Religiositas Hattanomics

Sabtu, 12 Agustus 2017 - 11:45 WIB
Religiositas Hattanomics
Religiositas Hattanomics
A A A
Mukhaer Pakkanna
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
dan Peneliti Cides

”...DAULAT tuanku (radja) mesti diganti dengan daulat rakjat! Tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku, melainkan rakjat sendiri jang radja atas nasibnja.” (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, 1953, hlm 75).

Di tengah disorientasi nasionalisme ekonomi yang dipicu luruhnya identitas ideologi ekonomi Pancasila, kembali kita diingatkan oleh pemikiran ekonomi Bung Hatta. Bung Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902, di tengah berkecamuknya imperialisme. Keprihatinan terhadap nasib rakyat yang tertindas dan miskin memicu spirit Hatta untuk bangkit melakukan perlawanan intelektual.

Belakangan pemikiran dan perlawanan intelektual Bung Hatta diformulasi dalam terminologi hattanomics. Dalam hattanomics, nasionalisme dan kedaulatan ekonomi menjadi titik perhatian. Hattanomics bercorak pada realitas lokal, kemudian diabstraksikan dalam formula konstitusi negara.

Corak pemikiran seperti itu bukan tanpa dasar. Sejak remaja, Hatta sangat prihatin atas eksploitasi bangsa asing terhadap kekayaan alam kita. Bung Hatta mengatakan, ”Yang hendak kita persoalkan ialah kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat kita. Kaum produsen sebagian yang terbesar terdiri daripada bangsa kita. Kaum konsumen pula. Tetapi kaum distributor terdiri daripada bangsa asing. Dan inilah satu pokok yang penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.” (Sritua Arief, 1998).

Makna Religiositas

Salah satu corak hattanomics adalah karakter religiositasnya yang kental. Religiositas dimaknai sebagai kesalehan terhadap ajaran agama. Islam sebagai agama yang dipeluk Bung Hatta ditafsirkan Hatta sebagai ajaran fungsional. Artinya agama Islam harus berfungsi dalam proses-proses penguatan masyarakat. Islam tidak saja ada di dalam teks, tetapi juga dalam konteks.

Karena itu tujuan agama Islam adalah membangun peradaban universal, yaitu menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Abbas (2010) menyebutkan, langkah Hatta menjadikan Islam sebagai agama fungsional, kompatibel dengan maqâshid al syarî’ah dari tujuan ajaran Islam.

Kita akui, dalam fakta sejarah, Bung Hatta tidak dikategorikan sebagai ”kelompok pejuang Islam”. Bahkan beberapa kalangan menganggap Hatta ”terlibat” menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Karena itu Hatta dimasukkan ke dalam ”kelompok nasionalis” bersama Soekarno, Soepomo, Sjahrir, dan lainnya. Bahkan Endang Saifuddin Anshari mengelompokkannya sebagai ”nasionalis muslim sekuler”.

Namun, dalam konteks substansi, bukan prosedural keberislaman, pemikiran Hatta yang bercorak hattanomics sangat religius. Dari beberapa kajian akademis, terutama kajian pemikiran ekonomi, gagasan Hatta tentang ekonomi memiliki spirit religiositas keislaman yang luar biasa. Kendati tidak menggunakan kalimat simbolis keislaman, nuansa dan pemaknaan ekonomi religiositasnya sangat kental.

Tampaknya Bung Hatta menginginkan agar substansi ajaran Islam memberi rahmat universal tanpa menggunakan ”jubah” keislaman. Pada gagasan kemerdekaan ekonomi misalnya, Hatta memiliki konsep, bagaimana menegakkan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Untuk itu perlu terciptanya ”efisiensi sosial” yang diartikan dengan bagaimana ekonomi negara ini bisa dikelola secara bersama dengan ketepatgunaan tinggi sehingga rakyat secara keseluruhan benar-benar merasakan kemakmuran dan kesejahteraan.

