Kemelut KPK dalam Memberantas Korupsi

Senin, 25 September 2017 - 06:21 WIB
Kemelut KPK dalam Memberantas Korupsi
Kemelut KPK dalam Memberantas Korupsi
A A A
Frans H Winarta
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

SIAPA yang tidak pernah mendengar kata korupsi? Di negara-negara maju, korupsi pernah menjadi persoalan besar di era abad ke-18 hingga abad ke-19, bahkan hingga sekarang persoalan korupsi yang mereka hadapi belum sepenuhnya bisa diberantas habis.

Walaupun Transparency International pada tahun 2015 menyatakan, not one single country, anywhere in the world, is corruption free, tapi banyak negara di dunia yang sudah berhasil mengurangi tingkat korupsi secara signifikan.

Salah satu yang paling dekat dan nyata adalah negara Singapura. Semasa pemerintahan Lee Kuan Yew dahulu, dilakukan revo­lusi besar-besaran dalam tubuh pemerintahan, semuanya demi memberantas korupsi dan suap.

Di Indonesia sendiri upaya pemberantasan korupsi yang nyata dimulai pada tahun 2002 saat pertama kali Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk. Saat ini lima belas tahun sudah berlalu, selama itu pula sudah sejumlah puluhan lebih koruptor yang tertangkap KPK dari berbagai kalangan dengan tidak pandang bulu.

Tiga periode pemerintahan telah dilalui, tapi semakin ke sini tingkat persentase korupsi belum menunjukkan penurunan signifikan. Hampir setiap hari selalu ada berita terkait dengan korupsi di media cetak dan media elektronik.

Amanat Luar Biasa

KPK adalah lembaga independen yang bebas dari kekuasaan manapun dan begitu dipercaya oleh masyarakat. Dengan begitu diharapkan adanya kehati-hatian dalam proses penegakan hukum agar integritas KPK tidak tercederai dan kepastian hukum di negara ini terwujud. Oleh karena itu, pasang surut perdebatan mengenai KPK dan kewenangannya tak pernah terelakkan.

Hal ini terjadi karena KPK dianggap sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luas untuk memberantas kejahatan luar biasa (extraordinary crime). KPK bisa melakukan penangkapan (lebih dikenal dengan istilah operasi tangkap tangan) hingga penuntutan, melakukan penyadapan, serta membuat penegakan hukum yang dilakukan KPK luar biasa adalah karena ketiadaan ketentuan dalam perundangan untuk melakukan penghentian penyelidikan perkara dengan mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3).

Ketiadaan wewenang KPK mengeluarkan SP3 kecuali pada kondisi tertentu dalam tahap penyelidikan tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan ulang dalam proses penegakan hukum oleh KPK. Karena dengan tiadanya wewenang tersebut, proses penegakan hukum bisa menjadi berlarut-larut.

Perkara yang berjalan harusnya segera diperiksa penyidik, kemudian dilimpahkan ke pengadilan agar segera disidangkan. Hal ini untuk memenuhi hak tersangka sesuai dengan Pasal 50 KUHAP karena proses pemeriksaan hingga persidangan harus dilakukan dengan segera.

ICCPR juga menyebutkan di dalam Pasal 14 Ayat (3) bahwa setiap orang berhak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya. Di sini dengan ketidakjelasan status tersebut, mengakibatkan posisi seorang tersangka tindak pidana korupsi menjadi buram.

Seseorang dengan status tersangka dengan waktu yang tidak terbatas bisa menerima dampak buruk terkait kredibilitas serta atribut yang disandang olehnya, dalam hal ini termasuk keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosialnya. Jika seseorang memang bersalah, maka yang bersangkutan harus segera diproses.

Jika tidak, harus segera dibebaskan. Jangan sampai status tersangka tersebut disandang hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa ada kejelasan. Hak asasi bersangkutan berpotensi untuk dilanggar serta due process of law terlupakan.

John Peters Humphrey, penyusun draf per­tama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pernah berkata, human rights without effective implementation are shadows without substance. Sebagai bagian dari penegak hukum, KPK harus sangat berhati-hati dalam penetapan tersangka tindak pidana korupsi.

Jangan sampai amanat luar biasa yang diberikan oleh undang-undang menyebabkan buramnya status tersangka sehingga memengaruhi proses hukum yang berjalan dan mengurangi hak-hak tersangka.

Sir Edward Coke pernah berkata: ubi jus, ibi remidium (where there is a right, there is a remedy). Dalam hukum, selalu ada perbaikan. Perbaikan dalam hukum justru harus dilakukan secara dinamis agar penegakan hukum tidak mengingkari due process of law yang mengutamakan prinsip fair trial.

Paling utama adalah jangan sampai kewenangan tersebut menjadi tidak terbatas. Untuk itu, seharusnya KPK memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 karena KPK sendiri bisa saja melakukan kesalahan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Jika berbicara mengenai faktor pemicu tingginya korupsi di sebuah negara tentu sangatlah kompleks sehingga penanganannya pun membutuhkan upaya maksimal serta waktu yang tidak sebentar. Akar dari korupsi sendiri adalah ketamakan, kurangnya profesionalisme, integritas, serta rasa cinta tanah air.

Faktor sumber daya manusia merupakan salah satu faktor internal yang harus diperbaiki, karena dibutuhkan sikap nasionalisme baru yang bukan lagi melawan penjajah, melainkan melawan sifat ketamakan.

Jabatan hendaknya dianggap sebagai pengabdian, bukan sebagai sumber mata pencaharian. Pada lain sisi, perbaikan hukum juga dibutuhkan karena hukum yang baik menghasilkan output yang baik pula. Perubahan menuju ke arah lebih baik membutuhkan proses panjang karena hal ini berkaitan dengan mental bangsa yang berdebu sejak zaman penjajahan dulu. Namun, generasi muda memiliki kesempatan untuk meniup debu-debu keterpurukan bangsa tersebut menjadi harapan baru.

Kebisingan politik saat ini merupakan tanda bahwa proses demokrasi berjalan dengan lancar. Namun, adakalanya bangsa ini disuguhi tontonan politik yang tidak substansial, melainkan bisa dibilang sebagai dagelan. Jika sudah seperti ini, hendaknya kita semua melihat kembali ke garis awal, di mana semuanya bermula.

Rakyat pun bertanya-tanya kemana sebenarnya bangsa ini hendak melangkah. Ke arah kesejahteraan dengan semua rakyat merasakan keadilan yang menyeluruh tanpa adanya sifat-sifat ketamakan, ataukah sebaliknya, pada kehancuran di mana korupsi merajalela dan rakyat menjadi sengsara karena ulah sebagian orang yang tidak bisa mempertanggungjawabkan jabatannya dengan menyalahgunakan uang negara serta menerima suap dan menjadikannya kebiasaan tidak bisa dihilangkan dan jalan hidup yang tidak bisa diubah lagi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5058 seconds (0.1#10.140)