Waspadai Sentimen SARA di Tahun Politik

Jum'at, 05 Januari 2018 - 11:04 WIB
Waspadai Sentimen SARA di Tahun Politik
Waspadai Sentimen SARA di Tahun Politik
A A A
JAKARTA - Sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara seretak pada tahun 2018. Pada tahun ini pula, tahapan Pemilu 2019 dimulai.

Menghadapi perhelatan tersebut, potensi pemanfaatan identitas primordial dan kultural dikhawatirkan dapat menimbulkan anarkisme sosial.

Tidak hanya itu, isu hoax yang diwujudkan melalui narasi radikalisme di dunia maya, eksploitasi agama dalam kepentingan politik juga berpotensi munculnya sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang berujung kebencian, kekerasan dan bahkan radikalisme.

Untuk itu seluruh elemen masyarakat diminta untuk tetap mewaspadai isu-isu yang dapat memecah persatuan dan harus dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan antarumat di Tanah Air agar persatuan bangsa dapat dijaga dengan baik.

“Tentunya juga perlu peran dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat pemuka agama untuk menyampaikan kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing dalam situasi politik 2018 nanti," kata Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment, Ahmad Syafii Mufid, di Jakarta, Kamis 4 Januari 2018.

Dia juga mengingatkan kalangan legislatif dan eksekutif turut serta menjaga keharmonisan. "Itu sangat perlu sekali dan harus karena di tahun 2018-dan 2019 nanti semua harus seperti itu,” ujarnya.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta ini mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan ujaran kebencian, apalagi dengan menggunakan isu SARA. "Itu harus ditinggalkan karena itu dapat menimbulkan perpecahan di antara kita,” ujarnya.

Untuk menghentikan ujaran kebencian, kata Mufid, wacana yang harus dimunculkan adalah bagaimana hendaknya membangun kesejahteraan dan menegakkan keadilan untuk semua.

“Nanti kalau ada orang atau kelompok baik kelompok biasa atau elite kemudian mereka mengucapkan ucapan-ucapan yang cenderung kepada kebencian itu akan menjadi hina. Hal ini dikarenakan iklim pada tahun 2018 tidak lagi memainkan isu-isu premodial, tapi yang dimainkan adalah isu-isu keadilan dan kesejahteraan,” tutur Ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini .

Menurut dia, perlu ada kebijakan atau aturan hukum yang ketat agar kelompok-kelompok yang ingin membuat suasana menjadi ‘panas’ tidak memperkeruh keharmonisan masyarakat yang sudah terjaga

Yang diperlukan saat ini, lanjut dia, bukan memperbanyak aturan yang mengekang tapi seluruh masyarakat harus dapat membangun dengan pranata-paranata yang baru.

“Dengan hukum dan peraturan yang ada sering kali ditafsirkan macam-macam seperti dalam media, perdebatan yang tidak pernah selesai karena berputar pada masalah itu-itu saja,” katanya.

Mufid menyarankan para elite politik saling bertemu dan berbicara. Dia juga menyarankan para presenter atau moderator dalam acara dialog televisi tidak terkesan mengadu. Para elite, kata dia, justru harus diminta untuk memecahkan solusi. “Sehingga masyarakat kita akan diberikan pelajaran bahwa sesungguhnya elite politik ada yang tipenya provokator atau ada elite yang tipenya memberikan solusi dan inovasi, nantinya masyarakat dapat menilai," tandasnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8661 seconds (0.1#10.140)