Nasib Panti Asuhan Selepas Lebaran

Kamis, 29 Juni 2017 - 10:05 WIB
Nasib Panti Asuhan Selepas Lebaran
Nasib Panti Asuhan Selepas Lebaran
A A A
Reza Indragiri Amriel
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

ANAK-ANAK dipandang sebagai sosok yang berhati bening. Bebas tabiat culas, bersih dari akal bulus, dan jauh dari kehendak memangsa orang lain.

Apalagi anak yatim. Seketika batin berkata, manalah mungkin anak yang nelangsa tanpa ayah bunda sampai hati mengelabui sesama. Karena itu, setiap kali menatap seorang anak yang mendapat status yatim, nurani siapa pun memekik-mekik ke si empunya agar mengulurkan bantuan kepada anak malang tersebut. Suasana hati semacam itu seketika muncul apalagi di seputar masa Ramadan dan Idul Fitri. Sekonyong-konyong berdatangan anak-anak menenteng proposal lusuh tentang pembangunan panti asuhan atau anak-anak bersama orangorang dewasa mengetuk pagar sambil berkata, “Sedekahnya, Pak. Untuk anak yatim.”

Pada bulan puasa, perempatan lampu merah juga menjadi lebih ramai daripada yang sudah-sudah. Aji mumpung benar kesannya. Sejumlah anak berumur sekitar pubertas meminta derma sambil membawa kardus bertulis “peduli anak yatim”. Di situ juga tertulis nama panti asuhan dan daerahnya. Hingga jam sebelasan malam, anak-anak itu masih di sana. Pemandangan serupa bisa ditemukan di berbagai kota lainnya. Melihat mereka, anak-anak yang mengenakan sarung dan songkok itu, hati kecil pun jatuh iba. Tolonglah, selogam lima ratusan pun jadilah. Begitu titah hati. Anggaplah mereka adalah sungguh-sungguh anak yatim.

Karena masih bocah, mereka merupakan kelompok usia istimewa. Begitu spesialnya, sampai-sampai Undang-undang Perlindungan Anak tercatat sebagai legislasi paling sering mengalami revisi dan dalam jarak waktu sedemikian dekat. Tambahan lagi, dengan status yatim, anak-anak itu memiliki kekuatan tersembunyi menaikkan martabat manusia. Penyayang anak yatim, sabda Nabi Muhammad, kelak akan duduk bersisian dengannya di kehidupan nanti.

Selain itu, Nabi berkata, rumah terindah adalah rumah yang di dalamnya hidup tenteram anak-anak yatim. Jadi, sungguh sumbangan sempurna untuk setiap rupiah yang diberikan kepada anak-anak yatim di simpang jalan maupun yang datang ke kompleks-kompleks perumahan. Namun dipikir ulang, terasa ada yang janggal. Keberadaan anak-anak yatim yang begadang membawa kotak derma justru menimbulkan kesan bahwa negara telah abai terhadap mereka. Semestinya individu-individu seumuran mereka tidak berkeliling menghirup asap dan udara malam yang lembab.

Menjelang tengah malam, mereka seharusnya sudah menikmati kantuk atau beribadah malam dengan khusyuk. Melihatnya dari sisi lain, keberadaan anak yatim sebagai peminta-minta sebenarnya merupakan bukti tak terbantahkan tentang ketidaklayakan panti asuhan dalam mengasuh anak-anak tersebut. Semestinya ketika sadar bahwa panti tak lagi mampu mengasuh anak-anak yatim dengan baik, pengurus panti (orang dewasa) harus bekerja lebih keras guna memenuhi hak-hak anak asuhan mereka. Opsi lain, ini merupakan kriteria panti teladan adalah mengasuh anak-anak tersebut untuk sementara waktu, kemudian mengembalikan mereka kepada sanak saudara mereka yang dinilai memiliki kemampuan menjamin tumbuh kembang anak.

Pilihan terakhir, pengurus selekasnya menghentikan operasi panti dan mengalihkan pengasuhan anak-anak ke–misalnya–dinas sosial. Itu pilihan langkah yang harus panti lakukan. Bukan dengan mengirim anak-anak yatim mengemis menantang angin malam. Panti yang menyuruh anak-anak yatim asuhannya menengadah tangan di sela-sela kendaraan maupun membawa proposal pencarian sumbangan, betapa pun dalam menghimpun dana guna memenuhi kebutuhan anak-anak itu sendiri, boleh dipandang sebagai bentuk eksploitasi anak. Itu pidana. Penghardik anak yatim “saja” dijuluki sebagai pendusta agama.

Terlebih pengeksploitasi mereka. Apalagi andai pengelola panti menjatuhkan hukuman ketika anak-anak itu menolak menjadi peminta-minta atau manakala anak-anak itu memperoleh uang dalam jumlah kecil, itu kekerasan terhadap anak. Itu pidana juga. Fakta bahwa panti asuhan telah menjadi lahan bisnis dicatat oleh banyak ilmuwan, antara lain Kathryn E van Doore. Di dalam artikelnya yang dimuat pada The International Journal of Children’s Rights (volume 24, 2016), van Doore menyajikan sejumlah temuan mencengangkan. Antara lain bahwa di sekian banyak negara berkembang anak-anak diambil dari keluarga biologis mereka, lalu dikirim (bisa pula dijual) ke panti untuk kemudian “diberdayakan” untuk mencari uang.

Pidana

Terlepas apakah anak-anak yang mengemis benar-benar yatim atau bukan, meminta-minta uang tanpa izin di tempat umum sesungguhnya merupakan pelanggaran hukum. KUHP Pasal 504 dan 505 yang mengatakan demikian. Pasal 504 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam Minggu.” Ayat kedua lebih keras lagi, yakni ketika pengemisan dilakukan oleh tiga orang atau lebih dan mereka berusia di atas enam belas tahun, diancam pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Andai tak mengemis, tapi menggelandang, pelakunya–termasuk anak-anak–juga kena Pasal 505. Ketentuan dan hukumannya sama seperti Pasal 504. Karena berurusan dengan pidana, maka ini sejatinya merupakan ranah kerja polisi. Jadi, betapa pun anak-anak itu “bekerja” dengan alasan kemanusiaan, secara normatif mereka sesungguhnya bisa dipidana. Begitu pun bisa kena sanksi berdasarkan peraturan daerah setempat. Bahkan dengan berlindung di balik usia bocah sekali pun, mereka tetap menjadi incaran Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kecuali–sekalilagi– apabila anak-anak melakukan tindakan itu karena diintimidasi dan tidak mampu mengelak dari perlakuan buruk tersebut, maka sahlah mereka adalah korban. Kini, pasca-Idul Fitri, pemandangan terindah adalah panti-panti asuhan yang kosong melompong karena anak-anak telah berhimpun dan diasuh oleh keluarga biologis mereka sendiri. Namun kontras, panti-panti yang sempat sepi barangkali akan ramai kembali.

Atas dasar itu, menangkal situasi horor yang digambarkan van Doore di atas, sekarang pula waktu yang tepat memastikan asal-usul seluruh anak di panti-panti asuhan serta menjamin para bocah di sana bebas sebebas- bebasnya dari kemungkinan pemanfaatan jahat oleh “pengasuh” mereka.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1954 seconds (0.1#10.140)