Tahun Abu: Begini Teladan Umar bin Khattab Saat Negara Menghadapi Bencana

Senin, 18 Desember 2023 - 07:26 WIB
loading...
Tahun Abu: Begini Teladan Umar bin Khattab Saat Negara Menghadapi Bencana
Rakyat jelata umumnya makin cinta kepada kepala negaranya, makin tertarik pada kebijakannya. Ilustrasi: art station
A A A
Wabah penyakit dan kelaparan sempat melanda di masa Khalifah Umar bin Khattab . Penyebab terjadinya wabah ini karena di seluruh Semenanjung itu sama sekali tidak turun hujan selama sembilan bulan.

Tidak itu saja. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan dan semua tanaman di atasnya. Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran. Oleh karena itu tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah).

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyorot bagaimana kebijakan politik Umar selama musim paceklik yang sangat berat itu.



Menurutnya, tindakan yang sangat menonjol adalah sikap Umar dan disiplinnya yang begitu keras terhadap dirinya. Dia samasekali tidak tertarik untuk menikmati segala kemudahan yang ada, padahal Islam tidak menyuruh orang berlaku demikian.

"Dia melakukan itu untuk merasakan apa yang dirasakan kaum duafa dan orang-orang tidak mampu," ujar Haekal.

Umar bin Khattab berkata: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan."

Karena itulah ia menurunkan taraf hidupnya ke tingkat hidup orang-orang miskin yang makan hanya dari hidangan yang tersedia, duduk bersama-sama dengan ribuan orang yang kelaparan untuk sekadar menyambung hidup.

Ia makan bersama-sama mereka dan tidak mau makan di rumahnya supaya jangan ada yang mengira bahwa ia mengutamakan dirinya dengan makanan yang tak terjangkau oleh masyarakatnya yang masih dalam kekurangan.



Dengan tindakannya itu ia telah membuktikan tujuan yang sungguh mulia: Pertama, merasakan penderitaan orang lain sehingga ia terdorong untuk melipatgandakan perjuangannya dalam memperhatikan nasib mereka dan bekerja untuk mengatasinya.

Kedua, untuk menenteramkan hati kebanyakan orang bahwa Amirulmukminin bersama-sama mereka dalam suka dan duka.

Hati mereka tidak memberontak, bahkan dengan senang hati mereka menerima segala yang telah menimpa mereka itu, sebab orang terpenting dalam negara itu bersama-sama senasib sepenanggungan dengan mereka.

Umar telah mencapai dua tujuan itu begitu cemerlang, hal yang belum pernah dicapai oleh seorang kepala negara dan bangsa mana pun.

Umar melihat bahwa kewajiban pertama seorang kepala negara membuat hidupnya sendiri setingkat dengan kehidupan kebanyakan rakyat bangsanya.



Sungguhpun begitu ia membiarkan orang yang mampu untuk mengembangkan modalnya serta mengeksploitasi tanah untuk memanfaatkan hasilnya yang terbaik, untuk menambah dengan itu hasil komoditas dengan mengandalkan pada kecermatan kerja agar produksi dan hasil bumi berlipat ganda.

Akibatnya, rakyat jelata umumnya makin cinta kepada kepala negaranya, makin tertarik pada kebijakannya. Mereka bersedia berkorban demi kebijakan yang semacam itu.

Kedudukan kepala negara terasa makin agung di mata mereka yang mampu dan berkedudukan, karena mereka melihat bagaimana ia begitu dekat di hati rakyat dan sangat mencintai mereka. Tak terlintas dalam pikiran siapa pun hendak menentangnya atau mengadakan perlawanan.

Haekal mengatakan hubungannya dengan segenap lapisan masyarakat yang beraneka ragam itu bertambah erat juga adanya, sebab hubungan kepala negara dengan semua lapisan seperti hubungan jantung dengan badan, membagi aliran keperluan hidup dengan sangat adil, dan semuanya diarahkan ke suatu tujuan demi kebaikan bersama.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1415 seconds (0.1#10.140)