Uang Suap Proyek Bakamla Diduga Mengalir ke Sejumlah Anggota DPR

Jum'at, 07 April 2017 - 21:03 WIB
Uang Suap Proyek Bakamla Diduga Mengalir ke Sejumlah Anggota DPR
Uang Suap Proyek Bakamla Diduga Mengalir ke Sejumlah Anggota DPR
A A A
JAKARTA - Pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) ‎Fahmi Darmawansyah‎ mengakui uang suap Rp24 miliar yang diserahkan ke Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi mengalir ke sejumlah anggota DPR.

Fahmi Darmawansyah alias Emi adalah terdakwa memberi suap Rp28,338 miliar kepada pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Fahmi didakwa melakukan itu bersama dua terdakwa lain, yakni Marketing Operasional PT Merial Esa, Hardy Stefanus dan keponakan Fahmi yang juga pegawai Bagian Operasional Merial Esa, Muhammad Adami Okta.

Emi, Adami, dan Hardy didakwa memberikan uang kepada empat pejabat Bakamla untuk memenangkan PT MTI dalam pengadaan satelit monitoring di Bakamla dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih dari Rp222,438 miliar.

Sedangkan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi adalah narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran merangkap Staf Khusus Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo.

Pengakuan pengucuran uang Rp24 miliar ke Ali Fahmi yang diteruskan kepada anggota Komisi I dan Komisi XI DPR disampaikan Fahmi Darmawansyah alias Emi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (7/4/2017). Fahmi mengatakan itu dalam kapasitas sebagai saksi untuk terdakwa nama Hardy Stefanus.

Emi bersama empat orang lainnya dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bersaksi dalam persidangan Adami dan Hardy.

Emi menuturkan, PT MTI mengikuti tender pengadaan satelit monitoring dan PT Merial Esa mengikuti tender drone di Bakamla. Sebelum mengikuti tender, Ali Fahmi pernah datang ke kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.

Ali menawarkan agar Emi dkk mengikuti lelang proyek di Bakamla. Saat kedatangan Ali tersebut, anggaran proyek satelit monitoring sebesar Rp400 miliar dan drone Rp500 miliar diajukan Bakamla ke DPR untuk dibahas.

Untuk pengurusan tersebut, Ali meminta jatah di muka sebesar 6% dari anggaran proyek. Emi kemudian mempercayakan kepada Ali untuk pengurusan anggaran di DPR.

Untuk pengurusan di DPR dan mengamankan posisi PT MTI di Bakamla, akhirnya Emi mengucurkan Rp24 miliar kepada Ali. "Sebelum menang (tender) sudah direalisasikan. Seingat saya itu Rp24 miliar ke Ali Fahmi. Yang serahkan ke Ali itu Pak Hardy dan Pak Dami (Adami). Itu uang dari saya Yang Mulia," ujar Emi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (7/4/2017).

Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kiki Ahmad Yani lantas membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Emi terkait pengucuran uang kepada Ali yang kemudian dialirkan ke sejumlah anggota DPR.

Dalam BAP Emi, Ali pernah menyampaikan bahwa peruntukan uang sebesar 6% dari nilai proyek satelit monitoring untuk politikus DPR.

"Fahmi Habsyi pernah menyampaikan bahwa peruntukan uang sebesar 6% dari nilai proyek satelit monitorimg sebesar Rp 400 miliar yang saya berikan kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi adalah untuk urus proyek satelit monitoring Bakamla tersebut melalui Balitbang PDIP Saudara Eva Sundari, DPR Komisi I Fayakhun, Komisi XI Bertus Merlas, Donny Imam Priyambodo, (pihak) Bappenas Wisnu, (pihak) Kemenkeu namanya lupa. (Pihak) Bakamla terkait surat menyurat saudara Novel Hasan. Itu keterangan saudara," tanya JPU Kiki setelah membacakan surat BAP.

Emi membenarkan isi BAP tersebut. Namun, Emi mengaku tidak mengetahui rincian besaran uang, waktu, lokasi dan proses penyerahan dari Ali kepada pihak-pihak tadi.

Yang bisa dipastikan Emi adalah uang Rp24 miliar tersebut memang diperuntukkan bagi Ali dan pihak-pihak lain termasuk anggota DPR. "Untuk dia (Ali) dan orang lain, (termasuk) DPR. Dia yang tahu (penyerahannya). Dia (Ali Fahmi) yang handle, yang bertanggung jawab," kata Emi.

Dalam persidangan, Emi membeberkan proses penyerahan Rp24 miliar kepada Ali. Emi mengutus Adami dan Hardy membawa uang untuk bertemu Ali di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan sekitar awal Juli 2016.

Emi mengaku tidak hadir saat penyerahan uang ke Ali. Tapi, Adami dan Hardy merekam langsung penyerahan uang tersebut kepada Ali. Video rekaman penyerahan uang tersebut lantas diteruskan ke Emi.

"Saya dikasih videonya, waktu penyerahan itu sama Pak Hardy dan Pak Dami divideokan, saya dikasih tahu rekaman itu. Di-forward ke saya. Buat bukti Pak. Ini kan swasta Pak. Ali Fahmi enggak mau Pak (pakai tanda terima), ditransfer saja enggak mau Pak. Dia mau cash," tegasnya.

Selepas penyerahan uang tersebut rupanya, tutur Emi, terjadi penghematan dan pemotongan anggaran oleh pemerintah. Akhirnya DPR hanya mengesankan anggaran satelit monitoring hanya Rp222,438 miliar dari anggaran yang diajukan Rp400 miliar, sedangkan anggaran drone dibatalkan atau dibekukan.

Karena hanya disahkan demikian, Emi lantas meminta Ali agar mengembalikan sebagian dari uang tersebut. Pasalnya, sesuai kesepakatan bila dihitung 6% dari anggaran yang disahkan berarti Ali harus mengembalikan uang Rp10,8 miliar ke Emi.

"Tapi, Ali tidak bisa mengembalikan. Alasannya uang sudah diberikan ke DPR untuk menggolkan anggaran. ‎Waktu saya tagih, dia beralasan panjang. Bahasanya buat sebelas, (maksudnya) Komisi XI," tegas Emi.

Emi mengakui saat itu Ali sempat menyebut salah satu nama, yakni Donny Imam Priyambodo. Emi menambahkan, saat pengadaan satelit monitoring, perusahaan merugi.

Dalam satu kesempatan, ungkap Emi, Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo pernah datang ke rumah Emi. Arie melampiaskan kemarahannya. "Kabakamla marah, Pak Arie datang ke saya, Pak Arie marah ke Ali Fahmi. (Ali) banyak jual nama Kabakamla," ucapnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5608 seconds (0.1#10.140)