Zakat sebagai Tax Credit

Senin, 12 Februari 2018 - 07:29 WIB
Zakat sebagai Tax Credit
Zakat sebagai Tax Credit
A A A
Faozan Amar
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA dan Direktur Eksekutif
Al Wasath Insitutute

Wacana yang dilon­tar­kan Menteri Agama Lukman Hakim Sai­fud­din tentang pembayaran za­kat dengan cara memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS) mus­lim menimbulkan polemik. Se­be­lumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melon­tar­kan gagasan tentang perlu­nya pengelolaan zakat meng­ikuti pola pengelolaan pajak.

Terkait dengan polemik ter­se­but, Sri Mulyani mengatakan bah­wa di satu sisi, mereka (PNS) ada kewajiban yang berda­sar­kan kepada kepercayaan aga­ma. Di sisi lain, ada kewajiban juga sebagai institusi untuk mem­bayar pajak. "Kami akan la­kukan secara harmonis untuk itu." (SINDOnews.com, 7/2 ).

Ada pihak yang pro dan kon­tra dalam menanggapi wacana ter­sebut. Bagi yang pro, alasan yang diajukan adalah negara se­dang mengalami kesulitan ke­uangan sehingga perlu mencari sumber-sumber keuangan baru untuk membiayai pem­ba­ngun­an.

Jadi, daripada cari utang te­rus, mengapa tidak meng­op­ti­mal­kan sumber dana umat yang ada? Sementara pihak yang kon­tra berargumen bahwa ti­dak etis dana umat digunakan un­tuk membangun infra­struk­tur karena aturan syariah pe­run­tukannya berbeda.

Terlepas dari pro dan kontra atas wacana tersebut, hal yang menarik adalah mulainya dana yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infak, se­de­kah, wakaf, dan dana haji dilirik oleh pemerintah.

Tentu hal ini sa­ngat wajar dan beralasan ka­re­na tidak terlepas dari be­sar­nya potensi dana umat tersebut yang apabila dapat dikelola de­ngan baik dan benar akan dapat membantu pemerintah secara langsung dalam membangun infrastruktur yang ada di Indo­ne­sia. Apalagi menurut Baznas, potensi zakat di Indonesia men­capai Rp217 triliun.

Zakat Kewajiban Agama

Menurut lisan al-Arab, zakat (al-zakaat ) ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, ber­kah dan terpuji; semua digu­na­kan dalam Alquran dan ha­dis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya (Amar; 2009). Firman Allah "Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta me­re­ka, dengan zakat itu kamu mem­ber­sihkan dan menyucikan mere­ka" (QS At Taubah; 103).

Sementara menurut istilah, zakat itu ialah nama suatu iba­dah wajib yang dilaksanakan de­ngan memberikan sejumlah ka­dar tertentu dari harta milik sen­diri kepada orang yang ber­hak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam (Amar; 2009). Menurut Qardhawi (2007), zakat dari isti­lah fikih yang berarti sejum­lah harta tertentu yang diwa­jib­kan Allah untuk diserahkan ke­pa­da orang-orang yang berhak.

Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan dise­butkan secara beriringan de­ngan kata salat pada 82 ayat Al­quran. Allah SWT telah me­ne­tapkan hukum wajib atas zakat sebagai­mana dijelaskan dalam Alquran, sunah Rasul, dan ijma ulama. Hukum menunaikan za­kat ada­lah wajib bagi setiap mus­lim yang telah memenuhi kriteria.

Pengelolaan Zakat

Dalam sejarahnya, penge­lo­la­an zakat sebelum era 1990-an ma­sih dikelola dengan cara kon­vensional dan tradisional. Baik dari segi manajemen peng­him­punan, pengelolaan (ke­uang­an), maupun dalam pen­da­ya­gunaannya. Hal ini karena ma­sih terbatasnya kualitas sumber daya manusia, yakni amil yang men­jadi pengelola zakat.

Pe­ne­litian Chalikhuzi (2009) me­ne­mu­kan beberapa isu utama dalam pengelolaan zakat. Per­ta­ma, masih rendahnya penge­ta­hu­an zakat yang berakibat keti­da­kefektifan pengumpulan za­kat. Hal ini berimplikasi pada perlunya sosialisasi zakat guna meningkatkan kesadaran da­lam membayar zakat.

Kedua, rendahnya tingkat keimanan. Ketiga, adanya perbedaan pan­dang­an tentang fikih zakat. Ke­em­pat, aktor transparansi yang masih rendah dari lembaga zakat yang berimplikasi ter­hadap rendahnya pem­ba­yar­an zakat pada lembaga zakat.

Menurut Didin Hafidhud­din (2011), untuk menggali po­tensi zakat, maka ada empat lan­gkah yang dilakukan. Per­ta­ma, sosialisasi dan edukasi ke­pa­da masyarakat. Kedua, pe­nguatan amil zakat sehingga men­jadi amil yang amanah, te­per­caya, dan profesional.

Keti­ga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan keten­tu­an syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Keempat , sinergi dan koordinasi atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, regional, na­sional, dan internasional) mau­pun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, orga­ni­sasi-organisasi Islam, per­gu­ru­an tinggi, dan media massa.

Pengelolaan zakat meng­alami perkembangan signi­fi­kan sejak berdirinya Dompet Dhua­fa pada 1992. Ini meng­ubah pengelolaan zakat dari cara-cara yang konvensional dan tra­di­sional menuju ma­na­jemen zakat yang modern, amanah, dan profesional.

Pun­cak­nya dengan lahirnya UU No­mor 38/1999 yang kemudian direvisi lagi men­jadi UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang di da­lam­nya meng­atur zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini dapat dilihat dari transparansi dalam pengelolaan zakat, baik dalam menghimpun, me­nge­lo­la, maupun menya­lur­kan, amil yang bekerja secara pro­fesional, kantor yang repre­sen­tatif, pub­li­kasi di media massa, dan se­ba­gainya.

Jadi, apa yang sekarang di­wa­canakan oleh Menteri Aga­ma sebenarnya bukan hal baru. Misalnya, PNS muslim di Pem­prov DKI Jakarta setiap bulan dipotong 2,5% untuk mem­ba­yar zakat oleh Bazis DKI. Bah­kan, sewaktu Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur, walaupun dia nonmuslim, gaji­nya dipotong 2,5%.

Kalau zakat yang dibayarkan oleh PNS muslim dihitung se­ba­gai pengurang pajak (tax credit ) seperti di Malaysia yang diba­yar­kan melalui Pusat Pungutan Zakat (PPZ), saya kira akan ba­nyak yang setuju.

Jika Menteri Agama serius dengan waca­na­nya, benahi dulu regulasinya, yak­ni dengan mengusulkan ke DPR perubahan UU Penge­lo­la­an Zakat yang mengatur zakat sebagai tax credit dan sanksi bagi yang tidak membayarnya. Tanpa hal itu, maka itu hanya pen­citraan dan dampaknya Presiden Joko Widodo akan men­jadi sasaran tembak kaum oposisi. Wallahualam.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2618 seconds (0.1#10.140)