Merawat Indonesia

Jum'at, 28 April 2017 - 07:56 WIB
Merawat Indonesia
Merawat Indonesia
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

MESKI Indonesia telah meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi negara yang berdaulat, lepas dari penjajahan, namun sebagai sebuah bangsa sesungguhnya masih dalam proses menjadi (becoming) Indonesia. Kesadaran sebagai warga suku masih lebih kuat dibanding sebagai warga negara (citizen).

Hal ini sangat dimaklumi karena sejak berdirinya, bangsa dan negara Indonesia ini terdiri atas beragam etnis, bahasa dan agama, penduduknya pun tersebar ke ratusan pulau. Tidak kurang dari 13.000 pulau tersebar di wilayah Nusantara, terentang dari Aceh di ujung barat sampai Papua di ujung timur, dengan jarak lebih dari 5.000 kilometer, dihuni oleh lebih dari 200 etnis yang berbeda-beda.

Sampai-sampai muncul ungkapan, terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebuah mukjizat (miracle), yaitu kenyataan historis-sosiologis di luar jangkauan nalar.

Bayangkan saja, sebuah negara kesatuan yang terdiri atas ribuan pulau, lebih dari 500 bahasa lokal, puluhan keyakinan keagamaan dan kepercayaan, ratusan tradisi, yang kesemuanya bergabung ke dalam rumah bersama yang bernama Republik Indonesia. Tak ada preseden dalam sejarah, sebuah negara kepulauan yang sedemikian besar menjadi negara kesatuan.

Ini bisa dibandingkan negara Barat, China dan India yang merupakan negara kontinental. Atau negara-negara Arab yang memiliki kesamaan agama, bahasa dan daratan, tapi terbagi menjadi lebih dari 20 negara.

Jika diibaratkan kapal, Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya yang sangat beragam. Atau ibarat rumah besar dengan ratusan kamar yang dihuni oleh beragam penduduk dengan bahasa, tradisi dan agama yang berbeda-beda. Kalau keragaman dan harmoni antar-kelompok tidak terjaga, maka akan memunculkan kegaduhan yang membuat kapal oleng atau rumah tangga kacau. Jangan-jangan malah terbakar.

Dengan ungkapan lain, apa yang disebut Indonesia dan keindonesiaan itu merupakan agenda sejarah yang tak akan pernah selesai. Rakyat bersama pemerintah dituntut untuk menjaga persatuan, keutuhan, ketahanan, kemajemukan, kedaulatan yang semuanya bermuara untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Itulah yang menjadi tujuan mengapa suku-suku bangsa dan sekian banyak kesultanan yang ada di Nusantara ini bersatu untuk mendirikan dan menjaga NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Generasi Hibrida
Penggunaan istilah generasi hibrida diilhami oleh ilmu pertanian. Yaitu terjadinya perkawinan silang untuk melahirkan generasi baru yang lebih unggul.

Istilah serupa dikemukakan oleh Eddie Lembong, yang kemudian jadi judul buku bunga rampai, Penyerbukan Silang Antarbudaya, dalam rangka membangun manusia Indonesia (Kompas Gramedia, 2015). Sebuah kebudayaan tidak mungkin tumbuh berkembang dalam isolasi. Melainkan mesti bertemu dan berinterakasi dengan budaya lain.

Budaya-budaya besar selalu akomodatif dan apresiatif terhadap pengaruh budaya lain tanpa kehilangan karakter aslinya. Itulah yang tengah terjadi di bumi Indonesia, juga di tingkat global.

Dengan berkembangnya transportasi dan teknologi informasi, maka perjumpaan antarwarga bangsa semakin mudah dan intens. Mereka mengenalkan budaya masing-masing yang pada urutannya saling belajar dari kelebihan budaya suku dan daerah lain.

Dalam seni budaya sangat mudah diamati, betapa kaya dan beragamnya budaya daerah. Belum lagi keunikan dan keindahan alamnya.

Dalam proses penyerbukan silang antarbudaya (Cross Cultural Fertilization) peran perguruan tinggi sangat besar perannya. Khususnya universitas papan atas, mahasiswa dan dosennya datang dari berbagai propinsi dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda sehingga tercipta miniatur intelektual Indonesia. Di universitas ini tidak saja terjalin persahabatan sesama mahasiwa, tetapi banyak juga yang berlanjut menjadi pasangan suami-isteri yang pada urutannya melahirkan keturunan yang semakin mengindonesia.

Pergaulan lintas etnis dan professi juga dengan mudah ditemukan pada lingkungan kantor dan perusahaan, tempat bertemunya anak-anak bangsa yang berpendidikan tinggi. Semua ini mengurangi sentimen etnis secara signifikan.

Berbagai keunikan dan stereotype yang melekat pada sebuah suku yang dahulu dianggap tabu dibicarakan, takut menyinggung perasaan, sekarang ini di lingkungan kampus dan kantor bisa dijadikan bahan candaan secara rileks. Ini menunjukkan pergaulan antarsuku berlangsung semakin intens, cair dan akrab serta semakin rasional.

