Menakar Peluang Sagu sebagai Komoditas Pangan Substitusi

Rabu, 29 Maret 2017 - 13:32 WIB
Menakar Peluang Sagu sebagai Komoditas Pangan Substitusi
Menakar Peluang Sagu sebagai Komoditas Pangan Substitusi
A A A
DR Ir Dwi Asmono, MS
Dewan Pakar Masyarakat Sagu Indonesia (Massi)

KEBERGANTUNGAN masyarakat Indonesia terhadap beras masih sangat tinggi. Bahkan, idiom “belum makan kalau belum makan nasi” nyatanya tak sekadar idiom, tetapi sudah bertransformasi menjadi perilaku masyarakat sehari-hari.

Tingginya konsumsi beras di Indonesia dapat terlihat dari data terakhir Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 yang menyebutkan konsumsi beras per kapita per Maret 2015 adalah sebesar 98 kilogram per tahun. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 97,2 kg per tahun.

Konsumsi per kapita ini dinilai berdasarkan aneka masakan yang mengandung beras mencakup konsumsi beras dalam bentuk nasi, beras ketan, tepung beras, dan konsumsi padi-padian lainnya.

Di sisi lain, nilai impor beras Indonesia sempat mencapai 1,2 juta ton dengan nilai CIF USD495,12 juta atau sekitar Rp6,6 triliun dengan kurs Rp13.300 per dolar Amerika pada November 2016. Volume impor ini merupakan yang tertinggi sejak 2013.

Adapun untuk impor beras pada tahun-tahun sebelumnya berturut turut yakni tahun 2012 sebesar 1,8 juta ton dengan nilai USD 945,62 juta, tahun 2013 sebesar 500.000 ton dengan nilai USD 246 juta, dan tahun 2014 sebesar 800.000 ton dengan nilai USD 388,18 juta.

Kebergantungan kita terhadap beras mendesak kita untuk terus membuka keran impor dan menjadikan beras sebagai komoditi “politik” yang tentunya sangat memengaruhi harga makanan pokok ini. Anomali harga beras kerap terjadi karena tingginya permintaan sementara persediaan yang masih kurang. Kita kerap kerepotan dalam mengontrol harga bahan pangan pokok nomor satu ini.

Terlebih, faktor perubahan cuaca akibat El Nino dan La Nina yang sangat memengaruhi pasokan. Sepanjang 2016, pergerakan harga beras relatif stabil jika dibandingkan pada 2015 yang sempat mengalami kenaikan sampai 30%. Namun, kita tidak mampu menjamin harga komoditas nomor satu ini dalam kisaran harga yang stabil.

Apalagi, produktivitas beras yang dihadapkan dengan sejumlah kendala seperti semakin menurunnya jumlah lahan subur yang menekan jumlah produksi, besaran produksi yang mulai stagnan, saluran irigasi yang banyak rusak, sumber pengairan terbatas, dan gangguan perubahan iklim. Terlebih faktor jumlah penduduk yang terus meningkat (1,49%) semakin memperparah dan mendesak kita untuk mencukupi pasokan makanan pokok ini.

Melalui sejumlah programnya, pemerintah menyuguhkan jaminan dan perlindungan sebagai tameng utama dalam mencukupi tingginya kebutuhan atas beras. Untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga, Perum Bulog sebagai otoritas pangan telah melakukan sejumlah strategi yang bertujuan mengendalikan harga dengan memeratakan stok di Tanah Air.

Sayangnya, pengaturan yang telah disiapkan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun sinergitas lembaga, masih belum mengarah ke terobosan untuk membangun ketahanan pangan nasional dengan menghadirkan komoditas substitusi pangan.

Padahal, mengacu polemik yang muncul terhadap komoditas pangan utama di Tanah Air, kita tidak boleh memasrahkan ketergantungan bangsa kepada salah satu komoditas saja. Kita perlu melakukan upaya yang lebih konkret dengan mempersiapkan sedini mungkin komoditas pangan substitusi dan mengenalkannya kepada masyarakat.

