Negara Wajib Merespons Ekses LGBT

Selasa, 06 Februari 2018 - 08:00 WIB
Negara Wajib Merespons Ekses LGBT
Negara Wajib Merespons Ekses LGBT
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI

Negara memang harus segera merespons gaya hidup komunitas les­bian, gay, biseksual, dan trans­gen­der (LGBT) yang kian marak dan terbuka dengan segala ek­ses­nya. Respons negara melalui per­aturan perundang-un­da­ng­an sangat diperlukan untuk me­ng­akomodasi aspirasi masya­ra­kat yang resisten terhadap ke­cenderungan itu. Namun, da­lam menyikapi keberadaan k­o­munitas LGBT harus tetap ber­pijak pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Penegasan sikap negara ber­sifat mendesak karena gaya hi­dup komunitas LGBT tidak ha­nya menggambarkan hal-hal tidak lazim, tetapi juga sudah menghadirkan rentetan ekses yang sangat mengerikan. Selain rangkaian kasus pesta seks dan perkawinan sejenis, ekses gaya hidup LGBT bahkan sudah meng­­hadirkan kasus pem­bu­nuh­an berantai, menyebarkan virus HIV AIDS, serta mem­bi­dik dan menjaring anak-anak di bawah umur untuk dijadikan anggota komunitas. Jika me­ng­acu pada sejumlah data historis tentang ekses itu, muncul kesan bahwa negara sesungguhnya sangat terlambat melahirkan peratur­an perundang-undang­an yang berfokus pada pengen­dalian gaya hidup komunitas LGBT.

Akibatnya, masyarakat me­li­­hat dan merasakan bahwa ko­munitas LGBT kini tidak hanya leluasa mengekspresikan gaya hidupnya, tetapi leluasa pula me­la­kukan sejumlah tindakan yang terindikasi pidana. Ekses atau horor dari komunitas ini pun sudah terlihat sejak lama. Pada 2012 dan 2008, terungkap dua ka­sus pembunuhan be­rantai yang dilakukan dua orang gay. Pem­bunuhan berantai itu dila­ku­kan oleh Very Idham Hen­­yan­sah alias Ryan, 34, saat di­­tangkap pada Juli 2008), dan Mujianto alias Menthok alias Genthong, 24. Ryan mem­bu­nuh 11 orang pasangan seje­nis­nya karena cemburu. Pun ka­re­na cemburu, Mujianto me­ra­cu­ni 15 teman pasangan se­je­nis­nya sejak 2011, dan empat di antaranya tewas.

Pembunuhan oleh Ryan me­nyita perhatian karena dit­e­mukannya tujuh potongan tu­buh manusia di Jalan Ke­ba­gus­an Raya, Jakarta Selatan, yang dibuang di tempat ber­beda. Belakangan diketahui ma­yat korban mutilasi tersebut ber­na­ma Heri Santoso. Pem­bu­nuhan karena alasan cemburu pa­sa­ngan sejenis terus ber­lan­jut. Pada November 2017, Ba­drun, 43, membunuh pasangan se­je­nis­nya, Iman Maulana, 19. Ma­yatnya dibuang di Terminal Kam­pung Rambutan, Jakarta Timur. Badrun cemburu karena Iman menjalin cinta dengan seorang wanita. Di Bogor, hu­bungan cinta sejenis antara So­lihin, 32, dengan Deni, 26, pun berujung tragis. Solihin tewas di tangan Deni pada Mei 2016. Di Indramayu, polisi menangkap Rahman ka­rena diduga mem­bu­nuh pasa­ngan seje­nis­nya, Mukana, 48, pada September 2017. Tidak hanya horor akibat aksi pem­bunuhan, beberapa desa pun sudah terguncang oleh adanya perkawinan sejenis. Pada Juli 2017, warga Jember dihe­boh­kan oleh pernikahan pasangan sejenis, Muhammad Fadholi, 21, warga Dusun Plalangan, Desa Glagahwero, Kecamatan Panti dan Ayu Puji Astutik, 23, warga Dusun Krasak, Desa Pancakarya, Kecamatan Ajung. Belakangan diketahui bahwa Ayu ternyata laki-laki.

