Potensi Radikalisme di Kalangan Pelajar Jadi Bahan Evaluasi Kurikulum

Selasa, 31 Oktober 2017 - 18:22 WIB
Potensi Radikalisme di Kalangan Pelajar Jadi Bahan Evaluasi Kurikulum
Potensi Radikalisme di Kalangan Pelajar Jadi Bahan Evaluasi Kurikulum
A A A
JAKARTA - Direktur Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Didin Wahidin menilai perlu ada pembenahan kurikulum untuk pelajar dan mahasiswa.

Menurut dia, paham radikal di kalangan mahasiswa dan pelajar ternyata sudah sangat membahayakan. Hal ini disampaikan Didin menanggapi hasil survei Alvara Research Center yang menyatakan 23,4% mahasiswa dan pelajar terjangkit paham radikal.

Didi mengatakan, survei Alvara memberikan masukan penting bagaimana kegiatan kemahasiswaan akan dilakukan. "Hasil survei Alvara membuat Kemenristekdikti terkaget-kaget. Sebab masuknya gerakan kemahasiswaan yang membuahkan deklarasi-deklarasi masih terus berkembang, Radikalisme di kalangan mahasiswa dan pelajar sangat mengkhawatirkan, sekaligus menjadi PR (pekerjaan rumah-red) bagi Kemenristekdikti," tutur Didin.

Didin menjelaskan, ada 4.600 perguruan tinggi yang ada dan terdaftar di Kemenristekdikti. Dari sini ada disparitas sangat lebar antara perguruan tinggi paling hebat dan paling tidak hebat.

Menurut Didin, lemahnya pendalaman pemahaman keagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa bisa menunjukkan sesuatu yang kurang pas dalam kurikulum.

Selama ini, kata dia, paham radikal tumbuh pesat, padahal mata kuliah Pancasila, kewarganegaraan, dan mata kuliah keagamaan juga diadakan, bahkan wajib.

"Ini catatan kita. Memang pendidikan agama di sekolah dan kampus juga lebih banyak ke pelajaran fiqih saja. Dari SD, SMA sampai kuliah ya belajarnya salat, puasa, zakat dan lainnya. Kalau soal kehidupan bagaimana pemahaman sosial agama belum ada. Makanya secara kurikuler kita harus bangun ke sana," kata Didin.

Dia menjelaskan, selama ini ada kemungkinan kuat bahwa perguruan tinggi ada yang lalai soal bobot pembelajaran kebangsaan.

Sebab, kata dia, banyak perguruan tinggi yang fokusnya hanya pada pemeringkatan, sedangkan di dalam kampusnya tak ada kegiatan kemahasiswaan termasuk yang sifatnya sosial dan keagamaan.

Didin mengakui sejauh ini belum ada standarisasi kegiatan kemahasiswaan dalam penilaian perguruan tinggi negeri. "Kegiatan kemahasiswaan penting sekali sebagai wahana penumbuhan kesadaran ajaran agama, solidaritas, kebangsaan dan sebagainya. Maka jadi penting kita tumbuhkan kegiatan kemahasiswaan dalam bobot pemeringakatan perguruan tinggi" tuturnya.

Didin mengatakan, pendidikan secara utuh menyangkut empat hal, yakni keilmuan, pendidikan karakter, keindonesiaan, dan kesadaran global. Dari survei ini, tampaknya sentuhan pada pendidikan karakter dan keindonesiaan harus diperkuat. Karena empat hal ini harus tumbuhkan bersama.

Pada akhirnya, Didin menegaskan hasil survei Alvara akan dijadikan dasar masukan bagi Kemsnristekdikti untuk memperkaya pertimbangan tentang apa yang harus dilakukan ke depan, serta arah kebijakan yang akan diambil.

Sementara itu, Ketua Alumni Universitas Diponegoro Achmad Muqowam mengatakan, pandangan mahasiswa tentang khilafah sangat mengkhawatirkan karena mencapai 17,9%.

Angka ini naiknya luar biasa dibanding 5 atau 10 tahun ke belakang. "Dahulu pada tahun 2009-2010 ketika bicara negara Islam angkanya masih di bawah. Sekarang sudah melompat luar biasa 17,9 persen. Ini perlu dijadikan kewaspadaan kita semua," ujar Muqowam.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5868 seconds (0.1#10.140)