Kebersamaan Pemimpin dan Rakyat

Selasa, 15 Agustus 2017 - 08:09 WIB
Kebersamaan Pemimpin dan Rakyat
Kebersamaan Pemimpin dan Rakyat
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim


PERAYAAN
hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 begitu membahana di penjuru negeri. Warga perdesaan dan perkotaan tampak sangat antusias merayakan Agustusan. Rangkaian kegiatan Agustusan berupa upacara, ziarah ke makam pahlawan, perlombaan, bakti sosial, hiburan, dan bersih lingkungan begitu semarak. Umbul-umbul, bendera, dan aneka hiasan berwarna merah putih semakin menguatkan spirit nasionalisme warga.

Warga dari berbagai latar belakang sosial, agama, etnis, dan budaya begitu menikmati perayaan Agutusan. Mereka yang sehari-hari jarang bertegur sapa tampak mencair, saling berinteraksi, bekerja sama, dan tertawa lepas. Mereka merasa dipertemukan melalui momentum Agustusan. Tegasnya, perayaan Agustusan menjadi proses peleburan berbagai perbedaan menjadi satu kesatuan (melting pot). Nilai-nilai nasionalisme, kebersamaan, kedermawanan, dan kesetiakawanan sangat terasa dalam rangkaian kegiatan Agustusan.

Karena begitu kuatnya nilai-nilai kebersamaan dalam pe­raya­an Agustusan, maka pemerintah menetapkan tema HUT Kemerdekaan RI ke-72 dengan rumusan Indonesia Kerja Bersama. Tema ini relevan dengan kondisi negara yang dihadapkan pada tantangan sektarianisme akibat persoalan ideologi, politik, dan ekonomi. Indikatornya, kecenderungan politik aliran menguat di sejumlah daerah. Nasionalisme secara diametral berhadapan dengan gerakan transnasionalisme. Kesenjangan ekonomi juga terjadi begitu rupa.

Semua persoalan itu jika tidak diatasi akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, diperlukan kebersamaan pemimpin dan rakyat agar terwujud negara yang damai. Sebagai ilustrasi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan yang berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta. Dengan sarana transportasi terbatas, Nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak perjalanan antara Madinah dan Badar diperkirakan 150 kilometer.

Mengingat sulitnya medan dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta dinaiki tiga atau empat orang secara bergantian. Menariknya, Nabi mendapatkan perlakuan sama dengan sahabat lain. Selama perjalanan, para sahabat beberapa kali menawari Nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Namun, tawaran itu ditolak Nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah kebersamaan. Inilah teladan yang perlu menjadi spirit bagi pejabat publik di negeri tercinta ini.

Meminjam istilah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, pemimpin seharusnya pandai merawat kata. Dengan kata lain, pemimpin harus menunjukkan satunya kata dengan perbuatan. Nabi jelas sekali menunjukkan bahwa tidak sepantasnya pemimpin meminta fasilitas saat rakyat sedang kesulitan. Kondisi negeri tercinta juga menunjukkan sebagian rakyat hidup dalam kemiskinan dan kehilangan pekerjaan.

Sementara pada saat bersamaan rakyat melihat pejabat publik mendemonstrasikan kekayaan dan kemewahan hidup. Pada konteks inilah keteladanan Nabi penting untuk membangun kebersamaan pemimpin dan rakyat. Karena itu, terasa sangat tidak pantas jika ada pejabat publik menuntut fasilitas serba baru. Misalnya, tuntutan pengadaan mobil dinas terbaru. Padahal mobil dinas lama masih layak pakai. Perilaku demikian jelas tidak menunjukkan sikap berempati pada penderitaan rakyat.

Dalam peristiwa Perang Badar tampak jelas pesan be­tapa penting dukungan rakyat kepada pemimpin. Terutama saat pemimpin dihadapkan pada berbagai kesulitan mengelola negeri. Dikisahkan bahwa tatkala pasukan muslim telah berhadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1.000 orang dengan fasilitas transportasi dan senjata berlimpah, Nabi meminta pendapat kepada sahabat. Nabi berseru dengan suara bergetar; ”Wahai para sahabat, berikanlah padaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?”

Dalam situasi menegangkan itu seorang sahabat dari golong­an Muhajirin bernama Miqdad bin Amir maju seraya berkata; ”Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah. Kami akan berjuang bersama tuan. Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil pada Nabi Musa yang mengatakan; Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan ber­peranglah.” Komitmen serupa juga ditegaskan Saíad bin Mu’adz dari golongan Anshar. Dukungan para sahabat utama terhadap Nabi bisa menjadi teladan bagi rakyat.

Karena itulah semua elemen bangsa harus memberikan dukungan pada pemimpin, siapapun orangnya, dan dari partai manapun. Itu karena dia telah terpilih secara konstitusional melalui proses demokrasi. Syaratnya, pemimpin itu harus benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, kita harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya. Pada konteks ini seorang pejabat publik, apa pun levelnya, harus menanggalkan jabatan partai politik dan simbol-simbol primordial lainnya. Langkah ini penting agar dia benar-benar menjadi pelayan untuk semua rakyat.

Setiap pemimpin harus menyadari bahwa tidak ada pemerintahan yang kuat tanpa dukungan rakyat. Tengoklah pelajaran dari peristiwa Perang Badar. Dukungan yang kuat dari sahabat menjadikan Nabi memimpin Perang Badar dengan penuh optimisme. Bahkan untuk menguatkan keyakinan dalam berjuang, sejenak Nabi menghadapkan wajah ke kiblat. Tujuannya adalah bermohon pada Allah agar diberikan pertolongan. Setelah merasa yakin doanya terkabul, Nabi dan para sahabat maju ke medan laga dengan semangat berlipat.

Dengan perjuangan gigih dan pertolongan Allah SWT, Nabi dan para sahabat berhasil menaklukkan pasukan Quraisy yang berjumlah tiga kali lipat dari pasukan Muslim (QS. al-Anfal:9). Peristiwa dalam Perang Badar juga memberikan pelajaran bahwa untuk mengatasi problem kenegaraan, yang harus dilakukan pemimpin adalah selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Kedekatan pada Tuhan penting karena dapat memberikan keyakinan dan energi yang luar biasa untuk keluar dari berbagai persoalan. Bukankah pada saat ini kita sedang menghadapi berbagai persoalan sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan politik yang tidak ringan?

Jika pemimpin tidak sukses mengatasi problem yang sangat kompleks, maka bangsa ini ber­potensi menjadi negara gagal (failed state). Semoga perayaan HUT RI ke-72 memberikan spirit pentingnya kebersamaan pemimpin dan rakyatnya untuk menggapai kejayaan negeri tercinta.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5996 seconds (0.1#10.140)