Apa Sebenarnya yang Ada Dalam Benak Koruptor?

Rabu, 18 Oktober 2017 - 08:15 WIB
Apa Sebenarnya yang Ada Dalam Benak Koruptor?
Apa Sebenarnya yang Ada Dalam Benak Koruptor?
A A A
Hotbonar Sinaga
Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)-Sejak 2004

SENGAJA penulis memilih judul di atas yang provokatif untuk menarik tidak hanya perhatian publik, tapi juga atensi siapa pun yang berniat korupsi atau para koruptor atau yang pernah melakukan korupsi namun masih bernasib baik belum tertangkap. Sebagian dari yang tengah membaca tulisan ini tentunya sudah tahu bagaimana sebenarnya jalan pikiran seorang koruptor.

Dalam dua bulan terakhir ini sudah ada beberapa kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK karena menerima gratifikasi. Yang terakhir adalah tertangkapnya seorang ketua pengadilan tinggi yang ditengarai menerima dana yang jumlahnya lebih dari Rp1 miliar dari pihak yang berperkara.

Presiden kita telah berkali kali memperingatkan agar pejabat di kementerian dan lembaga negara (penyelenggara negara dalam arti luas), termasuk para kepala daerah agar tidak melakukan praktik korupsi. Namun, sehubungan dengan OTT di Kemenhub serta beberapa kabupaten/kota yang dilakukan KPK, beliau layak menyampaikan kekecewaannya. Kita semua sudah tahu bahwa penghambat kemajuan negara kita ini salah satunya masalah korupsi yang menggerus daya saing negara kita.

Dalam teori Manajemen Risiko, penyelewengan atau penyimpangan termasuk tindakan korupsi dilakukan oleh seorang oknum (dalam beberapa kasus dilakukan secara berkelompok) yang memiliki kewenangan ataupun akses karena adanya motif (lazimnya terkait benturan kepentingan seperti kebutuhan ekonomi, hasrat untuk hidup berlebihan yang identik dengan ketamakan, balas jasa kepada pihak tertentu, tuntutan keluarga, menciptakan rasa aman secara ekonomi setelah pensiun, suap atau gratifikasi), adanya peluang yang sebagian besar terkait pengadaan dan perizinan, serta memiliki kewenangan tertentu dan minimnya pengawasan.

Menurut penulis, yang kerap dikemukakan dalam berbagai kesempatan, faktor utama yang menyebabkan tindakan koruptif terkait oknum pelaku adalah minimnya kadar iman serta tidak ada rasa malu kalau tertangkap dan tidak ada rasa bersalah atau menyampaikan penyesalan. Cukup banyak yang mengatakan khilaf, seperti yang dikatakan salah satu petinggi di Kemenhub serta beberapa kepala daerah dalam OTT baru-baru ini dengan datar dan tanpa ekspresi.

Terkait sistem untuk mencegah niat korupsi adalah penciptaan kondisi pengendalian atau "controlling condition" yang antara lain dapat dilakukan dengan memperkuat peranan auditor internal. Yang dimaksud di sini secara lebih spesifik adalah aparat pengawas internal perusahaan (APIP) atau institusi/lembaga yang harus berperan aktif untuk memperlihatkan adanya kondisi pengendalian yang akan menyurutkan ataupun menunda niat setiap orang untuk menjadi pelaku korupsi termasuk menerima gratifikasi.

Penulis bisa membayangkan apa yang ada dalam otak koruptor sebelum melakukan korupsi dan setelah tertangkap dan dijatuhi hukuman yang setimpal. Masih banyak yang beranggapan bahwa menerima gratifikasi adalah sesuatu yang wajar. Dalam dunia bisnis, selama prosesnya dilakukan secara legal & transparan memang lazim dikeluarkan semacam "fee" untuk jasa keperantaraan dengan nama komisi, "success fee", "deal making fee", "commitment fee" atau apa pun namanya.

Anggapan inilah yang berada dalam benak koruptor, baik si penerima suap maupun si pemberi suap, sebagai suatu hal yang biasa dilakukan dalam dunia bisnis. Mereka berasumsi kalau tidak dilakukan, daripada diambil orang lain, lebih baik mereka yang mengambil "komisi" ini atau menerima gratifikasi sebagai bagian dari balas jasa. Bagi si pemberi suap, mereka juga berpandangan setali tiga uang.

Setelah tertangkap ataupun diketahui pihak berwenang melakukan korupsi, dalam benak mereka mungkin hanya bergumam "Sial nih" tanpa ada rasa malu maupun penyesalan. Sebagian pelaku koruptor mengulangi perbuatannya seperti yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Jatim.

Adanya publikasi di media elektronik yang menggambarkan perasaan malu anggota keluarga serta kekecewaan atas korupsi yang dilakukan seseorang (dalam publikasi tersebut korupsi oleh seorang kepala keluarga) perlu lebih diperluas secara masif dengan menggunakan berbagai media terutama televisi, termasuk media sosial, bioskop, media cetak, ceramah/pesan oleh pimpinan institusi, perusahaan, lembaga dan kepala daerah, lisan ataupun tertulis, dan sebagainya.

Penulis menyarankan kepada konsultan public relations untuk memprakarsai pembuatan materi publikasi seperti di atas untuk ditawarkan kepada berbagai instansi, termasuk BUMN, lembaga, pemda, dan sebagainya untuk mensponsori penyiaran di media yang paling efektif yakni televisi.

Sanksi hukuman lebih berat yang dapat menimbulkan efek jera, termasuk hukuman mati sudah sangat layak dipertimbangkan ulang dalam memperbaharui ketentuan perundangan. Yang perlu dipertegas adalah sanksi dimiskinkannya si pejabat koruptif dengan merampas harta yang dimilikinya dan terbukti dari hasil perbuatan korupsi.

Jangan sampai terjadi setelah bebas dari penjara,sang koruptor masih bisa berleha-leha menikmati hasil korupsinya. Ada benarnya kalau dikatakan sebagian dalang koruptor tidak memiliki rasa penyesalan sama sekali setelah menjalani hukuman.

Mungkin dapat disimpulkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam mekanisme peradilan kita, khususnya dalam menjatuhkan vonis hukuman atas diri koruptor. Diperlukan komitmen nyata dari insan-insan judikatif kita sepanjang masih berada dalam koridor hukum yang berlaku.

Semoga saja opini singkat dan praktis ini dapat menjadi masukan bagi para pengambil keputusan terkait masalah korupsi dan pencegahannya. Harapannya, bila telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan, indeks pencegahan dan pemberantasan korupsi di antara negara-negara lain akan menjadi lebih baik dan nyata untuk meningkatkan daya saing negara kita dalam memperebutkan dana demi pertumbuhan perekonomian kita maupun keperluan pembangunan yang semakin mahal dan langka.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3515 seconds (0.1#10.140)