Djohan Effendi, Dialog dan Persatuan Indonesia

Jum'at, 24 November 2017 - 07:31 WIB
Djohan Effendi, Dialog dan Persatuan Indonesia
Djohan Effendi, Dialog dan Persatuan Indonesia
A A A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Pemerhati Budaya

INDONESIA kembali ke­hi­lang­an salah satu tokoh penting. Men­teri sekretaris negara di era Presiden Abdurrahman Wa­hid, Djohan Effendi, me­ning­gal dunia di Geelong, Aus­tra­lia, Jumat (17/11). Sejak be­be­rapa tahun belakangan ini, dia berkutat dengan kondisi ke­se­hatannya yang terus me­nu­run. Dia dikabarkan sudah em­pat kali mengalami serangan stroke. Menurut keluarga, je­na­zah Djohan tidak akan di­pu­lang­kan ke Indonesia, tapi di­ma­kamkan di Geelong.

Pria yang lahir di Kan­dang­an, Hu­lu Sungai Selatan, Kali­man­tan Selatan, 1 Oktober 1939 itu di­ke­nal sebagai cen­de­kia­­w­an mus­lim terkemuka, pe­mi­kir teo­logi keberagaman, dan pe­rintis dia­log lintas agama. Pe­mikiran Djo­h­an senada dengan ­pe­mi­kir­an Abdurrahman Wa­hid atau Gus Dur, yang ditandai de­ngan ke­terbukaan, toleransi, dan amat meng­hargai per­be­da­an. Pe­mi­kir­an demikian jelas amat positif ba­gi bangsa yang ma­j­emuk ini.

Jika dikaji, pemikiran ter­se­but bertolak dari kenyataan bah­wa agama-agama besar s­e­per­ti Yahudi, Kristen, dan Islam me­rupakan pewaris satu ke­ya­kin­an yang sama, yakni iman Ibr­a­him (”Abrahmic Religion”). Le­luhur dari ketiga agama besar ini adalah Ibrahim, yang men­jun­jung monoteisme. Jadi, anak-cucu Ibrahim perlu hidup ru­kun dan saling menghargai, de­mi perdamaian dunia.

Tidak heran, guna men­do­rong dialog, Djohan gemar meng­­ibaratkan para penganut ag­a­­ma samawi sebagai umat yang sama-sama mendiami se­buah rumah besar yang banyak ka­marnya dan masing-masing mem­punyai ka­mar sendiri. Saat di dalam ka­mar,setiap peng­hu­ni kamar bisa meng­gunakan dan merawat ka­mar­nya sendiri-sen­diri serta bo­leh berbuat apa pun di dalamnya. Na­mun saat ber­ada di ruang ke­luar­ga atau di ruang ta­mu, ke­pen­t­ingan masing-masing kamar di­le­bur un­tuk ke­pen­tingan rumah ber­­sa­ma. Jadi, p­a­­ra penghuni ru­mah tanpa mem­persoalkan asal ka­­mar masing-masing harus ber­satu merawat rumah itu dan mem­­pertahankannya secara ber­sama-sama dari serangan yang da­tang dari luar.

Pemikiran tersebut jelas amat co­cok dengan kebinekaan In­do­ne­­sia. Apalagi para pendiri bang­sa sudah mewariskan se­m­bo­yan ”Bhin­neka Tunggal Ika”. Sem­bo­y­an ini berasal dari kitab Su­ta­so­ma (1380) karangan Em­p­u Tan­tu­lar di zaman kejayaan Ma­j­a­pa­hit. Lengkapnya berb­u­nyi ”Bhi­n­ne­ka tunggal ika, tan ha­na dharma mengrwa ”. Berbeda-beda cara ber­­agama, tetapi se­mua­nya satu da­lam kebenaran tertinggi.

Maka Djohan juga amat ter­bu­­ka terhadap pemikiran apa pun yang bisa mempertemukan s­e­­sama anak-cucu Ibrahim, khu­sus­n­ya yang mendiami ne­ge­ri ini. Mi­salnya pemikiran pe­re­nia­lis­me. Seperti diketahui, is­tilah pe­re­n­ialisme pertama kali di­gu­na­kan Agustinus Steuc­chus dalam bu­kunya, De Pa­renni Philosophia, ter­bit 1540. Frithjof Schuon juga me­nulis Is­lam Filsafat Perenial (Mi­zan 1998). Filsafat atau pe­mi­kiran ini meyakini bahwa ­ke­be­nar­an abadi selalu berada di pusat se­­mua tradisi spiritual entah Hin­­­du, Kristen, atau Islam.

Menurut Djohan yang di­ke­nal luas sebagai sosok yang jujur dan sederhana, perenialisme sa­­ngat cocok dan relevan, ka­re­na bi­sa menghindarkan peng­anut aga­m­a dari fanatisme buta atau pe­mikiran radikal yang sempit.

