Ketimpangan: Buatan atau Alamiah?

Senin, 14 Agustus 2017 - 08:02 WIB
Ketimpangan: Buatan atau Alamiah?
Ketimpangan: Buatan atau Alamiah?
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

MASALAH ketimpangan selalu menjadi momok. Dimensi ketimpangan biasanya direfleksikan berdasarkan komparasi pendapatan dan/atau pengeluaran, baik yang berlaku melalui perbandingan antarpenduduk maupun antardaerah/wilayah.

Fenomena ketimpangan tidak hanya terjadi secara eksklusif di Indonesia karena negara-negara lain yang terhitung lebih maju dan di sebagian besar negara berkembang lain juga menghadapi persoalan yang sama. China yang dalam sekian dekade terakhir berhasil membangun ekonomi dengan hebat ternyata juga menghadapi problematika ketimpangan, khususnya antara wilayah China barat dan timur.

Raksasa industri seperti negara Jerman pun turut dihantui bayangan ketimpangan antara Jerman utara dan selatan. Negara Eropa lain seperti Italia juga masih berupaya meredam gejolak ketimpangan antara wilayah utara dan selatan. Nah, sekarang bagaimana dengan cerita mengenai ketimpangan di Indonesia?

Pada masa lalu kita sempat kerepotan memproduksi kebijakan agar pembangunan antara kawasan timur Indonesia tidak kalah hebatnya dengan wilayah barat. Era Reformasi 1998 sempat dianggap memberikan angin segar melalui pemberlakuan otonomi daerah.

Kebijakan pembangunan yang dulunya dimonopoli pemerintah pusat mulai ditransfer secara bertahap kepada pemerintah daerah. Jika keberhasilan pembangunan diukur dari capaian pertumbuhan ekonomi, kita boleh sedikit membusungkan dada. Selama periode 2001-2016 tercatat rata-rata pertumbuhan ekonomi kita berada di sekitar 5,31% (BPS, diolah).

Meskipun pertumbuhan ekonomi kita selalu positif, tetap saja kita harus bertekuk lutut terhadap fakta ketimpangan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi tidak banyak membantu mengarahkan perubahan indeks gini rasio (sebagai satu di antara parameter ketimpangan) agar hasilnya jauh lebih baik.

Pada fase awal otonomi daerah, indeks gini rasio kita masih berada di angka 0,30. Setelah hampir dua dasawarsa berselang justru indeks gini rasio kita semakin melebar hingga menjadi 0,393. Bahkan, pada periode 2011-2014 sempat meroket pada angka 0,41. Situasi ini baru menggambarkan ketimpangan dari sisi pengeluaran antarpenduduk.

Kalau kita geser untuk melihat pola ketimpangan dari sisi pendapatan dan kekayaan, situasinya mungkin lebih terasa menyesakkan. Lembaga keuangan internasional Credit Suisse (2016) menyatakan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat ketimpangan kekayaan terburuk keempat di dunia.

Sebesar 1% penduduk terkaya di Indonesia mampu menguasai 49,3% dari total kekayaan nasional. Jika rasionya kita tambahkan lagi, 10% orang terkaya mampu menguasai 75,7% total kekayaan nasional.

Dari sisi makro, realisasi pembangunan ekonomi di daerah juga tidak berlangsung secara merata. Daerah-daerah di Pulau Jawa terus memperkukuh dirinya sebagai kontributor tertinggi untuk urusan pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Dalam enam tahun terakhir saja, rata-rata kontribusinya mencapai 57% dari total PDB Indonesia. Sementara daerah di kawasan timur seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat jika diagregatkan pun hanya menikmati potongan terkecil dengan rata-rata tidak lebih dari 2%.

Curhatan menko perekonomian terkait apresiasi masyarakat yang rendah terhadap prestasi pertumbuhan ekonomi pada akhirnya menemukan jawaban. Bagi 40% masyarakat yang bermukim pada kategori berpenghasilan rendah, angka-angka pertumbuhan hanyalah gambaran klise karena pertumbuhan ekonomi tidak banyak berdampak pada kesejahteraan mereka. Survei dari World Bank (2015) juga mengatakan hal demikian.

Bagi penduduk kelas menengah ke bawah, lebih baik pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah dari posisi yang sekarang, namun bisa memperbaiki jurang ketimpangan. Sistem perpajakan yang diharapkan bisa memberikan efek keadilan pada kenyataannya juga tidak kunjung menampakkan harapan yang lebih cerah.

Fenomena unik yang terkait dengan ketimpangan, daerah-daerah yang kaya potensi sumber daya alam (SDA), ironisnya justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Ada dugaan yang menarik mengapa fenomena itu bisa terjadi.

Pertama, upah riil harian buruh tani sejak 2014 relatif konstan. Hukum kelangkaan tenaga kerja (the law of scarcity of labor) di sektor buruh tani bisa dikatakan sebagai sebuah anomali karena tidak berdampak banyak terhadap peningkatan upah buruh tani. Inflasi pada komoditas kelompok bahan makanan yang dalam lima tahun terakhir berada di kisaran 7,64% juga tidak berefek signifikan terhadap pendapatan para petani.

