Utamakan Kompetensi, Jangan Terpaku pada Lembar Ijazah

Rabu, 12 Juli 2017 - 17:35 WIB
Utamakan Kompetensi, Jangan Terpaku pada Lembar Ijazah
Utamakan Kompetensi, Jangan Terpaku pada Lembar Ijazah
A A A
BEBERAPA waktu lalu marak pemberitaan kasus ijazah palsu yang diterbitkan sejumlah kampus swasta di Indonesia. Bahkan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) pun pernah menggerebek wisuda abal-abal di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Fakta ini tentu membuat miris mengingat ijazah palsu bisa menjadi penanda rendahnya kualitas para lulusannya. Selain itu, terbongkarnya kasus ijazah palsu di kalangan perguruan tinggi memunculkan pertanyaan bagaimana kualitas pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.

Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) sebagai kepanjangan tangan Kemenristek Dikti dalam pengawasan, pengendalian dan pembinaan perguruan tinggi swasta mempunyai peran penting dalam memberantas praktik ijazah ilegal. Berikut petikan wawancara reporter KORAN SINDO Neneng Zubaidah dengan Ketua Kopertis III Jakarta Illah Sailah.

Bagaimana pandangan Kopertis terhadap fenomena ijazah palsu di kalangan PTS?

Maraknya ijazah palsu di kalangan perguruan tinggi swasta tentu membuat kami prihatin. Fenomena ini harus disikapi agar ke depan penerbitan ijazah palsu tidak kembali terulang.

Bagaimana peran Kopertis untuk menekan peredaran ijazah palsu?

Kopertis mempunyai tugas mengawasi, mengendalikan, dan membina. Dalam hal ijazah palsu, kami juga menerima laporan dari masyarakat yang menduga kampus itu ada masalah. Misalnya, kampus yang melakukan pembelajaran jarak jauh tanpa izin. Dari laporan yang masuk, kami lalu melakukan investigasi ke lapangan untuk mencari pembuktian apakah memang benar kampus itu melakukan pelanggaran atau tidak.

Bagaimana sistem pengawasan Kopertis agar PTS hanya menerbitkan ijazah sah bagi lulusannya?

Kami mempunyai mekanisme khusus agar PTS tidak menerbitkan ijazah abal-abal. Bagi perguruan tinggi yang ada izinnya, mereka harus melapor ke Kopertis dua minggu sebelum melakukan wisuda. Laporan yang kami terima lalu kami telusuri, apakah kampusnya terdaftar di Kemenristek Dikti atau tidak.

Lalu kalau sudah terdaftar, kita cek berapa semester mahasiswanya menempuh studinya. Mahasiswa harus benar-benar menempuh masa studinya sampai 100% baru mereka bisa wisuda. Kami juga meminta kampus untuk mengirim buku realisasi wisuda atau buku wisuda paling lambat satu minggu setelah wisuda digelar.

Apakah banyak kampus yang tidak melapor?

Tentunya (kampus) yang tidak baik pasti tidak akan melapor. Kalau seperti itu dan kita mengetahui maka kita datang investigasi ke tempat itu seperti yang dulu di Pondok Cabe.

Apa syarat lain yang menentukan ijazah itu legal?

Akreditasi perguruan tinggi. Kami akan memastikan status akreditasinya baru atau tidak. Jangan-jangan sudah kedaluwarsa. Kami saat ini sudah membuat early warning system untuk melihat kalau ada perguruan tinggi yang akreditasinya kedaluwarsa.

Sebulan sebelum masa aktifnya habis, kami sudah warning ke perguruan tinggi untuk segera mengajukan proses akreditasi ke BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Lalu, rasio dosen dan mahasiswa. Jangan sampai jumlah dosen dan mahasiswa itu tidak sebanding. Rasio dosen dan mahasiswa untuk program studi eksakta 1:30 dan noneksakta 1:45.

Bagaimana kondisi akreditasi perguruan tinggi di wilayah Kopertis III?

Dari jumlah 1600-an program studi di Wilayah Kopertis III, hanya 194 yang memiliki akreditasi A, artinya masih sekitar 12%- nya saja. Ini menjadi cerminan semua pihak bahwa masih banyak perguruan tinggi yang belum seakreditasi dan ada juga yang tidak terakreditasi. Kami meminta kementerian melakukan pembinaan sebab Kopertis dalam hal ini hanya sebatas memberikan rekomendasi.

Apa sanksi bagi PTS yang terbukti menerbitkan ijazah palsu?

Kalau memang gejalanya terbukti, kita akan ke lapangan. Lalu, perguruan tinggi itu dipanggil ke Kopertis untuk menandatangani pakta integritas bahwa mereka akan melakukan perbaikan dan peningkatan mutu kampusnya selama enam bulan ke depan.

Setelah itu, kita lihat lagi sebenarnya dia melanggar pasal mana sehingga bisa menentukan apakah pelanggaran yang dia lakukan itu tergolong pelanggaran berat, sedang atau ringan. Jika berat, kita akan serahkan ke kementerian untuk menindaklanjutinya.

Kopertis tidak berwenang memberikan sanksi?

Tidak. Kami memang sudah meminta agar ada kewenangan pemberian sanksi. Misalnya, sanksi jika kampus itu tidak mempunyai izin dan menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. Kecuali jika ada masalah antara perguruan tinggi dan yayasan itu, kementerian yang bisa menanganinya.

Apa harapan Anda agar ijazah palsu bisa ditekan peredarannya?

Kami berharap masyarakat tidak menganggap gelar sarjana adalah segalanya. Toh , sekarang di dunia kerja yang dilihat itu kompetensinya sehingga sertifikat kompetensi inilah yang seharusnya lebih utama daripada hanya selembar ijazah.

Kepada pemerintah pun kami mohon gelar jangan dijadikan syarat utama dalam jabatan tertentu. Misalnya saja untuk calon kepala daerah itu sebaiknya dilihat leadership -nya, rekam jejaknya, skill komunikasinya, jangan hanya gelar S-1. Jangan sampai ada calon kepala dinas atau sekda itu memaksa punya ijazah tapi ujung-ujungnya beli ijazah palsu.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5790 seconds (0.1#10.140)