Merekat Kebersamaan pada Tahun Politik

Senin, 20 November 2017 - 08:00 WIB
Merekat Kebersamaan pada Tahun Politik
Merekat Kebersamaan pada Tahun Politik
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

MUHAMMADIYAH
genap berusia 105 tahun (18 November 1912-18 November 2017). Rangkaian acara di berbagai daerah telah dilaksanakan untuk memperingati hari kelahiran (milad) Muhammadiyah. Puncak perayaan milad dilaksanakan pada Jumat malam (17 November) di Keraton Yogyakarta.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengundang pimpinan wilayah se-Indonesia. PP Muhammadiyah juga mengundang pemerintah, perwakilan negara sahabat, mitra sesama organisasi kemasyarakatan (ormas), partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan media.

Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang ada di luar negeri juga diundang untuk memeriahkan perayaan milad. Perayaan milad sengaja dilaksanakan di pusat budaya Jawa, Keraton Yogyakarta. Seluruh hadirin juga diwajibkan untuk berpakaian adat sesuai dengan asal daerah masing-masing. Hal itu dilakukan sebagai bagian aktualisasi tema milad, yakni "Muhammadiyah Merekat Kebersamaan". Tema ini dipilih karena realitasnya negeri tercinta sedang menghadapi sejumlah masalah yang potensial mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pancasila juga sedang menghadapi ancaman gerakan berideologi transnasionalis dan komunis. Salah satu insiden terkini yang mengancam ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI adalah munculnya kelompok separatis di Papua. Kelompok yang merupakan bagian dari sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu sedang menjadi perhatian nasional.

Selain sering melakukan tindakan kriminal, kelompok separatis tersebut juga menyandera sekitar 1.300 warga Kabupaten Mimika, Papua (KORAN SINDO, 15 November). Kelompok bersenjata ini menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Tidak tanggung-tanggung, TPN-PB menuntut kemerdekaan alias memisahkan diri dari NKRI.

Penyanderaan ribuan warga di Mimika sangat mungkin merupakan bagian strategi untuk menarik perhatian dunia internasional. Dengan cara ini lembaga-lembaga internasional akan melakukan investigasi ke Papua. Dalam menghadapi ancaman terhadap ideologi Pancasila dan NKRI, pemerintah melalui aparat keamanannya dituntut bertindak tegas dan berhati-hati. Bertindak tegas penting agar insiden separatisme di Papua tidak menjalar ke daerah lain.

Warga sipil yang menjadi sandera kelompok TPN-PB juga harus diselamatkan. Penting juga diingatkan agar aparat keamanan tetap mengedepankan pendekatan dialogis dan kemanusiaan. Strategi ini penting karena pelaku separatisme dan warga yang disandera sama-sama bagian dari anak bangsa.

Semua bentuk ancaman terhadap Pancasila dan NKRI merupakan perlawanan terhadap ideologi negara yang sah. Pada konteks inilah penting dikedepankan pandangan Muhammadiyah terhadap Pancasila dan NKRI. Rumusan hasil Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar pada 2015 menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi dan Dar al-Syahadah. Istilah Dar al-‘Ahdi berarti negara hasil konsensus. Dikatakan demikian karena Pancasila dan NKRI merupakan konsensus para pendiri bangsa (the founding fathers). Sementara Dar al-Syahadah berarti negara persaksian. Itu berarti seluruh warga bangsa harus mempersaksikan dirinya dengan prestasi-prestasi yang membanggakan.

Di samping persoalan separatisme, pemerintah juga bersiap untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan. Penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg) pada 2019 membutuhkan persiapan matang. Tensi persaingan politik menjelang pilpres dan pileg juga sangat terasa.

Persaingan antarkandidat yang potensial running dalam pilpres sudah dimulai. Apalagi sejumlah partai politik sudah mendeklarasikan calon presiden yang akan diusung. Dinamika politik jelang pilpres dan pileg jelas akan semakin memanas disertai intrik politik tiap kandidat.

Dalam waktu dekat, tepatnya pada 2018, pemerintah juga akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak untuk bupati dan wali kota. Pada 2018 juga ada pemilihan gubernur (pilgub) serentak di sejumlah provinsi. Pesta demokrasi tingkat kabupaten, kota, provinsi, serta kondisi jelang pilpres dan pileg harus menjadi perhatian bersama.

Pada konteks inilah Muhammadiyah di seluruh level kepemimpinan harus berkontribusi untuk merekatkan kebersamaan elemen bangsa. Meski dunia politik selalu menghadirkan budaya memecah dan berpecah, semua elite politik harus menyadari pentingnya kebersamaan.

Menghadapi tahun-tahun politik, Muhammadiyah dapat memainkan peran politik adiluhung (high politic). Politik adiluhung adalah perilaku politik yang didasari akhlak mulia. Dalam hal ini politik adiluhung dapat dibedakan dari politik praktis yang sering kali diwarnai intrik dan persaingan. Pengalaman dalam politik praktis juga selalu dibumbui kampanye hitam (black campaign) tiap elite partai.

Dengan memainkan politik adiluhung, kehadiran Muhammadiyah pasti selalu dirindukan. Muhammadiyah dapat menghadirkan keteladanan dan kesantunan dalam berpolitik sehingga menjadi referensi moral bagi elite partai. Jika moral politik menjadi panduan, proses-proses politik di negeri tercinta berlangsung secara terhormat dan bermartabat.

Pada tahun-tahun politik ini Muhammadiyah juga dapat mendorong penyelenggara pemerintahan di semua tingkatan untuk tetap bekerja dengan sepenuh hati. Pesan ini penting karena umumnya menjelang pilpres dan pilkada, perhatian pejabat tidak lagi fokus untuk melayani rakyat.

Konsentrasi pejabat publik pusat dan daerah, terutama calon petahana, mulai terbagi dengan persiapan jelang pemilu dan pilkada. Ironisnya pada tahun-tahun politik ini para pejabat publik dari menteri, direktur jenderal, direktur hingga kepala dinas mulai terpolarisasi dalam beberapa faksi. Bahkan sebagian mereka menjadi tim sukses calon masing-masing.

Kondisi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena mereka berstatus aparatur sipil negara (ASN). Sebagai ASN, mereka seharusnya bersikap netral dan tetap bekerja secara profesional. Mereka tidak boleh terkooptasi kepentingan politik mana pun. Jika pejabat publik larut dalam permainan politik, pelayanan masyarakat pasti terganggu. Bukan hanya itu, hubungan antarlembaga di pemerintahan juga terganggu karena perbedaan kepentingan politik. Pada konteks inilah posisi Muhammadiyah sebagai salah satu pilar civil society sangat penting untuk merekat kebersamaan.

Semoga tema milad Muhammadiyah menjadi spirit menjauhkan bangsa dari keretakan sosial akibat perbedaan pilihan politik. Akhirnya, diucapkan selamat milad Muhammadiyah ke-105. Semoga dengan usia yang kian matang, kiprah Muhammadiyah pada abad kedua semakin dirasakan umat dan bangsa.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6409 seconds (0.1#10.140)