Tak Sekadar Komoditas Substitusi
Mengubah kebergantungan terhadap beras yang telah turun-temurun tentu tidak mudah. Namun, mengenalkan dan mengampanyekan komoditas substitusi ini harus segera kita awali.

Komoditas substitusi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi yang perlu dikenalkan ini adalah sagu. Sagu sudah tidak asing bagi masyarakat, hanya saja masih dikenal sebagai makanan kelas ekonomi bawah.

Padahal tak berbeda dengan beras, sagu merupakan makanan pokok yang jauh lebih sehat karena memiliki kadar glikemik yang rendah. Pohon sagu atau sago palm merupakan tanaman asli Indonesia yang mengandung sumber karbohidrat dan hampir seluruh bagian pohonnya memiliki manfaat seperti untuk pembuatan bioetanol, gula untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas, farmasi.

Di Indonesia, tanaman sagu tersebar di seluruh wilayah, yakni Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan produktivitas mencapai 585.493 ton/tahun. Capaian produksi ini merupakan hasil panen terhadap tanaman sagu tanpa dilakukan perawatan khusus seperti halnya dengan padi. Produksi ini tentunya dapat meningkat berkali lipat jika adanya perhatian atau mekanisme tanam yang lebih tersistemi.

Secara luasan area tanam, pohon sagu banyak tumbuh di wilayah Indonesia bagian timur khususnya Papua. Selain karena masih minimnya minat masyarakat untuk mengonsumsi sagu, masih terbatasnya infrastruktur khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan kurangnya perhatian kita untuk mengembangkan tanaman ini menjadi kendala dalam mengangkat makanan pokoknya ini ke kalangan yang lebih luas.

Biaya logistik dalam mendistribusikan produk ini bisa mencapai 30% dari biaya produksi. Selain itu, sistem pertanian yang masih sangat tradisional menjadi kesulitan tersendiri bagi petani maupun industri dalam mengolah pohon sagu.

Penerapan kebijakan terkait pungutan (pajak) provisi sumber daya hutan (PSDH) pada komoditi sagu juga dinilai masih membebani industri dalam pengolahan komoditas ini.

Agar sagu ini dapat dikembangkan secara optimal, tidak hanya untuk mendukung ketahanan pangan lokal maupun nasional, juga mampu mengangkat ekonomi di wilayah tanam khususnya Indonesia bagian timur. Kesempatan kerja semakin terbuka dan perekonomian semakin tumbuh sejalan dengan semakin berkembangnya komoditas sagu. Selain itu, peluang ekspor sagu yang masih sangat terbuka menjadi kesempatan yang perlu mendapatkan fokus kita.

Salah satunya, pemanfaatan sagu sebagai sumber pati atau yang biasa disebut dengan pati tapioka. Berdasarkan data BPS pada 2015, ekspor pati tapioka mencapai 91% dibandingkan sumber pati lainnya seperti pati jagung (maizena) dan pati kentang.

Terkait sejumlah kendala dan peluang komoditas sagu, campur tangan seluruh pihak terkait dianggap sangat perlu dan mendesak bagi kebangkitan komoditas ini.

Kita harus melakukan proses transformasi baik dari sisi kebijakan maupun terobosan sistem dalam mengembangkan komoditas pangan substitusi ini, khususnya dalam melahirkan perilaku baru masyarakat untuk mengenal dan memilih sagu sebagai makanan pokok. Selain itu, dukungan kita juga diperlukan dalam membuat sistem pertanian sagu yang terstruktur sehingga mampu mendukung produksi secara maksimal.

Penyediaan sistem pembiayaan juga perlu dilakukan untuk mempermudah akses petani maupun industri dalam mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Hal tersebut sejalan dengan amanah UU Pangan Nomor 18/2012 yang menyebutkan perlunya pengoptimalan pangan lokal dalam hal ini adalah sagu, pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pengolahan pangan lokal, penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang pangan, dan pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal.

Apabila dukungan seluruh pihak terkait baik dari sisi regulasi maupun strategi yang mendukung kebangkitan sagu sebagai makanan pokok pengganti, niscaya kemandirian pangan melalui tanaman asli dalam negeri ini dapat terwujud.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3983 seconds (0.1#10.140)