Konglomerasi Militer dan Ketimpangan di Rohingya

Selasa, 19 September 2017 - 08:20 WIB
Konglomerasi Militer dan Ketimpangan di Rohingya
Konglomerasi Militer dan Ketimpangan di Rohingya
A A A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

EKSODUS
komunitas muslim Rohingya secara besar-besaran ke Bangladesh kembali menyita perhatian masyarakat internasional. Betapa tidak, sejak 25 Agustus 2017, UNHCR mencatat sebanyak 270.000 jiwa penduduk tanpa status kewarganegaraan (stateless) dipaksa mengungsi dari Rakhine. Sementara European Rohingya Council mendapati fakta bahwa sedikitnya 3.000 jiwa meninggal dunia akibat serangan Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw) dan diserang secara membabi-buta oleh kaum ekstremis ultra-nasionalis Buddha.

Tak pelak, dunia mengecamnya sebagai genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Dengan slogan ”jangan lagi terulang” (never again ), 13 peraih nobel seperti Archbishop Desmond Tutu (Afrika Selatan), Mairead Maguire (Irlandia Utara), Leymah Gbowee (Liberia), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Yunus (Bangladesh), dan Malala Yousafzai (Pakistan) telah mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memulihkan harkat dan martabat etnis minoritas di Myanmar.

Pernyataan para peraih nobel tersebut disampaikan melalui surat terbuka tertanggal 29 Desember tak lama setelah beragam pelanggaran hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial-budaya dialami oleh etnis Rohingya memuncak pada 9 Oktober 2016 dan terindikasi kuat dilakukan oleh rezim militer Myanmar sejak Jenderal Ne Win atau Shu Maung berkuasa pada 1962. Ironisnya, situasi di Rakhine justru kian memburuk dan konflik kembali terulang pada Agustus 2017. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Rohingya?

Saskia Sassen, penulis buku Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy yang terbit pada 2014, menggunakan istilah pemindahan paksa (forced displacement) guna merujuk pada tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rakhine. Terlebih, dalam dua dekade terakhir fenomena peram-pasan tanah marak terjadi di pelbagai belahan bumi seiring kemunculan korporasi multinasional di sektor pertambangan, kayu, industri pertanian, dan pembangkit listrik tenaga air.

Di Myanmar, dominasi penguasaan tanah oleh korporasi pertambangan dan industri ekstraktif lain meningkat tajam hingga 170% antara 2010-2013. Untuk memperlancar praktik pencaplokan tanah tersebut, junta militer bahkan melakukan perubahan terhadap paket kebijakan agraria pada 30 Oktober 2012 dan menyesuaikannya dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Dengan kebijakan ini, investor asing leluasa menanamkan 100% modalnya selama 70 tahun.

Lebih parah lagi, rezim militer Myanmar yang berkuasa selama lebih dari lima dasawarsa justru membatalkan Undang-Undang Perlindungan Petani 1963. Imbas dari perubahan kebijakan agraria dan pencabutan undang-undang perlindungan petani tersebut, tanah seluas 1,3 juta hektare milik etnis Rohingya belakangan ini dirampas atas nama negara untuk pengembangan industri pertanian skala besar. Sebelumnya lahan petani yang dicaplok atas nama negara seluas 7.000 hektare pada 2012 (The Guardian , 4 Januari 2017). Inilah yang disebut oleh Sassen sebagai pengusiran brutal terhadap petani dan nelayan skala kecil (brutal expulsions of smallholders) demi langgengnya kepentingan investasi ekonomi politik rezim militer dan kroni bisnisnya.

Kini, Myanmar dibanjiri oleh investor papan atas dunia. Seperti yang ditunjukkan oleh Consult-Myanmar.com bahwa Statoil Myanmar Private Limited dan Conoco Phillips Myanmar E&P Pte Ltd memiliki konsesi eksplorasi dan produksi minyak dan gas dengan nilai investasi USD323,65 juta di wilayah pesisir Rakhine. Untuk eksplorasi dan produksi gas di ladang lepas pantai, Woodside Energy (Myanmar) Pte Ltd dan BG Exploration & Production Myanmar Pte Ltd telah berinvestasi sebesar USD290,1 juta.