Nilai Ekonomi
Corak religiositas hattanomics terlihat pada nilai ekonomi (economic value). Di antara nilai-nilai dasar yang menonjol dikedepankan Hatta adalah nilai dasar kepemilikan relatif, keadilan, kebersamaan, dan persaudaraan. Untuk tegaknya nilai-nilai dasar itu, menurut Hatta, diperlukan sejumlah nilai instrumental. Pertama, menyangkut kerja sama ekonomi dengan penekanan pada koperasi; kedua, peran negara dan demokrasi ekonomi. Negara menurut Hatta harus berperan aktif dalam kehidupan perekonomian.

Karena itu arah dan tujuan serta strategi pembangunan ekonomi menurut Hatta harus diarahkan dan ditekankan, di antaranya terhadap terciptanya pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan sosial, peningkatan daya beli rakyat, pembangunan infrastruktur perhubungan dan transmigrasi, penataan pertanahan, lingkungan, ekspor dan impor agar tujuan dan cita-cita sosial bangsa dan rakyat Indonesia dapat diwujudkan.

Hal ini menandakan, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama (at-ta’wun) berdasarkan atas asas kekeluargaan dan kerja sama (syirkah). Tentu instrumen operasionalnya, menurut Hatta, adalah koperasi. Koperasi akan memberikan tempat yang sama antara kaya dan miskin untuk saling bekerja sama.

Ketiga, jaminan sosial. Selain Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 juga mengakomodasi secara riil gagasan Hatta. Dalam pasal itu disebutkan ”fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hatta memandang, masalah kemiskinan tidak saja terkait dengan masalah ekonomi, tapi juga terkait dengan kehidupan keagamaan seseorang. ”Jangan dikira orang miskin yang begitu banyak, hidup meminta-minta akan taat beragama. Mereka malahan menyumpah-nyumpahi, mengapa Tuhan menjadikan nasibnya begitu jelek” (Abbas, 2010).

Keempat, tentang penataan pertanahan (landreform). Dalam perspektif Hatta, landreform penting karena tanah adalah faktor produksi yang penting, alat menghasilkan. Ini artinya baik buruknya penghidupan rakyat tergantung kepada keadaan milik tanah. Selain itu, kata Hatta, ”tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak”. Bahkan Hatta menambahkan, ”tanah tidak boleh lagi menjadi objek perniagaan yang diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan.” (Swasono, 1999).

Perspektif Hatta ini tentu sangat religius. Tanah dituntut untuk dikelola dan diproduktifkan bagi yang memilikinya agar tercipta kesejahteraan di tengah masyarakat. Dengan demikian, menurut Abbas (2010), menjadi illat bagi pencabutan dan pengalihan kepemilikan serta pengolahan tanah tersebut dalam Islam bukanlah masalah luas tanah yang dimiliki seseorang, tetapi ”karena tanah tersebut dibiarkan, tidak dikelola”.

Hal ini sejalan dengan dialog antara Umar bin Khattab dengan Bilal seperti yang dinukil Taqyuddin an Nabhani, Umar berkata kepada Bilal: ”...bahwa Rasulullah saw tidak akan memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya, tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola dan yang lain (yang tidak bisa kamu kelola) kamu kembalikan”.

Dalam konteks dinamika ekonomi saat ini yang semakin pragmatis dan nirideologi, sangatlah kompatibel jika nilai-nilai religiositas dalam setiap kebijakan ekonomi bergerak terintegrasi. Hanya yang jadi persoalan, penangkapan spirit religiositas yang kerap banyak dipraktikkan baik para pengambil kebijakan ekonomi maupun para pemuka agama, hanya melihat religiositas dalam dimensi tekstual sehingga menjadikan agama sebagai justifikasi jangka pendek. Universalitas ajaran agama pun menjadi tereduksi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5588 seconds (0.1#10.140)