Komisi III Minta KPK-Polri Perkuat Kerja Sama dengan BPK-Itjen

Minggu, 29 Januari 2017 - 11:45 WIB
Komisi III Minta KPK-Polri Perkuat Kerja Sama dengan BPK-Itjen
Komisi III Minta KPK-Polri Perkuat Kerja Sama dengan BPK-Itjen
A A A
JAKARTA - Penguatan koordinasi dan kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Polri dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan semua inspektorat jenderal (Itjen) dinilai menjadi penting demi akurasi dan kecepatan perhitungan kerugian negara pada kasus-kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang ditangani.‎ Hal itu menyusul adanya perubahan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tipikor baru-baru ini.

‎Pasalnya, perubahan dua pasal dalam UU Tipikor itu mengharuskan penyidik kasus tipikor menyajikan data kerugian negara yang nyata dan berkepastian, serta dihitung oleh institusi yang kompeten dan kapabel. Seperti diketahui, pada Rabu 25 Januari 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus kata 'dapat (merugikan keuangan negara)' dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan,‎ ‎semangat KPK dan Polri tidak boleh mengendur dalam memburu koruptor, walaupun MK telah mewajibkan para penyidik kasus Tipikor menyajikan data tentang kerugian negara yang nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi, KPK dan Polri layak menjalin koordinasi dan kerja sama yang solid dengan BPK dan inspektorat jenderal pada semua kementerian dan lembaga maupun dengan inspektorat daerah," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/1/2017).

Dia menjelaskan, ‎konsekuensi dari putusan MK itu delik korupsi yang sebelumnya dipahami sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat. Maka, lanjut dia, dalam kasus tipikor, faktor kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti.

Dengan demikian, penyidik KPK dan Polri dan serta jaksa penuntut harus bisa menyajikan angka kerugian negara sebelum menetapkan status sebuah kasus tipikor hingga ke persidangan. Kata politikus Partai Golkar ini, ‎jika penyidik tidak melengkapi sebuah kasus Tipikor dengan data tentang kerugian negara yang nyata dan pasti, kasusnya akan dengan mudah digugurkan, termasuk di tahapan sidang praperadilan yang diajukan terduga korupsi.

Bamsoet, sapaan akrbanya melanjutkan, ketentuan atau tata cara menghitung kerugian negara atau daerah telah diatur dalam Pasal 1 UU Noomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun dalam Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

"Penjelasan tentang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang," ungkapnya.

Dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 per 23 Oktober 2012, ditegaskan bahwa untuk menunjukkan kebenaran materiil dalam menghitung kerugian keuangan negara akibat tipikor, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain seperti inspektorat jenderal atau memanfaatkan tenaga ahli.

"Karena penguatan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor itu dititikberatkan pada faktor kerugian negara yang nyata dan pasti, koordinasi KPK-Polri dengan BPK dan inspektorat jenderal pada semua kementerian dan lembaga maupun dengan inspektorat daerah menjadi faktor yang tak terelakkan," pungkasnya.‎
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4016 seconds (0.1#10.140)