Redenominasi, Kapan Dimulai?

Senin, 24 Juli 2017 - 08:02 WIB
Redenominasi, Kapan Dimulai?
Redenominasi, Kapan Dimulai?
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

KONDISI rupiah saat ini dinilai oleh pemerintah dan beberapa stakeholders ekonomi lainnya memiliki nilai nominal yang sudah terlewat besar. Satuan angkanya lumayan panjang jika ditukar dengan mata uang negara lain yang kursnya lebih kuat. Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan dukungan terhadap Bank Indonesia (BI) agar lekas melakukan redenominasi.

Redenominasi yang dimaksudkan ialah pengurangan nilai nominal rupiah sebanyak tiga digit ke belakang. Isu redenominasi saat ini dibungkus jauh lebih rapi ketimbang ketika pertama kali mencuat sekitar 4-5 tahun silam.

Rencananya, pemerintah mendukung sepenuhnya langkah BI yang hendak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2017. Beberapa anggota DPR tampaknya juga sudah memberikan lampu hijau agar BI segera mengajukan RUU Redenominasi dalam Prolegnas 2017.

Pemerintah begitu hangat merespons isu kebijakan redenominasi rupiah lantaran dianggap bisa meningkatkan efisiensi ekonomi. Ketika ada redenominasi diasumsikan proses transaksi ekonomi akan berjalan lebih sederhana. Jumlah angka yang tercantum di rupiah rata-rata sudah empat digit ke atas, dan rupa-rupanya sudah termasuk sebagai satu di antara yang terpanjang di dunia.

Para ahli moneter internasional rata-rata menyimpulkan, negara yang memiliki jumlah digit mata uang yang panjang adalah negara yang pernah mengalami hiperinflasi. Indonesia memang sempat mengalami hiperinflasi medio 1960-an dan sejak itu inflasi berhasil ditekan hingga konsisten di bawah 10%.

Perkara jumlah digit rupiah yang cukup panjang kadangkala juga membuat mata uang kita menjadi kurang “dihargai” secara internasional. Selain itu, juga kadang dianggap merepotkan untuk manajemen pembukuan.

Coba saja kita bayangkan, jumlah APBN kita saat ini sudah beranjak di atas Rp2.000 triliun. Dalam sistem bilangan angka, APBN kita diartikan sudah mencapai pada level kuadriliun. Proses akuntansinya memang akan jauh lebih efektif dengan ada redenominasi.

Penulis sebenarnya sangat sependapat dengan pemerintah bahwa perekonomian kita perlu didukung ada redenominasi. Namun, momentumnya sekarang ini masih belum cukup ideal dan belum terlalu urgen untuk dilakukan.

Pemerintah dan BI sah-sah saja jika tetap ngotot beralibi berdasarkan kondisi inflasi. Tingkat inflasi kita memang sudah jauh lebih terkendali ketimbang beberapa tahun yang lalu saat wacana redenominasi pertama kali mencuat.

Selain itu, BI juga menjustifikasi dengan posisi nilai tukar rupiah yang akhir-akhir ini relatif lebih stabil. Pengelolaan APBN pun dikatakan memiliki kredibilitas dan presisi yang tinggi hingga meningkatkan investment grade.

Namun, bagi penulis, bekal tersebut masih belum cukup kuat dijadikan sebagai landasan kebijakan, atau malah justru bisa tampak lebih membahayakan. Inflasi kita memang dalam posisi yang rendah. Tetapi, kondisi perekonomian kita sebenarnya belum lepas dari kabut yang cenderung mendung.

Para pengamat menganggap tingkat daya beli masyarakat sedang terganggu. Posisi inflasi kita bisa begitu rendah lebih karena didorong faktor demand yang turun ketimbang sisi supply yang menguat. Sehingga, kondisi empiris yang ada tampaknya justru sedang berlawanan arah dengan asumsi yang disampaikan pemerintah.

Baru-baru ini BPS juga melansir hasil terbaru yang terkait dengan perkembangan kesejahteraan masyarakat. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mengalami kenaikan 6.900 orang jika dibandingkan September 2016. Total penduduk miskin untuk saat ini mencapai 27,77 juta jiwa atau sekitar 10,64% dari total populasi.

Sementara itu, tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat yang diukur berdasarkan indeks gini rasio mengalami penurunan yang sangat-sangat tipis, hanya 0,001 poin selama periode Maret 2017 terhadap September 2016. Posisi terkini indeks gini rasio kita berada di angka 0,393. Keduanya mengindikasikan sedang terjadi pola pertumbuhan ekonomi yang tergolong rapuh secara sekaligus.

Kenaikan jumlah penduduk miskin menandakan semakin banyak masyarakat yang tingkat pengeluarannya (konsumsi) di bawah standar pengeluaran sebulan di setiap wilayahnya. Padahal, standar garis kemiskinan kita tergolong rendah. Sementara itu, kekuatan utama tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga/masyarakat.

Posisi indeks gini rasio terhitung masih sangat tinggi dibandingkan 15 tahun silam, dan hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi persebaran kekayaan yang tidak wajar di Indonesia. World Bank juga memiliki metode tersendiri untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran dengan membagi ke dalam tiga kategori, yakni 40% penduduk berpengeluaran rendah, 40% berpengeluaran sedang, dan 20% berpengeluaran tinggi.

Penduduk dengan pengeluaran rendah pada 2015 hanya menyumbang 17,10% dari total pengeluaran (konsumsi). Sisanya dikuasai penduduk berpengeluaran sedang yang berkontribusi sebesar 34,65% dan berpengeluaran tinggi yang konsumsinya menopang 48,25% dari total pengeluaran (BPS, 2016).

