Pemilu 2024, Publik Harus Terus Diarahkan untuk Hindari Hoaks dan Hatespeech
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hoaks dan hatespeech yang mengarah kepada polarisasi antar anak bangsa masih berpotensi muncul di Pemilu 2024. Hal ini karena masyarakat kurang bisa memilah secara mandiri tentang informasi yang datang ke mereka.
Hal ini yang disoroti sejumlah kalangan dari aktivis, pengamat dan praktisi media sosial dalam diskusi bertema "Polarisasi SARA, Hatespeech & Serangan Hoaks Bisa Terulang : Mampukah Elit & Akan Rumput Bikin Happy Ending Pemilu 2024 ?" di Kopo Oey Melawai, Kompleks Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (17/11/2023).
Dalam paparannya, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra menyatakan bahwa haoks dan hatespeech khususnya di media sosial sulit dihindari. Sebab materi negatif tersebut cenderung diproduksi oleh produsen secara profesional.
"Dalam kampanye itu membuat timses termasuk simpatisan akan terbawa untuk membangun opini-opini yang jelas tidak benar tapi punya daya rusak luar biasa pada kandidat (lawan politik -red)," kata Dedi dalam paparannya.
Tujuannya jelas adalah untuk mendegradasi lawan politik agar semakin tidak dipilih oleh masyarakat. Dengan rendahnya elekatbilitas itu maka mereka akan lebih leluasa mengapanyekan jagoan politik mereka agar bisa semakin besar dipilih oleh publik.
"Kita tidak bisa menghindari hoaks dan black campaign, karena memang ada tabel marketnya. Sepanjang masyarakat tidak bisa dimandirikan menyerap informasi maka selama itu hoaks dan disinformasi akan muncul," jelasnya.
Di era Pilpres 2014 dan 2019, Dedi menilai, hoaks sangat masif terjadi, karena masih rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat Indonesia. Perpecahan antar masyarakat terbuka lebar. Ditambah lagi para produsen hoaks bekerja secara profesional sehingga mampu memainkan opini dan perasaan penerima informasi tersebut.
"Sebab hoaks dan disinformasi itu bukan muncul alamiah tapi memang sengajar diproduksi," tekan Dedi.
Sejalan dengan Dedi, pegiat sosial media dari Cyber Indonesia, Farhana Nabila Hanifah melihat bahwa hoaks di 2024 akan masih terbuka lebar untuk disebarluaskan. Hanya saja, ia melihat perkembangan yang ada saat ini, kencederungan hoaks tidak terlalu berdampak pada kehidupan politik khususnya kaum muda Indonesia.
"Pengalaman 2019 lalu, saya sebagai pengguna sosmed dan pemerhati melihat bahwa 2023 saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai pinter memilah mana isu haoks, polarisasi dan sebagainya," kata Nabila.
Pun ada peluang bahwa hoaks bisa semakin masif beredar di kalangan masyarakat, baik di tongkrongan maupun di media sosial sepanjang Pilpres dan Pemilu 2024 nanti.
"Apakah enggak (penyebarannya) separah yang lalu belum tentu, karena 2024 kan belum terjadi, tapi saat ini saya bilang masyarakat Indonesia lebih cukup cerdas," ujarnya.
Hanya saja ia tetap memiliki keyakinan dengan melihat situasi saat ini, Pemiulu 2024 akan berakhir dengan menggembirakan.
"Kita masih optimis 2024 kita happy ending. Apalagi kalau mendengar survei bang Dedi tadi kenapa generasi milenial lebih suka dan memilih Gerindra karena sejauh ini kita kenal Gerindra mampu menunjukkan bahwa mereka sangat menyenangkan dan menggembirakan. Artinya politik kita saat ini menggembirakan. Bahkan kalau di media sosial admin yang paling kocak itu Partai Gerindra," terangnya.
Oleh sebab itu, Nabila pun berharap semua elite politik mampu menciptakan pemilu yang menggembirakan agar hasil akhirnya pun happy ending. Terlebih anak muda Indonesia tidak suka politik yang adu domba dan kasar, mereka akan lebih menikmati politik yang menyenangkan dan menggembirakan.
