebih di tahun-tahun politik seperti sekarang.

Upaya-upaya yang mengarah pada adu domba, membentur-benturkan masyarakat, akan semakin banyak. ”Itu sebabnya pe merintah, dalam hal ini aparat keamanan, harus bisa mengantisipasi agar peristiwa serupa tak terulang lagi,” ujarnya. Dari sisi keamanan, rentetan tindak kekerasan ini merupakan tamparan bagi pemerintah. Ini menunjukkan pemerintah belum bisa memberikan jaminan rasa aman.

Padahal, ulama, santri, pendeta, dan jemaat gereja adalah warga negara yang berhak mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah. Apa lagi, pemerintah juga baru menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama dan Kerukunan Bangsa pekan lalu. ”Kenapa tiba-tiba bisa muncul kejadian seperti ini? Ini teguran bagi kedisiplinan pemerintah, khususnya aparat keamanan,” tandasnya.

Pengamat terorisme dari Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya mengatakan, di era generasi milenial ini masyarakat sudah semakin cerdas terhadap isu-isu yang berkembang, termasuk isu SARA.

Menurut dia, pada 2018- 2019, isu radikalisme hingga SARA masih akan terus dikembangkan di samping isu pemilu.

Selama ini, sebut Mustofa, isu teror tempat ibadah dan penyerangan aparat kepolisian masih bisa dipakai. Namun, yang akan datang di era milenial, semua orang sudah memegang smartphone. Dampaknya, informasi banyak bertaburan di media sosial sehingga masyarakat tidak mudah percaya narasi yang dilontarkan pemerintah.

”Orang-orang sudah memegang media sosial dan sudah tidak lagi bergantung pada informasi konvensional. Mereka bisa mencari dari sumber-sumber lain. Karena itu, trik tentang kekerasan terorisme itu pasti tidak akan mudah dipercayai karena polanya sudah bisa dihafal oleh generasi milenial ini,” ungkapnya. (Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4781 seconds (0.1#10.140)