Dari sini sudah sangat gamblang bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi kita selalu diselamatkan oleh konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Namun, posisi tersebut menggambarkan level pertumbuhan ekonomi inklusif kita yang masih cukup rendah.

Yang perlu kita perhatikan lagi, terjadi penurunan indeks gini rasio dalam dua tahun terakhir ini apakah karena didorong membaiknya tingkat konsumsi masyarakat menengah ke bawah atau justru sebaliknya, lebih disebabkan masyarakat kelas menengah ke atas yang tengah “melempem” akibat kontraksi ekonomi global dan nasional. Karena, dua faktor tersebut sangat jauh berbeda makna dan substansinya.

Berkaca dari Beberapa Negara
Meskipun tujuan utama dari redenominasi ialah menyederhanakan jumlah angka yang tercantum di mata uang rupiah, jika berkaca pada apa yang pernah terjadi di beberapa negara, ternyata dampaknya tidak bisa dikatakan cukup sederhana. Negara-negara yang tergolong sukses melakukan redenominasi di antaranya Turki, Jerman, Polandia, Ukraina, dan Rumania.

Kita juga bisa belajar dari beberapa negara yang gagal dalam menjalankan redenominasi seperti Rusia, Brasil, Argentina, Zimbabwe, dan Korea Utara. Negara-negara tersebut mewariskan beberapa aspek penting bagi Indonesia sebagai syarat utama kesuksesan dalam melakukan redenominasi.

Pertama, dibutuhkan ada stabilitas politik dan ekonomi dalam tempo yang sangat panjang. Jika dilihat dari kondisi terkini, dua syarat yang pertama ini terhitung berat untuk dilakukan.

Situasi politik pasca-Pemilu 2014 tensinya cenderung terus memanas, bahkan peredaran uang baru untuk emisi 2016 juga tidak terlepas dari isu politik. Apalagi, pemilu berikutnya di 2019 sudah semakin dekat sehingga diprediksi lebih banyak lagi terjadi akrobat-akrobat politik. Sementara dari sisi ekonomi kemungkinan segera bergejolak.

Penyebab utamanya timbul dari semakin menurunnya subsidi pemerintah untuk kepentingan energi sehingga berakibat pada harga BBM dan listrik. Eksistensi masyarakat untuk konsumsi dan produksi bisa sangat terganggu, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan UMKM.

Pemerintah perlu lebih memperhatikan lagi eksistensi UMKM. Pasalnya, sektor UMKM menopang 61,41% total PDB, menyerap 96,71% tenaga kerja, dan menyumbang sekitar 15,37% total ekspor nonmigas Indonesia (BPS, 2015). Jadi, upaya redenominasi akan berhadap-hadapan dengan tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.

Kedua, perlu ada legitimasi dukungan dari parlemen, pihak swasta, dan masyarakat. Kegagalan pelaksanaan rencana redenominasi pada kisaran 2011-2013 juga karena belum ada dukungan dari DPR untuk mengesahkan RUU Redenominasi. Alasan DPR pada saat itu berkaitan dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tidak cukup mendukung pelaksanaan redenominasi.

Ketiga, anggaran yang cukup untuk mencetak sejumlah uang yang baru. Pengalaman redenominasi yang gagal di Korea Utara disebabkan tidak tersedia stok uang baru yang mumpuni. BI mengatakan biaya untuk mencetak dan mendistribusikan uang di seluruh wilayah Indonesia sekitar Rp3,5 triliun per tahun.

Pada 2016 kemarin belum diketahui apakah biayanya masih mendekati rata-rata tersebut ataukah bahkan lebih tinggi lagi. Karena, seperti yang kita ketahui tahun kemarin, BI menerbitkan uang untuk emisi 2016. Pertanyaan sederhananya, apakah anggarannya akan tersedia di tengah kas negara yang sedang seret seperti yang sekarang ini terjadi?

Keempat, pentingnya edukasi terhadap masyarakat. Edukasi menjadi salah satu bagian terpenting untuk menghindari ada efek psikologis yang tidak terkendali. Edukasi yang pertama, masyarakat harus dipahamkan perbedaan antara redenominasi dengan kebijakan sanering secara komplet beserta efek-efeknya terhadap nilai riil rupiah.

Perbedaan dua kebijakan masih cenderung bias bagi masyarakat awam. Kemudian untuk edukasi yang kedua, pemerintah dan BI harus mengajarkan masyarakat terhadap bahaya ilusi redenominasi, khususnya bagi kalangan pedagang dan produsen.

Yang penulis khawatirkan, pedagang dan produsen akan “memainkan” harga jual produknya. Misalnya harga setelah redenominasi seharusnya Rp1 diubah menjadi Rp1,5.

Meskipun terlihat kecil, angka tersebut setara dengan kenaikan dari Rp1.000 menjadi Rp1.500 untuk nilai uang sekarang. Kalau diakumulasikan, bisa menimbulkan inflasi yang kebablasan.

Dan, sekali lagi penulis menegaskan, apakah pemerintah dan BI sudah betul-betul siap dengan segala kemungkinan yang terjadi pascakebijakan redenominasi? Kalau redenominasi tidak dilakukan dengan persiapan matang dengan kondisi lingkungan dan timing yang masih kurang kondusif, hasilnya bisa saja malah kontradiktif. Risiko-risiko akan selalu mengintai.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5444 seconds (0.1#10.140)