Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri Dibahas di Sulut

Senin, 07 Agustus 2017 - 21:50 WIB
Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri Dibahas di Sulut
Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri Dibahas di Sulut
A A A
MANADO - Sebagai daerah yang memiliki banyak aktivitas tambang, Sulawesi Utara (Sulut) harus memerhatikan bahaya dan dampak merkuri yang digunakan. Hal ini terkait dengan Ratifikasi Konvensi Minamata.

Gubernur Sulut Olly Dondokambey yang diwakili Asisten II, Rudy Mokoginta menyatakan, merkuri telah menjadi perhatian global sejak pencemaran oleh perusahaan Chisso Minamata Factory (CMF) yang membuang limbah metal merkuri ke teluk Minamata Jepang sekitar tahun 1956-1968.

“Kasus itu mengakibatkan permasalahan kesehatan pada penduduk di sekitar Teluk Minamata,” ujarnya dalam dialog publik bersama Tim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK ), Tim Komisi VII DPR RI yang diketuai Bara Hasibuan, Institusi Pendukung Teknis AGC (Artisanal Gold Council) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulut, di ruang CJ Rantung Kantor Gubernur Sulut, Senin (07/08/2017).

Menurut Rudy, terkait dengan itu maka pemerintah dan masyarakat Sulut yang juga memiliki potensi tambang dan kegiatan pertambangan, termasuk pertambangan emas rakyat, diajak untuk berdialog dan memberikan masukan yang konstruktif terhadap pematangan Ratifikasi Konvensi Minamata.

“Saya berharap kiranya kegiatan ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan masukan yang bermanfaat demi keberhasilan Ratifikasi
Konvensi Minamata untuk meminimalisir potensi pencemaran lingkungan hidup dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh merkuri,” tutupnya.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tuti Mintarsih mengatakan, mengapa harus ada Konvensi Minamata karena merkuri ini berbentuk sebuah partikel racun yang berpindah tempat melalui udara, juga banyak digunakan sehari-hari terutama lampu pijar, termometer (alat kesehatan) dan kosmetik (namun telah dilarang oleh badan POM).

“Ada tiga merkuri di antaranya elemental (biasa dalam kosmetik), unorganik dan organik juga mempunyai larutan (biasa dalam tambang mas, red) dampak dalam kesehatan bisa bertahun-tahun dengan gangguan saraf bagi anak kecil," ujar Tuti.

Dikatakan Tuti, emisi merkuri tertinggi itu di Indonesia terdapat pada pertambangan. Bahkan, tak hanya terjadi di Indonesia di berbagai badan dunia juga mengalami hal yang sama.

“Melalui PBB juga telah melakukan suatu pemberitahuan untuk memperingatkan tentang dampak dari Mercury,” kata Tuti.

Anggota Komisi VII DPR Bara Hasibuan mengatakan, meski kegiatan ini bersifat dialog, nantinya akan dibahas dan mencari solusi bagaimana baiknya dalam mengimbangi merkuri termasuk dampaknya Minamata pada kesehatan manusia terlebih untuk kulit.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8954 seconds (0.1#10.140)