Di Sulawesi Selatan, warga Dusun Erelebu, Kelurahan Eka­tiro, Kecamatan Bontotiro, Ka­bupaten Bulukumba, juga di­he­bohkan oleh perkawinan pa­sa­ngan sejenis. Kedua mempelai sama-sama berkelamin perem­puan. Pernikahan antara Rah­mat Yani alias Rahmayani, 28, dengan kekasihnya, Safira Nu­rul Husna, 20, terjadi pada Ming­gu 17 Sep­tem­b­er 2017. Se­mentara di Pur­worejo, Jawa Te­ngah, po­lisi se­tem­pat me­­ne­tap­kan se­orang pe­rem­puan ber­inisial NAA, 27, se­ba­gai ter­san­gka kasus pe­mal­su­an iden­titas. Iden­­titas palsu itu akan digu­nakan pelaku un­tuk bisa me­­nikah dengan pa­sa­ngan se­jenis. NAA berniat me­nikahi W, 27, warga Desa Si­doleren, Gebang, Purworejo.

Pada September 2015, Bali pun dihebohkan dengan kasus pernikahan dua pria pada se­buah hotel di Ubud. Sementara Jakarta dibuat heboh oleh peng­gerebekan pesta seks kaum gay di dua lokasi pada Mei dan Ok­tober 2017 di Kelapa Ga­ding dan di Harmoni. Sed­i­kit­nya 141 pria di­amankan Pe­tu­gas Polres Me­tro Jakarta Utara dari Ruko Ko­kan Permata, K­elapa Gading Ba­rat. Dari lokasi T 1 Sauna di Har­moni, Polres Metro Jakarta Pusat me­nang­kap 51 pria saat pesta ber­lang­sung. Pada April 2017, warga Surabaya pun di­ke­jutkan peng­gerebekan pesta gay di sebuah hotel.

Dari 14 pria yang ditangkap, lima di antaranya positif meng­idap HIV. Bahkan, warga Aceh pun terkejut ketika pasangan gay (liwath) berinisial MH, 20, dan MT, 24, harus menjalani 80 kali hukuman cambuk di depan umum pada Mei 2017 di Kota Banda Aceh. Itulah gambaran tentang rangkaian ekses dan horor akibat perilaku tak ter­kendali komunitas LGBT. Su­dah waktunya negara mening­katkan kepeduliannya.

Aspek Pe­mi­da­na­an
Karena sulit me­ne­mukan pasangan, kelompok-kelompok LGBT tak jarang memb­idik dan menjebak rema­ja serta anak-anak di bawah umur. Kecen­de­ru­ngan inilah yang patut di­was­pa­dai negara. Dalam peng­ge­re­bek­an kasus pesta seks kelompok gay di Ci­an­jur pada 13 Januari 2018, po­lisi mengamankan se­orang pe­lajar yang mengaku d­i­paksa me­ngikuti kegiatan me­nyim­pang itu, setelah sebe­lum­nya dice­ko­ki minuman keras.

Dalam catatan akhir 2017, Lembaga Perlindungan Anak In­do­nesia (LPAI) melaporkan bah­wa persoalan LGBT atau ke­ke­ra­san seksual sudah menjadi per­ma­salahan nomor dua bagi anak. Se­panjang 2017, ada 28 kasus anak kor­ban kekerasan; 17 kasus ke­ke­ras­an seksual, 9 kasus kekerasan fisik, dan 2 kasus ke­ke­rasan psikis. LPAI me­ng­ingatkan, ketidak­se­no­noh­an sek­sual sesama jenis ter­hadap anak memiliki kadar ke­burukan yang luar biasa, yaitu pe­nyesatan orientasi seksual anak.

