Sevel Tinggal Kenangan

Kamis, 29 Juni 2017 - 09:10 WIB
Sevel Tinggal Kenangan
Sevel Tinggal Kenangan
A A A
KINI 7-eleven atau Sevel tinggal kenangan di Indonesia. PT Modern Sevel Indonesia (MSI) yang menaungi waralaba ritel asing itu akhirnya mengibarkan bendera putih.

Induk usaha MSI, PT Modern International Tbk, telah membuat keterangan resmi atas penutupan gerai Sevel di Indonesia terhitung per 30 Juni 2017. Spekulasi penutupan Sevel pun melahirkan berbagai analisis dengan sudut pandang berbeda. Bisnis Sevel meredup karena konsep bisnis tidak jelas, produk yang ditawarkan biasa saja tanpa keunikan, dan kondisi keuangan memburuk. Ada pula yang menyalahkan kebijakan pemerintah menilai penguasa tak paham dengan model bisnis yang dikembangkan Sevel di negeri dengan bisnis ritel terus bertumbuh.

Cerita penutupan Sevel semakin dramatis ketika investor baru PT Charoen Pokphand Restu Indonesia membatalkan transaksi akuisisi Sevel dari pihak MSI. Fenomena meredupnya bisnis Sevel yang sempat menyengat para pelaku bisnis ritel lainnya karena sangat digandrungi kaum muda sebagai alternatif tempat nongkrong memang mengundang berbagai keheranan. Namun, bagi Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P Roeslani, menilai sebagai risiko bisnis.

Sebab di mata Rosan persoalan substansial Sevel di Indonesia adalah konsep bisnis yang diterapkan tidak tepat sehingga mengakibatkan gerai-gerai Sevel tidak bisa memenuhi target perusahaan. Karena itu, Rosan menampik analisis yang menyatakan runtuhnya Sevel disebabkan bisnis ritel di Indonesia telah meredup.
Sevel memberi kenyamanan pembeli untuk nongkrong berlama-lama yang membuat biaya operasional lebih besar dibanding pendapatan. Namun, pakar marketing, Rhenald Kasali, justru mengarahkan telunjuk kepada pemerintah sebagai penyebab ambruknya bisnis Sevel.

Musibah yang menimpa Sevel berawal ketika pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta Sevel menegaskan model bisnis apakah sebuah minimarket atau restoran/kafe pada 2012. Atas sikap pemerintah tersebut membuat model bisnis Sevel yang semula tempat anak muda nongkrong menjadi kacau karena biaya operasional menjadi mahal. Kondisi tersebut semakin buruk menyusul keluarnya aturan pemerintah terkait penjualan minuman beralkohol. Sejak April 2015, pemerintah melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket.

Tudingan Rhenald Kasali kepada pemerintah sebagai biang kerok ambruknya bisnis Sevel di Indonesia ditampik keras. Bangkrutnya jaringan toko modern itu, sebagaimana ditegaskan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto, disebabkan kondisi internal perusahaan. Sayangnya, Airlangga yang sempat tercatat sebagai anggota DPR sebelum menjadi anggota Kabinet Kerja hanya menyebut faktor internal hancurnya Sevel tanpa menjelaskan indikasinya apa.

Namun jelas, pemerintah tidak bisa menerima tuduhan kalau anjloknya bisnis ritel karena aturan penjualan minuman beralkohol diperketat. Pada awalnya model bisnis yang diterapkan Sevel memang sempat membuat panas dingin para pemain ritel di dalam negeri, bahkan sejumlah toko ritel modern menyontek model bisnis waralaba ritel asing yang sudah menggurita di sejumlah negara.

Namun, kinerja Sevel yang mentereng tidak berlangsung lama. Pada 2015, penjualan MSI badan usaha yang menaungi Sevel hanya mencatatkan Rp886,15 miliar. Perseroan membukukan kerugian operasional sebesar Rp49,58 miliar dan rugi tahun berjalan sebesar Rp127,7 miliar. Tahun berikutnya (2016) kinerja MSI semakin terpuruk dengan angka penjualan sebesar Rp695,78 miliar. Rugi operasional semakin membengkak yang mencapai sebesar Rp695 miliar dan rugi tahun berjalan juga naik menjadi Rp554,87 dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam kondisi kinerja MSI yang suram dan lesu itu bertiup angin segar yang diembuskan PT Charoen Pokphand Restu Indonesia bersedia mengakuisisi Sevel.

Anak usaha PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk siap menggelontorkan dana sebesar Rp1 triliun. Namun, angin segaritu hanya berembus sejenak sebab proses akuisisi terganjal di tengah jalan akibat tidak tercapainya kesepakatan antara kedua pihak. Pihak MSI terpaksa mengibarkan bendera putih yang berimplikasi pada hilangnya pekerjaan sebanyak 1.605 orang dari berbagai jenjang pendidikan. Tentu sikap prihatin saja tidaklah cukup menyikapi runtuhnya bisnis Sevel di Indonesia yang sempat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.

Apa pun alasan bangkrutnya Sevel tak perlu dibahas lagi, tetapi hendaknya dijadikan cermin besar bagi pemerintah dalam menelurkan kebijakan pada sektor ritel.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8884 seconds (0.1#10.140)