Setali tiga uang, Myanmar Simco Song Da Joint Stock Co Ltd juga telah menanamkan investasi senilai USD18,147 juta untuk proyek pengolahan marmer di lokasi pertambangan Nayputaung yang terletak di Taungup, Rakhine. Belum lagi proyek pembangunan PLTA Tha Htay Chaung di Thandwe yang telah dimulai sejak 2008 dengan dukungan pembiayaan hingga 2024 di antaranya dari Bank Ekspor-Impor India senilai USD60 juta. Lantas, bagaimana dengan situasi di sektor kehutanan Myanmar?

Di dalam dokumen berjudul Commercial Agriculture Expansion in Myanmar: Links to Deforestation, Conversion Timber, and Land Conflicts (Maret 2015) disebutkan bahwa angka deforestasi Myanmar mencapai lebih dari 465,4 hektare setiap tahunnya.

Fakta ini menunjukkan bahwa pengusiran paksa komunitas muslim rohingya dan minoritas etnis lain di Myanmar bukanlah perkara antaragama, melainkan pertalian konglomerasi militer dan kroni-kroni bisnisnya. Terlebih, mereka juga mengantongi 25% kursi di parlemen.

Konglomerasi Militer
Tak dimungkiri, transisi demokrasi di Myanmar yang berlangsung sejak 2010 dan memperoleh momentum pasca melambungnya suara Aung San Suu Kyi dan Partai Liga Nasional Demokrasi (PNLD) di dalam pemilihan umum pada November 2015. Dengan kemenangan ini, etnis minoritas di Myanmar dan dunia internasional berharap ada perubahan di Rakhine.

Dalam perkembangannya, perubahan yang diharapkan tak kunjung hadir. Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin de facto justru tidak banyak berbuat untuk menghadirkan perdamaian di Myanmar. Sebaliknya, operasi militer di Rakhine kian merajalela. Imbasnya, lebih dari 50.000 penduduk Rohingya mengungsi secara paksa ke Bangladesh setiap harinya. Belum lagi korban jiwa akibat kekejaman junta militer. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Sejak 2012 pelbagai kontrak investasi asing berbasis ekstraksi sumber daya alam yang membutuhkan lahan skala besar telah ditandatangani oleh konglomerasi militer dan kroni bisnisnya jauh sebelum desakan mendemo-kratisasikan Myanmar bermunculan. Lantas apa langkah strategis yang bisa dilakukan oleh Aung San Suu Kyi untuk menghentikan praktik dehumanisasi di Rohingya?

Pertama, menghidupkan kembali spirit Konferensi Panglong pada 1947 dengan jalan menyatukan kembali pelbagai etnis yang tercerai-berai akibat konflik sumber daya alam yang diciptakan oleh junta militer demi persatuan dan perdamaian abadi di Myanmar.

Kedua, melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 dan memberikan kesempatan kepada masyarakat Rohingya dan minoritas etnis lain untuk memperoleh status kewarganegaraannya (cit-izenship) dan memulihkan hak-hak dasarnya di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan. Menurut Suaedy (2015) yang mengutip Leider (2013), disebutkan bahwa Rohingya merupakan istilah tua yang muncul sejak abad IX masehi atau jauh sebelum era kolonial Inggris. Istilah ini kemudian menjadi simbol perjuangan identitas komunitas muslim di Arakan yang populer sejak 1950 dan berubah sebutan menjadi Rakhine pada 1989.

Ketiga, mendorong perubahan kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih menitikberatkan pada upaya mengatasi ketimpangan agraria dan pembatasan kewenangan militer. Pada saat yang sama juga memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan kepada petani dan nelayan di Rakhine. Dengan jalan inilah, Aung San Suu Kyi akan dikenang sebagai pahlawan perdamaian, bukan pecundang demokrasi.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6088 seconds (0.1#10.140)