Meneladani Tradisi Kesatria di Pilkada DKI Jakarta

Senin, 12 Februari 2018 - 06:02 WIB
Meneladani Tradisi Kesatria di Pilkada DKI Jakarta
Meneladani Tradisi Kesatria di Pilkada DKI Jakarta
A A A
Muhammad Ikbal
Ketua KPU Jakarta Selatan

Pada 27 Juni 2018, Indo­nesia akan mengadakan pilkada serentak gelom­bang ketiga setelah pilkada serentak sebelumnya pada 2015 dan 2017. Terdapat 171 daerah yang melakukan pe­mi­lihan kepala daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 ka­bupaten.

Pilkada Serentak 2018 melibatkan lebih dari 160 juta pemilih yang berarti lebih dari 80% penduduk Indonesia. De­ngan jumlah daerah yang besar itu tentu memiliki tingkat kon­flik sosial yang tinggi. Salah satu yang dapat memicu konflik so­sial adalah ketidaksiapan pa­sangan calon menghadapi ke­kalahan.

Padahal sejatinya, sang pe­me­nang bukan hanya milik pa­sangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Calon yang se­cara kesatria memberi jalan bagi pesaing yang menang dalam mewujudkan mandat rakyat juga dapat disebut sebagai pe­me­nang.

Sebab di atas seluruh kontestan yang bertarung ter­da­pat pemenang sejati, yaitu rak­yat itu sendiri. Melalui man­dat yang diterima melalui pil­kada itulah rakyat menanti hasil kemenangannya yaitu daerah yang lebih baik dan maju dalam usaha memperbaiki kehidupan.

Dalam pilkada memang membutuhkan kesatria-ke­sa­tria yang mampu rendah hati dan berbesar hati. Bagi yang me­nang, sudah semestinya tetap rendah hati sehingga tidak me­nambah luka hati bagi yang kalah. Inilah sikap kesatria.

Se­ba­liknya, bagi yang kalah, de­ngan sikap ikhlas hati juga bisa menerima dengan lapang dada kemenangan pihak lawan. Hal ini juga sikap kesatria. Jika dua sikap kesatria ini berkumpul, maka jalan lebih mudah untuk mem­buktikan kemenangan rakyat dapat makin bisa dicapai.

Pembelajaran Pilkada DKI Jakarta

Soal sikap kesatria, seluruh calon kepala daerah yang ber­saing di Pilkada Serentak 2018 perlu membaca catatan pada Pilkada DKI Jakarta yang telah menggelar pilkada tiga kali, yaitu pada 2007, 2012, dan 2017. Salah satu aktor yang ba­nyak memberikan pembe­la­jar­an sikap kesatria adalah Fauzi Bowo pada 2012. Saat itu dia menjabat Gubernur DKI Jakar­ta petahana yang dikalahkan pendatang baru di dunia per­po­li­tikan Jakarta: Joko Widodo-Ba­suki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok).

Banyak orang menyebut pe­menang Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu adalah pasangan Jo­kowi-Ahok. ­Padahal pemenang sebenarnya ada dua: Jokowi dan Fauzi Bowo. Jokowi me­nang karena berhasil meraih per­olehan suara terbanyak se­hingga ditetapkan Komisi Pe­mi­lihan Umum (KPU) sebagai Guber­nur DKI terpilih, sedang­kan Fauzi menang karena ber­hasil memberikan pembela­jar­an de­mo­krasi yang memikat.

Si­kap Fauzi yang simpatik dalam me­respons hasil Pilkada DKI pada September 2012 itu men­da­pat­kan apresiasi banyak ka­lang­an, termasuk dari Jokowi yang saat itu baru dinyatakan sebagai gu­bernur terpilih.

Bahkan, Fauzi Bowo turut aktif mempersiapkan transisi pemerintahan. Meskipun kalah dan harus meninggalkan biro­krasi pemerintahan daerah DKI Jakarta yang telah puluhan ta­hun dirintisnya, Fauzi tidak nga­mbek atau berusaha meng­ganjal pesaingnya yang akan menggantikannya.

