Cegah Penularan COVID-19 di Pilkada, Kemendagri Minta Peserta Kampanye Dibatasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah ( Pilkada) Serentak 2020 menghadapi tantangan besar, yakni pandemi COVID-19. Pemerintah berusaha mengkampanyekan agar masyarakat tetap berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal ini.
Salah satu yang diprediksi akan terjadi dalam pilkada ini adalah menurunnya pemilih karena takut akan penyebaran virus Sars Cov-II. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar mengatakan masyarakat harus dijelaskan bahwa mereka bagian dari kehidupan kenegaraan dan sistem sosial budaya Indonesia. (Baca juga: Tiga Menteri Ini Jadi 'Putra Mahkota' Jokowi di 2024?)
Dia mengakui pilkada yang akan dihelat di 270 daerah ini berbeda dari pemilihan-pemilihan sebelumnya. Pandemi COVID-19 yang belum reda membuat seluruh tahapan pilkada harus menerapkan protokol kesehatan ketat.
Lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu mengungkapkan beberapa negara, seperti Korea Selatan, tetap melangsungkan pemilihan meskipun di tengah pandemi COVID-19. Kuncinya, ada para protokol kesehatan, seperti jaga jarak, rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau hands sanitizer, dan menggunakan masker.
“Semua negara mengalami karena kesetiaan pada demokrasi, maka ini harus kita lanjutkan. Pertanyaan lanjutannya, hari ini kita sudah memiliki pemahaman yang cukup siapa itu COVID-19. COVID-19 ini ternyata bisa diatasi paling tidak dengan empat hal (di atas),” ujarnya dalam keterangan pers Kemendagri, Kamis (6/8/2020).
Selain itu, untuk menghindari penularan harus ada langkah mencegah kerumunan massa. Menurutnya, kerumunan tidak hanya terjadi dalam pilkada, tapi juga di kegiatan lain, seperti olahraga.
Pilkada atau pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional memang selalu mengundang kerumunan massa. Pengerahan massa biasanya terjadi saat pendaftaran calon, kampanye, dan pencoblosan.
Dia mengungkapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) telah membuat aturan adaptasi kebiasaan baru. Mereka telah membangun sistem baru untuk mencegah penularan di seluruh tahapan pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Bahtiar menjelaskan pilkada ini tidak boleh hanya dipandang sebagai proses politik. Namun, ini terkait dengan sistem ekonomi, sosial, dan lainnya. Pilkada harus dijadikan peluang untuk melawan dan menanggulangi pandemi dan dampaknya.
“Kemarin kami mengajukan permohonan dan masukan kepada KPU, misalnya, saat kampanye dan rapat akbar tidak usah lebih dari 50 dan tetap dengan protokol kesehatan. Rapat itu memang harus dibatasi,” ucapnya. (Baca juga: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan)
Dia menegaskan pilkada ini tidak boleh menjadi media penularan Sars Cov-II. “Justru menjadi gelombang untuk mobilisasi masyarakat agar menjadi agen perlawanan COVID-19,” pungkasnya.
Salah satu yang diprediksi akan terjadi dalam pilkada ini adalah menurunnya pemilih karena takut akan penyebaran virus Sars Cov-II. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar mengatakan masyarakat harus dijelaskan bahwa mereka bagian dari kehidupan kenegaraan dan sistem sosial budaya Indonesia. (Baca juga: Tiga Menteri Ini Jadi 'Putra Mahkota' Jokowi di 2024?)
Dia mengakui pilkada yang akan dihelat di 270 daerah ini berbeda dari pemilihan-pemilihan sebelumnya. Pandemi COVID-19 yang belum reda membuat seluruh tahapan pilkada harus menerapkan protokol kesehatan ketat.
Lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu mengungkapkan beberapa negara, seperti Korea Selatan, tetap melangsungkan pemilihan meskipun di tengah pandemi COVID-19. Kuncinya, ada para protokol kesehatan, seperti jaga jarak, rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau hands sanitizer, dan menggunakan masker.
“Semua negara mengalami karena kesetiaan pada demokrasi, maka ini harus kita lanjutkan. Pertanyaan lanjutannya, hari ini kita sudah memiliki pemahaman yang cukup siapa itu COVID-19. COVID-19 ini ternyata bisa diatasi paling tidak dengan empat hal (di atas),” ujarnya dalam keterangan pers Kemendagri, Kamis (6/8/2020).
Selain itu, untuk menghindari penularan harus ada langkah mencegah kerumunan massa. Menurutnya, kerumunan tidak hanya terjadi dalam pilkada, tapi juga di kegiatan lain, seperti olahraga.
Pilkada atau pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional memang selalu mengundang kerumunan massa. Pengerahan massa biasanya terjadi saat pendaftaran calon, kampanye, dan pencoblosan.
Dia mengungkapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) telah membuat aturan adaptasi kebiasaan baru. Mereka telah membangun sistem baru untuk mencegah penularan di seluruh tahapan pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Bahtiar menjelaskan pilkada ini tidak boleh hanya dipandang sebagai proses politik. Namun, ini terkait dengan sistem ekonomi, sosial, dan lainnya. Pilkada harus dijadikan peluang untuk melawan dan menanggulangi pandemi dan dampaknya.
“Kemarin kami mengajukan permohonan dan masukan kepada KPU, misalnya, saat kampanye dan rapat akbar tidak usah lebih dari 50 dan tetap dengan protokol kesehatan. Rapat itu memang harus dibatasi,” ucapnya. (Baca juga: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan)
Dia menegaskan pilkada ini tidak boleh menjadi media penularan Sars Cov-II. “Justru menjadi gelombang untuk mobilisasi masyarakat agar menjadi agen perlawanan COVID-19,” pungkasnya.
(kri)