Lagipula, dalam sejarah su­dah terbukti perenialisme amat po­sitif sumbangannya, sebab se­lalu mencoba menyadarkan se­tiap pemeluk agama bahwa se­tiap agama punya pekerjaan ru­mah (PR) yang sama, yakni me­­majukan persaudaraan an­tar­manusia tanpa memandang aga­ma dan alasan primordial lain, komitmen pada per­da­mai­an, dan antisegala diskriminasi, ke­kerasan, dan penindasan.

Untuk itu, setiap pemeluk aga­ma perlu terus mendorong ter­jadinya dialog, kerja sama, dan segala bentuk interaksi p­o­si­tif demi persaudaraan sejati di da­lam satu bumi yang sama, yang diciptakan oleh Satu Pen­cip­ta yang sama pula.

Sayangnya, dalam menaf­sir­kan semangat perenial itu ka­dang bisa muncul pendapat sim­p­listis seolah ”semua agama sa­ma saja, tanpa ada perbedaan sa­ma sekali”. Ini yang disebut oleh almarhum Djohan sebagai ke­salahan sinkretisme yang sim­plistis, relativisme agama yang naif, atau paham plura­lis­me yang gagal. Mungkin me­re­ka yang berpaham seperti itu le­bih didorong oleh semangat un­tuk sekadar menyenangkan pi­hak lain. Jelas, pandangan de­mi­kian sangat keliru dan harus di­hindari kalau kita ingin me­ngem­bangkan dialog dan int­er­aksi yang jujur di antara ber­ba­gai umat beragama.

Meski demikian, semoga ki­ta ju­ga tidak jatuh dalam s­e­ma­ngat eks­k­lusif ekstrem yang ha­nya memutlakkan perbedaan aga­ma. Mereka yang berpaham eks­klu­sif ini tegas menyatakan, ”Ha­nya agamaku yang paling be­nar, aga­ma lain adalah sesat.” Ti­dak per­lu ada dialog lagi. Pan­dang­an d­e­mikian dalam psi­ko­logi dis­e­but narsistis.

Bagi mereka, agama berada di atas Tuhan dan manusia. Me­re­ka ingin membela agama mati-matian, termasuk meng­gu­na­kan berbagai cara kek­er­as­an. Padahal menurut Gus Dur, sa­habat dekat Djohan, Tuhan ti­d­ak perlu dibela.

Itulah sebabnya Djohan ti­dak lelah memperjuangkan dia­log agar umat beragama ter­hin­dar dari penghayatan narsistis, yang antitoleransi dan gam­pang memicu konflik. Bukan ha­nya konflik antaragama, m­e­lain­kan juga konflik dalam in­ter­nal keagamaan sendiri, yang bia­sanya justru lebih sengit dan ber­sifat laten.

Maka agar perbedaan dan per­samaan agama tidak me­nim­bulkan konflik dan me­ru­sak persatuan bangsa, yang di­per­lukan bukan hanya dialog dan interaksi antaragama, me­lain­kan juga dialog dan inter­aksi dalam internal penganut aga­ma yang sama.

Dalam dialog dan interaksi de­­ngan siapa pun, tidak keliru ji­ka kita tetap meyakini agama ki­ta yang paling baik ”bagiku”. Cu­ma, ki­ta jangan terjebak dalam aro­gan­si bahwa yang lain pasti se­sat. De­ngan pemahaman se­per­ti itu, ki­ta akan bisa berkata se­perti Gan­dhi: ”Aku meng­hor­mati ag­a­ma orang lain, seperti aku meng­hor­mati agamaku sendiri!”

Jelas pemikiran Djohan, se­per­­ti dibeberkan sebagian di atas, ti­dak boleh ikut di­ku­bur­kan be­r­sa­ma jasadnya. Kita per­lu terus meng­hidupkan pe­mi­kir­an in­klu­sif seperti itu demi per­satuan dan ke­utuhan bang­sa, terlebih ketika hari-hari ini ra­dikalisme agama se­dang meng­ancam Pancasila dan hen­dak memecah belah anak-anak bangsa.

Dan di atas segala-galanya, Djo­­han bukan seorang te­or­e­ti­kus. Dia praktik langsung di la­pang­­an dengan menyapa dan ber­­silaturahim dengan sau­dara­-sau­daranya yang be­rbeda aga­ma. Djohan dikenal luas se­ba­gai so­sok yang telah melintas b­a­tas. Bu­kan seorang cen­d­e­kia­wan yang terjebak dalam tem­pu­rung aga­manya sendiri. Poin pen­ting­n­ya, kita semua tidak sa­ma, ter­ma­suk dalam memilih aga­ma. Na­mun, kita selalu bisa be­kerja sa­ma demi kerukunan, keut­uh­an, dan kejayaan bang­sa. Dalam tu­lisannya ”Agama dan Ke­war­ga­negaraan”, Menag Luk­man Ha­kim Saifuddin su­dah men­je­las­kan bahwa men­ja­ga keutuhan bang­sa me­ru­pa­kan kewajiban se­tiap penganut aga­ma se­ka­li­gus setiap warga ne­gara (Opini KORAN SINDO, 22/11). *
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5378 seconds (0.1#10.140)