Anak-anak yang lahir dari kelas menengah kota sejak dekade 80-an banyak yang orang tuanya melangsungkan cross cultural married. Tren ini akan berlangsung terus, volumenya membesar, sehingga diharapkan akan melapangkan jalan bagi lahirnya generasi baru yang semakin mengindonesia, yang memiliki semangat dan sikap citizenship atau kewarnegaraan serta memperkokoh semangat nasionalisme.

Meskipun secara genetis-biologis banyak generasi baru terlahir dari hasil pernikahan lintas etnis, namun dari sisi budaya keanekaragaman itu merupakan modal sosial dan kekayaan bumi Nusantara yang mesti dilestarikan sehingga keragaman dan keunikan budaya daerah mesti dilestarikan.

Masing-masing bisa belajar dari keunikan dan keunggulan budaya lain, bahkan juga dari bangsa lain. Proses asimilasi genetik ini pada urutannya akan mengaburkan apa yang disebut pribumi asli mengingat nantinya perkawinan silang atar etnis akan semakin banyak, sekalipun seseorang berhak memilih afiliasi identitas etnis dan agama.

Menjaga Kebhinekaan
Motto Bhinneka Tunggal Ika, beraneka ragam budaya, etnis dan agama namun tetap bersatu dalam naungan rumah bangsa Indonesia. Kita satu sebagai sebuah bangsa, namun beranekaragam dalam suku dan budaya. Unity in diversity. Kesatuan dalam keragaman. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan nasional.

Dibanding negara-negara lain, bangsa Indonesia mencatat prestasi luar biasa dalam mengembangkan bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia, yang semula merupakan bahasa ibu penduduk wilayah Melayu.

Bayangkan, warga daerah yang tinggal di Aceh sampai Papua, Manado, Kalimantan dan pedesaan di Jawa, semuanya bisa saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, sekalipun setiap hari mereka menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa ibu. Mungkin sekali Indonesia satu-satunya negara di dunia yang paling berhasil mengembangkan dan menjaga bahasa nasionalnya dari sebuah masyarakat yang sedemikian besar dan majemuk jumlah suku dan ragam bahasa serta budayanya.

Dengan menguatnya bahasa dan identitas nasional, terdapat suku-suku dan budaya lokal yang pelan-pelan punah karena perkembangan bahasa dan budaya memerlukan dukungan warganya. Misalnya saja, bahasa Jawa dan Sunda masih tetap berkembang karena penduduk di dua wilayah ini sangat besar dibanding daerah lain.

Namun dari semua suku yang ada, tak lagi memiliki huruf dan tulisan daerah. Majalah dan surat kabar yang menggunakan bahasa daerah hampir punah. Bahkan bahasa nasional pun menggunakan huruf Latin. Sedangkan huruf dan bahasa Arab banyak digunakan di dunia pesantren.

Moto Bhinneka Tunggal Ika memunculkan pertanyaan: apakah yang dikehendaki dengan motto itu adalah terpeliharanya multikulturalisme, pluralisme ataukah sebuah budaya hibriba produk penyerbukan silang antarbudaya?

Paham multikulturalisme menyatakan bahwa semua budaya masing-masing diberi kebebasan untuk tumbuh berkembang sesuai dengan keunikannya. Paham ini bersinggungan dengan paham pluralisme bahwa perbedaan itu mesti dihargai sehingga memungkinkan terjadinya asimilasi dan percampuran budaya.

Ketika masuk ranah keagamaan, paham pluralisme ini sering ditolak karena menganggap masing-masing agama itu sama dan benar adanya sehingga dikhawatirkan akan mengarah pada sinkretisme agama. Namun ketika terjadi pada wilayah budaya, justru paham itu yang sejalan dengan gagasan cross cultural vertilization untuk menemukan dan mengembangkan budaya unggul yang diambil dari beragam budaya Nusantara.

Saling Mendengarkan dan Menghargai
Perjumpaan lintas budaya, agama dan bangsa sekarang ini berlangsung semakin intens, terutama di kalangan profesional kelas menengah kota. Khususnya bagi seorang pemimpin, entah pemimpin di lingkungan pemerintah atau perusahaan, sangat penting memiliki perhatian dan kemampuan memahami budaya lain serta keterampilan berkomunikasi jika seseorang ingin meraih sukses.

Tidak saja kalangan profesional, para politisi dan pejabat negara pun harus mau mendengarkan, mempelajari dan menghargai keanekaragaman budaya Indonesia agar memahami karakter anak buahnya atau rakyatnya.

Tanpa memahami konteks kultural seseorang, kita mudah salah paham terhadap individu seseorang. Namun begitu, menilai seseorang hanya dengan mengacu watak komunal sebuah kelompok etnis juga sangat mungkin kita salah membuat penilaian. Seperti diingatkan oleh Erin Meyer: Speaking of cultural differences leads us to stereotype and therefore put individuals in boxes with "general traits". Instead of talking about culture, it is important to judge people as individuals, not just products of their environment. (The Culture of Map, hal 13).

Jadi, keduanya sama pentingnya untuk untuk menghargai baik keunikan individu maupun perbedaan kultural. Seseorang tidak terbebaskan dari pengaruh lingkungan budaya yang mengasuhnya, namun sebagai pribadi, setiap individu memiliki keunikan dan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya serta bertanggungjawab atas tindakannya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7175 seconds (0.1#10.140)