Perilaku heteroseksual anak dirusak dengan menjebak anak-anak mengadopsi perilaku ho­mo­seksual. Terdapat sejumlah fak­ta yang mendukung laporan LPAI itu. Pada pekan pertama De­­sember 2017, misalnya, Pol­da Ka­l­bar menyergap kelompok LGBT di Pontianak. Kelompok yang beranggotakan ribuan orang itu tidak hanya me­nye­barkan virus HIV AIDS, tetapi juga menjaring anak-anak di bawah umur. Satu dari empat orang yang disergap polisi ber­status pelajar SMA. Masih De­sember 2017, warga Ja­bo­d­e­ta­bek dikejutkan kasus ke­ke­rasan seksual terhadap puluh­an anak di Desa Tamiang, Ke­ca­mat­an Gu­nung Kaler, Kabu­paten Ta­ngerang. Pelakunya, guru honorer Wawan Sutiono alias Babeh, 49. Jumlah korban penyimpangan seks si guru tercatat 41 anak berusia 6-15 tahun.

Selain me­maksa dan menjebak pelajar ser­ta anak-anak di bawah umur, kelompok-kelompok gay juga agresif mempromosikan gaya hidup mereka. Penetrasi mere­ka pada kehidupan remaja dan anak-anak sangat di­mung­kin­kan karena adanya jaringan media sosial. Kelompok gay di Pontianak, bisa menjaring ri­buan anggota dengan media so­sial. Tim siber kepolisian se­tempat mene­mu­kan akun media sosial yang menampilkan dan membagikan foto, serta aja­­kan kepada ma­syarakat un­tuk mengikuti gaya hidup me­reka.

Kecenderungan ini tentu saja bukan hanya terjadi di Pon­tianak, melainkan juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Ma­ka itu, desakan kepada negara untuk mewaspadai ke­cen­de­ru­ngan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Pada 2012, Ke­menterian Kesehatan me­nge­luar­kan data yang menye­but­kan ada 1.095.970 pria penyuka seks sesama jenis. Per­tum­buh­an jumlah pria tipe ini diduga cukup pesat, karena tahun lalu sudah muncul perkiraan bahwa popu­lasi kaum gay sudah men­capai 3% dari total populasi In­do­ne­sia, atau sekitar 7 juta orang. Kalau jumlah ini aktif mem­pro­mo­sikan gaya hidup mereka, ten­tu saja akan sangat meng­kha­wa­tirkan.

Karena itu, negara harus segera bersikap de­ngan me­ner­­bitkan per­atur­an per­undang-unda­ng­an yang ber­­­fokus pada pengen­da­li­an gaya dan cara hidup ko­munitas LGBT. Kita men­desak ne­gara bersikap te­gas. Un­tuk me­ngen­da­likan dan meng­hentikan pe­nga­ruh gaya hidup LGBT, DPR se­dang mengagendakan pe­nam­b­a­h­an materi atau per­luasan pemidanaan perilaku LGBT dalam Rancangan Kitab Undang-un­dang Hukum Pi­dana (RKUHP).

Komunitas LGBT tak perlu khawatir ber­le­bihan, karena pe­nam­bahan ma­teri pemidanaan itu tetap ber­pijak pada prinsip HAM. Ar­tinya, mereka yang ter­kategori sebagai LGBT atau se­se­orang dengan orientasi sek­sual ber­­beda tidak serta-merta bisa langsung dipidana, jika tidak mempertontonkannya di ruang publik, sebab LGBT mau­pun per­bedaan orientasi sek­sual pada prinsipnya bisa di­sem­buhkan. Faktor lain yang pa­tut diper­ha­tikan dengan sung­guh-sungguh oleh ko­mu­ni­tas LGBT adalah me­nguatnya resistensi masyarakat terhadap perilaku ini.

Masyarakat keba­nyakan su­dah sangat kha­watir seba­gai­ma­na tecermin dari rang­kai­an ekses dan horor yang sudah disebutkan di atas. Jangan sampai ma­sya­rakat melakukan tin­da­kan main ha­kim sendiri terhadap ko­mu­ni­tas LGBT. Maka itu, pe­nam­bah­an materi pemidanaan hen­dak­nya ditanggapi sebagai upaya negara mengendalikan dan bahkan jika memungkinkan se­bagai upaya menghentikan gaya hidup dan perilaku LGBT di ruang publik.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1693 seconds (0.1#10.140)