Mengantisipasi Perselisihan di OBOR

Rabu, 14 Februari 2018 - 07:52 WIB
Mengantisipasi Perselisihan di OBOR
Mengantisipasi Perselisihan di OBOR
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

TIONGKOK memiliki sebuah rencana untuk membentuk badan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam proyek One Belt One Road (OBOR). Rencana ini dapat dianggap sebuah langkah yang progresif dan menunjukkan keseriusan Tiongkok untuk menjadi pemain yang menentukan di panggung ekonomi dan politik dunia.

Tiongkok menyiratkan bahwa lembaga ini akan berbeda dengan lembaga penyelesaian yang pernah dikenal seperti di dalam WTO yang umumnya berbasiskan paradigma hukum ala Anglo Saxon. Lembaga arbitrase ini kabarnya akan mendahulukan sebuah konsensus daripada hukuman.

Kebutuhan adanya lembaga penyelesaian perselisihan menjadi penting mengingat OBOR saat ini telah mencapai 64 negara atau menyangkut nasib hampir 62% dari jumlah total seluruh penduduk negara di dunia. Tiongkok mendeklarasikan OBOR ini pada akhir 2013 saat pertemuan tingkat tinggi antara ASEAN dan Tiongkok.

Semenjak Donald Trump menjabat sebagai presiden AS dan mulai meninggalkan kesepakatan-kesepakatan dagang internasional, inisiatif OBOR menjadi semakin menonjol dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi tulang punggung perdagangan internasional baru. Oleh sebab itu, pendirian sebuah lembaga penyelesaian masalah yang timbul atau akan timbul dari beberapa kerja sama yang telah disepakati menjadi sebuah kebutuhan yang juga mendesak.

Inisiatif pembangunan OBOR mewakili dua tujuan ambisius. Pertama, adalah mengembangkan dua rute perdagangan utama yang menghubungkan Eropa, Afrika, dan Asia-Pasifik yang sering disebut Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economy). Jalur ini adalah jalur tradisional melalui perdagangan darat yang menghubungkan Tiongkok dengan dataran Eropa. Jalur ini melintasi Asia Tengah dan Barat, juga Eropa.

Kedua, adalah Jalan Sutra Maritim (Maritime Silk Road) yang meliputi jalur perdagangan melalui perairan lautan atau maritim yang melintasi Asia Tenggara, Oceania, dan Afrika Utara.

Total jumlah proyek-proyek yang telah didanai Tiongkok hingga saat ini mencapai 1.700 kerja sama. Penyaluran dana sebagian besar dilakukan dan dipimpin oleh badan usaha milik negara (BUMN) Tiongkok yang bekerja sama dengan dana dari China Silk Road Fund (CSRF).

CSRF adalah sebuah lembaga dana investasi yang berbasis di Beijing sejak 2014. Selain CSRF, proyek-proyek itu juga menghimpun dana para investor yang bergabung Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).

Lembaga keuangan multilateral ini secara formal memiliki misi memperbaiki kesenjangan dana pembangunan infrastruktur di Asia. AIIB ditandatangani oleh 57 negara dan menyetujui 37 anggota baru sehingga jumlah keanggotaan yang disetujui menjadi 84 negara.

Tidak semua proyek yang didanai oleh Tiongkok berjalan mulus, dan ini yang juga menjadi salah satu alasan mendesak untuk segera memulai pemikiran mendirikan lembaga penyelesaian perselisihan. Beberapa proyek yang sempat menjadi masalah antara lain penolakan masyarakat atas dibangunnya Bendungan Myitsone pada 2011 dengan nilai investasi USD3,6 miliar. Pemerintah Myanmar terancam untuk mengembalikan dana USD800 juta yang telah dikeluarkan investor Tiongkok.

Pemerintah Sri Lanka juga pernah menangguhkan proyek dari investor The Colombo Port City Project senilai USD1,4 miliar pada 2015. Proyek ini didanai lewat China Communications Construction Company Limited (CCCC), salah satu BUMN Tiongkok.

Alasan penundaan adalah ketidakterbukaan pelaksanaan investasi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek tersebut. Proyek disetujui pada masa Presiden Mahinda Rajapaksa, tetapi kemudian ditunda keberlanjutannya oleh Maithripala Sirisena sebagai presiden terpilih yang baru pada 2015.

Kasus-kasus tersebut menjadi pelajaran bagi Tiongkok untuk segera membentuk format penyelesaian apabila ada perselisihan. Tiongkok sendiri telah mendorong pengadilan di dalam negeri untuk menerapkan asas timbal balik pengakuan putusan pengadilan dengan negara-negara yang terlibat di OBOR pada 2015.

Kebijakan dilanjutkan dengan keputusan besar Beijing untuk menandatangani Hague Convention on Convention on Choice-of-Court Agreements tentang dimungkinkannya pengakuan atas keputusan pengadilan di negara-negara penanda tangan pada 2017. Untuk saat ini, hanya Uni Eropa, Meksiko, dan Singapura yang telah meratifikasi konvensi ini.

Selain terlibat dalam alternatif tersebut, Tiongkok juga telah memikirkan untuk membangun lembaga arbitrase sendiri. Menurut rencana, Mahkamah Agung Rakyat akan mendirikan sebuah pengadilan komersial internasional di Beijing, Xi’an, dan Shenzhen.

Lembaga pertama yang akan didirikan di Xi’an khusus untuk menangani perselisihan komersial terkait dengan lahan di sepanjang Silk Road Economic Belt. Sementara lembaga kedua yang ada di Shenzhen, terutama akan berurusan dengan litigasi dari Maritime Silk Road. Markas besar akan didirikan di Beijing.

Tujuan dari pembentukan badan arbitrase adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi kontrak-kontrak yang sudah disepakati, menyediakan jalan keluar bagi setiap perselisihan, melakukan mediasi dan arbitrase untuk bisnis yang terkait dengan segala yang berhubungan dengan OBOR.

Gagasan ini mungkin menjadi tantangan buat Indonesia yang menjadi salah satu negara yang aktif di OBOR. Kita masih belum mendapat gambaran apakah Tiongkok akan menerapkan sebuah peradilan atau model penyelesaian seperti di WTO yang terkenal dengan sanksi perdagangannya atau lebih mengedepankan negosiasi.

Potensi konflik perdagangan Indonesia dan Tiongkok terkait dengan proyek-proyek yang sudah disepakati tidak tertutup kemungkinan akan terjadi ketika ada pergantian kekuasaan di dalam negeri yang memiliki arah dan kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan saat ini.

Indonesia hingga saat ini telah mendapat perpanjangan kerja sama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dari 100 miliar renminbi (yuan) menjadi 130 miliar yuan atau setara Rp266,09 triliun. Pinjaman dari PBC ini akan dipakai untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Kita memiliki pengalaman bagaimana Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang baru membatalkan investasi reklamasi hasil kesepakatan pemerintahan yang lama. Ini adalah salah satu contoh terjadinya perubahan kebijakan karena perubahan kekuasaan walaupun tidak ada investor Tiongkok di sana.

Contoh lain yang akan kita hadapi adalah proyek kereta api cepat Jakarta–Bandung kerja sama antara BUMN Indonesia dan Tiongkok yang selama ini menjadi sorotan dan materi kampanye politik. Proyek ini bisa kemungkinan ditunda atau direnegosiasi apabila terjadi pergantian kekuasaan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0021 seconds (0.1#10.140)