Setelah Jokowi ditetapkan KPU DKI se­bagai Gubernur DKI terpilih, Fauzi tetap menjalankan tu­gas­nya seperti biasa. Dia justru me­nyiapkan transisi peme­rin­tah­an secara smooth dan meng­on­di­si­kan jajaran SKPD sampai ting­kat bawah untuk bersiap-siap menerima kepemimpinan baru di bawah Gubernur Joko­wi. Fauzi juga meminta seluruh jajaran Pemprov DKI mendu­kung Jo­kowi dan tetap bekerja keras meng­hadirkan Jakarta yang lebih maju dan sejahtera.

Apa yang dilakukan Fauzi Bowo itu mirip dengan dila­ku­kan Adang Daradjatun pada Pil­kada DKI 2007. Kandidat Gu­bernur DKI yang berpasangan dengan Dani Anwar diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyampaikan ucapan selamat kepada Fauzi Bowo se­saat setelah sejumlah lembaga survei yang melakukan quick count mengunggulkan pa­sang­an Fauzi-Prijanto. Meskipun hasil resmi KPU belum di­umum­kan, Adang dengan pe­nuh kesatria mengakui keka­lah­an­nya dan meminta seluruh pen­dukungnya untuk men­du­kung gubernur terpilih, Fauzi Bowo.

Tradisi kesatria para calon itu berlanjut pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Agus Hari­mur­ti Yudhoyono (AHY) dan Sil­via­na Murni yang menempati po­si­si ketiga perolehan suara pada pu­taran pertama langsung me­nun­jukkan sikap kesatria meng­­akui kekalahan. Peng­aku­an kalah tersebut diucapkan sen­diri oleh AHY dalam kon­fe­rensi pers di Posko Pemenangan Agus-Sylvi di Wisma Pro­kla­ma­si, Jakarta Pusat.

Agus juga meng­ucapkan selamat ke­pada pasangan calon nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Dja­rot Saiful Hidayat (Ahok-Dja­rot) dan pasangan calon no­mor urut 3 Anies Baswedan-San­diaga Uno (Anies-Sandi). Be­gitu pun Basuki Ahok-Djarot menunjukkan sikap kesatria dengan mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi.

Al Gore yang mengakui ka­lah saat melawan George Bush Jr pada Pemilu Presiden Ame­rika Serikat tahun 2000 dengan penuh kearifan berucap, "Ke­ka­lahan dan kemenangan adalah jalan untuk memuliakan jiwa kita." Kalimat tersebut menarik dan menginspirasi. Keberanian mengakui kekalahan dan me­nyampaikan selamat atas ke­me­nangan lawannya, tidak akan dilakukan politisi yang se­lalu berobsesi mengejar kursi dan komisi.

Meskipun men­je­lang pemungutan suara selalu di­la­kukan deklarasi damai yang menegaskan komitmennya siap menang dan siap kalah, siap terpilih dan siap tidak terpilih, tapi pada kenyataannya, keba­nyakan politisi hanya siap me­nang dan terpilih. Mereka tidak siap kalah, apalagi mau meng­akui kemenangan rival. Sikap itu hanya bisa dilakukan oleh seorang negarawan yang lebih mengedepankan kepentingan orang banyak daripada ke­pen­tingan diri dan kelompoknya.

Catatan pembelajaran de­mokrasi dari ketiga Pilkada DKI Jakarta ini patut menjadi con­toh bagi pasangan calon di 171 dae­rah yang menggelar pilkada ta­hun ini. Seyogianya sikap ke­sa­tria Fauzi Bowo, AHY, dan Ahok menjadi teladan semua politisi di Indonesia, terutama para calon yang akan bertarung di pilkada.

Para politisi harus memper­ton­tonkan demokrasi indah serta enak ditonton. Ke­berhasilan pe­milu di Indonesia jangan dirusak oleh pihak yang kalah dengan menghujat ki­ner­ja KPU. Keti­dakberdayaan KPU untuk me­nyelenggarakan pe­mi­lu yang sempurna meru­pa­kan persoalan normatif dalam sebuah kerja sangat besar dan berat.

Selamat berkompetisi para kesatria di Pilkada Se­ren­tak 2018.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1466 seconds (0.1#10.140)