"Inilah wajah yang bisa sangat diterima generasi milenial kita," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mardiansyah selaku Ketua Umum Rampai Nusantara mengingatkan bahwa kunci kebahagiaan Pemilu 2024 sejatinya ada di elite politiknya. Apakah mereka akan selalu menghalalkan segala cara untuk bisa meraih kemenangan atau lebih mengedepankan penerapan nilai untuk ajang demokrasi lima tahunan ini.
"Kita sudah mengalami berbagai momentum demokrasi, bukan soal Pilpres tapi juga Pilkada. Yang mengkhawatirkan adalah semua tokoh elite politik dalam berkuasa adalah menghalalkan segala cara. Padahal nilai-nilai jauh lebih penting ketimbang kekuasaan," tutur Mardiansyah.
Lebih lanjut, aktivis 98 ini juga mengingatkan agar tim sukses yang sudah dibentuk oleh kontestan Pemilu 2024 agar bisa lebih kreatif dalam mengampanyekan jagoan politiknya, apakah itu Capres-Cawapres, Caleg maupun Calon Kepala Daerah.
"Miskin ide, miskin gagasan yang akhirnya kita merasa perlu memproduksi hoaks dan politisasi yang jelas risikonya tinggi sekali, karena dampaknya ke nilai-nilai itu," tukasnya.
Dalam kesempatan terkahir, Ketua Umum Gerakan Pemerhati Kepolisian (GPK) Abdullah Kelrey memberikan pemahaman bahwa mengapa hoaks dan perpecahan muncul di setiap agenda politik. Sebab semua itu muncul karena Indonesia masih berlaku yang namanya politik irisan. Seseorang akan bersikap dan berpihak kepada orang yang memiliki sejarah dan centelan kepentingan.
"Politik kita sejak lahir adalah politik irisan, ya tergantung irisan kita siapa. Kalau bicara soal hoaks ini soal irisan ke atas, bagaimana fanatisme tadi bisa muncul," kata Abdullah.
Oleh sebab itu, ia pun menekankan agar semua elite dan pelaku politik lebih mengedepankan politik kasih sayang dan cinta, sehingga ruang gerak politik yang muncul bisa memberikan dampak yang positif.
"Kalau rasa cinta dan kasih sayang hilang dari darah manusia kita, maka hoaks dan kawan-kawannya akan terus muncul di lingkungan masyarakat kita, sosial media kita hingga di atas kamar tidur," pungkasnya.
Hal ini yang disoroti sejumlah kalangan dari aktivis, pengamat dan praktisi media sosial dalam diskusi bertema "Polarisasi SARA, Hatespeech & Serangan Hoaks Bisa Terulang : Mampukah Elit & Akan Rumput Bikin Happy Ending Pemilu 2024 ?" di Kopo Oey Melawai, Kompleks Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (17/11/2023).
Dalam paparannya, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra menyatakan bahwa haoks dan hatespeech khususnya di media sosial sulit dihindari. Sebab materi negatif tersebut cenderung diproduksi oleh produsen secara profesional.
"Dalam kampanye itu membuat timses termasuk simpatisan akan terbawa untuk membangun opini-opini yang jelas tidak benar tapi punya daya rusak luar biasa pada kandidat (lawan politik -red)," kata Dedi dalam paparannya.
Tujuannya jelas adalah untuk mendegradasi lawan politik agar semakin tidak dipilih oleh masyarakat. Dengan rendahnya elekatbilitas itu maka mereka akan lebih leluasa mengapanyekan jagoan politik mereka agar bisa semakin besar dipilih oleh publik.
"Kita tidak bisa menghindari hoaks dan black campaign, karena memang ada tabel marketnya. Sepanjang masyarakat tidak bisa dimandirikan menyerap informasi maka selama itu hoaks dan disinformasi akan muncul," jelasnya.
Di era Pilpres 2014 dan 2019, Dedi menilai, hoaks sangat masif terjadi, karena masih rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat Indonesia. Perpecahan antar masyarakat terbuka lebar. Ditambah lagi para produsen hoaks bekerja secara profesional sehingga mampu memainkan opini dan perasaan penerima informasi tersebut.
"Sebab hoaks dan disinformasi itu bukan muncul alamiah tapi memang sengajar diproduksi," tekan Dedi.