Karena pekerjaan di sektor pertanian juga tidak cukup menjanjikan, laju alih fungsi lahan dan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian menjadi semakin sulit dikendalikan. Jumlah pekerja bebas (buruh) di pertanian terus menyusut dari sebelumnya 6,28 juta pada Februari 2007 menjadi 5,36 juta pada Februari 2017.

Kedua, tidak ada daya dukung yang optimal untuk menjembatani proses transformasi keterampilan tenaga kerja. Reformasi struktural yang terus digagas untuk mengubah ketergantungan terhadap sektor SDA menjadi kegiatan industri dan jasa justru tidak diimbangi dengan layanan untuk meningkatkan kapasitas SDM.

Kegagalan transformasi struktural yang paling banyak terjadi justru pada daerah yang sebelumnya berbasis pertanian. Penyebabnya, mereka rata-rata memiliki tingkat kesadaran dan akses pendidikan yang relatif rendah, serta keterampilan di bidang lain (di luar pertanian) yang juga relatif terbatas. Ekspektasi peningkatan kesejahteraan melalui ekspansi ke sektor industri dan jasa mengalami kegagalan karena tidak didukung dengan link and match kebijakan.

Ketiga, majalah Economist menyebutkan praktik perburuan rente menjadi satu di antara faktor pendukung ketimpangan. Peringkat indeks kroni kapitalisme (crony-capitalism index) Indonesia berada di urutan ketujuh dari 22 negara yang disurvei pada 2016. Urutan ini lebih buruk dibandingkan satu dekade sebelumnya yang masih menempatkan Indonesia di peringkat ke-18 dunia.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, apa saja langkah solutifnya? Sebagai negara penganut aliran Keynesian, peran pemerintah akan selalu berpotensi sebagai pembeda. Pemerintah memiliki akses untuk mengubah struktur ketimpangan melalui regulasi dan kebijakan fiskal.

Secara teoritis, dua fungsi dasar tersebut seyogianya mampu meningkatkan keadilan dalam pembagian kue pembangunan. Jumlah dana transfer (desentralisasi fiskal) ke daerah dan desa pada setiap tahun cenderung terus meningkat signifikan. Namun, yang mengherankan mengapa hasilnya justru semakin memperburuk ketimpangan.

Dalam pandangan penulis, penyebab mendasarnya adalah ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sistem informasi, serta pembangunan infrastruktur yang selama ini masih terkonsentrasi hanya di beberapa wilayah tertentu.

Dana desa sempat diagung-agungkan sebagai sarana untuk membentuk kutub pertumbuhan ekonomi yang baru dan sekaligus untuk memperbaiki gap pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Namun, berita mengenai penyelewengan pengelolaan dana desa di beberapa daerah sangat mungkin membuat ekspektasi publik kembali berubah.

Kejadian ini memberikan pelajaran penting bahwa birokrasi pengelolaan keuangan negara masih memiliki celah di beberapa bagian mendasarnya. Pada level pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), proses pengelolaannya juga membutuhkan daya perbaikan. Komposisi pengeluaran untuk kepentingan belanja pegawai jumlahnya masih terlalu mendominasi.

Berdasarkan data DJPK Kemenkeu (2017), rata-rata belanja pegawai untuk pemerintah daerah pada 2015 mencapai 40,63% dari total belanja. Sementara untuk pengeluaran yang lebih friendly dengan aspek pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan seperti belanja barang dan jasa serta belanja modal, masing-masing hanya mencapai 21,41% dan 24,87%.

Dengan demikian, kecenderungan belanja untuk keperluan penyehatan birokrasi masih cukup besar. Hal seperti ini bisa saja terjadi karena kualitas perencanaan, sistem birokrasi, dan sinkronisasi kebijakan antar-stakeholders yang gagal terselesaikan secara efektif sehingga menimbulkan biaya transaksi ekonomi yang terlampau tinggi.

Hal penting lainnya, perlu ada tindakan asimetris untuk menghadapi heterogenitas di daerah. Perlu ada formula-formula yang tepat dan akurat untuk perlakuan di setiap daerah.

Untuk itu, di luar pemberian dana-dana yang selama ini sudah ada, bisa jadi ada dana ad hoc lain yang bisa digunakan untuk mengakselerasi pembangunan. Bahkan kalau perlu, seharusnya ada reward bagi daerah untuk menunjang kinerja pembangunannya. Dan, itu sejalan dengan teori yang menyatakan, sistem desentralisasi seharusnya mampu menghasilkan banyak local champion dalam pembangunan.

Meskipun hasilnya belum mengarah pada kondisi yang ideal, bukan menjadi alasan bagi kita semua untuk menyerah dengan keadaan. Campur tangan pemerintah tetap sangat dibutuhkan karena persoalan yang menyangkut isu kesejahteraan tidak bisa kita biarkan melalui mekanisme pasar.

Pemerintah merupakan aktor utama penyelesaian semua permasalahan ini. Walaupun begitu, gerak aktif masyarakat perlu bersanding untuk menuntaskan permasalahan ini bersama.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6503 seconds (0.1#10.140)