Arab Saudi Berlakukan PPn, DPR Segera Bahas BPIH 2018

Kamis, 11 Januari 2018 - 10:15 WIB
Arab Saudi Berlakukan PPn, DPR Segera Bahas BPIH 2018
Arab Saudi Berlakukan PPn, DPR Segera Bahas BPIH 2018
A A A
JAKARTA - Komisi VIII DPR akan segera berkoordinasi dengan pemerintah guna melakukan pembahasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) 2018.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong menyatakan, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) guna membicarakan masalah ini dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 5% ditiadakan.

"Dengan alasan, PPN diperuntukkan atau dikenakan bagi dunia usaha. Sedangkan haji adalah ibadah, bagaimana mau dikenai pajak. Kalau untuk katering dan akomodasi, itu dimungkinkan. Tapi, kalau orang berhaji dipajakin kan tidak rasional," ucapnya di Gedung DPR, Rabu (10/1/2018).

Menurut Ali, terkait BPIH telah terjadi dinamiika di luar dugaan di mana Pemerintah Arab Saudi menetapkan pengenaan PPN sebesar 5% bagi setiap jamaah haji. Kalau 5% dihitung dari biaya haji, itu akan cukup berat. Karena itu, dia menyesalkan keputusan penetapan dan pemberlakuan PPN 5% atas jemaah ibadah haji dan umrah seluruh dunia, yang diberlakukan secara sepihak oleh Pemerintah Arab Saudi. Pihaknya pun belum menemukan rumusan untuk membatalkan kebijakan itu.

Ali juga menyayangkan kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu tanpa melakukan konsultasi atau meminta pendapat terlebih dahulu kepada negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mengirimkan jemaah ibadah haji maupun umrah setiap tahunnya.

"Kalau melihat dari definisinya, maka PPN itu terkait persoalan jasa antara kegiatan-kegiatan ekonomi atau kegiatan antara bisnis produsen dan konsumen. Pertanyaannya adalah apakah jemaah haji dan umrah itu dianggap sebagai jemaah atau konsumen, sehingga dikenakan PPPN," ucapnya.

Politisi PAN itu menyampaikan, Komisi VIII akan mengundang Kemenag dan instansi terkait untuk membicarakan solusi atas kenaikan PPN 5% itu. Persoalan ibadah haji dan umrah tidak bisa diukur dengan nilai uang, tetapi kepuasan jemaahlah yang lebih penting.

"Kalau kenaikan PPN 5% untuk sektor lain masih bisa dipahami, tetapi kalau jemaah yang dikenakan PPN, maka ini yang menjadi masalah. Timbul pertanyaan lainnya juga, yaitu mau melekatkan di anggaran mana, apakah masuk indirect cost (beban APBN) atau masuk dalam direct cost (biaya langsung). Sementara masalah PPN ini adalah menyangkut beban individual," ungkapnya.

Begitu pun dengan Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar Endang Maria Astuti, mengimbau Pemerintah segera mengklarifikasi kenaikan PPN 5% oleh Pemerintah Arab Saudi. Setelah diklarifikasi, pemerintah bisa bernegosiasi dengan Arab Saudi sekaligus menghitung ulang komponen biaya haji. "Kenaikan pajak itu pasti berdampak pada semua biaya komponen haji dan umroh. Harus segera diambil terobosan oleh pemerintah melalui duta besarnya di Arab Saudi," ucapnya di Gedung DPR.

Menurutnya, Indonesia merupakan pengirim jamaah haji terbesar di dunia. Harusnya pemerintah Indonesia mampu bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi dalam posisi tawar sebagai pengirim jamaah terbanyak. Ada beberapa komponen biaya haji yang mungkin saja terkoreksi sebagai imbas dari kenaikan PPN itu. Misalnya, katering, hotel, dan maktab yang selama ini sangat signifikan memengaruhi biaya haji.

"Saya berharap, tiga komponen itu tidak naik. Sementara biaya konsumtif lainnya seperti pakaian jamaah tidak terlalu signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan haji. Kalau kenaikan terus dibebankan kepada jamaah, ini jadi keprihatinan kita," ungkapnya.

Bila kenaikan PPN 5% itu berimbas pada biaya komponen penting haji dan umroh, maka pemerintah harus segera mengambil langkah penyesuaian biaya. "Sebisa mungkin tidak memberatkan calon jamaah haji dan umroh. Kami harapkan negosiasi pemerintah bisa gol, sehingga pembiayaan haji tidak naik," tegasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.6286 seconds (0.1#10.140)