Sejalan dengan Dedi, pegiat sosial media dari Cyber Indonesia, Farhana Nabila Hanifah melihat bahwa hoaks di 2024 akan masih terbuka lebar untuk disebarluaskan. Hanya saja, ia melihat perkembangan yang ada saat ini, kencederungan hoaks tidak terlalu berdampak pada kehidupan politik khususnya kaum muda Indonesia.
"Pengalaman 2019 lalu, saya sebagai pengguna sosmed dan pemerhati melihat bahwa 2023 saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai pinter memilah mana isu haoks, polarisasi dan sebagainya," kata Nabila.
Pun ada peluang bahwa hoaks bisa semakin masif beredar di kalangan masyarakat, baik di tongkrongan maupun di media sosial sepanjang Pilpres dan Pemilu 2024 nanti.
"Apakah enggak (penyebarannya) separah yang lalu belum tentu, karena 2024 kan belum terjadi, tapi saat ini saya bilang masyarakat Indonesia lebih cukup cerdas," ujarnya.
Hanya saja ia tetap memiliki keyakinan dengan melihat situasi saat ini, Pemiulu 2024 akan berakhir dengan menggembirakan.
"Kita masih optimis 2024 kita happy ending. Apalagi kalau mendengar survei bang Dedi tadi kenapa generasi milenial lebih suka dan memilih Gerindra karena sejauh ini kita kenal Gerindra mampu menunjukkan bahwa mereka sangat menyenangkan dan menggembirakan. Artinya politik kita saat ini menggembirakan. Bahkan kalau di media sosial admin yang paling kocak itu Partai Gerindra," terangnya.
Oleh sebab itu, Nabila pun berharap semua elite politik mampu menciptakan pemilu yang menggembirakan agar hasil akhirnya pun happy ending. Terlebih anak muda Indonesia tidak suka politik yang adu domba dan kasar, mereka akan lebih menikmati politik yang menyenangkan dan menggembirakan.
"Inilah wajah yang bisa sangat diterima generasi milenial kita," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mardiansyah selaku Ketua Umum Rampai Nusantara mengingatkan bahwa kunci kebahagiaan Pemilu 2024 sejatinya ada di elite politiknya. Apakah mereka akan selalu menghalalkan segala cara untuk bisa meraih kemenangan atau lebih mengedepankan penerapan nilai untuk ajang demokrasi lima tahunan ini.
"Kita sudah mengalami berbagai momentum demokrasi, bukan soal Pilpres tapi juga Pilkada. Yang mengkhawatirkan adalah semua tokoh elite politik dalam berkuasa adalah menghalalkan segala cara. Padahal nilai-nilai jauh lebih penting ketimbang kekuasaan," tutur Mardiansyah.
Lebih lanjut, aktivis 98 ini juga mengingatkan agar tim sukses yang sudah dibentuk oleh kontestan Pemilu 2024 agar bisa lebih kreatif dalam mengampanyekan jagoan politiknya, apakah itu Capres-Cawapres, Caleg maupun Calon Kepala Daerah.
"Miskin ide, miskin gagasan yang akhirnya kita merasa perlu memproduksi hoaks dan politisasi yang jelas risikonya tinggi sekali, karena dampaknya ke nilai-nilai itu," tukasnya.
Dalam kesempatan terkahir, Ketua Umum Gerakan Pemerhati Kepolisian (GPK) Abdullah Kelrey memberikan pemahaman bahwa mengapa hoaks dan perpecahan muncul di setiap agenda politik. Sebab semua itu muncul karena Indonesia masih berlaku yang namanya politik irisan. Seseorang akan bersikap dan berpihak kepada orang yang memiliki sejarah dan centelan kepentingan.
"Politik kita sejak lahir adalah politik irisan, ya tergantung irisan kita siapa. Kalau bicara soal hoaks ini soal irisan ke atas, bagaimana fanatisme tadi bisa muncul," kata Abdullah.
Oleh sebab itu, ia pun menekankan agar semua elite dan pelaku politik lebih mengedepankan politik kasih sayang dan cinta, sehingga ruang gerak politik yang muncul bisa memberikan dampak yang positif.
"Kalau rasa cinta dan kasih sayang hilang dari darah manusia kita, maka hoaks dan kawan-kawannya akan terus muncul di lingkungan masyarakat kita, sosial media kita hingga di atas kamar tidur," pungkasnya.
(maf)