Tiga Hari di Tengah Rawa Bersama Petinggi GAM

Kamis, 22 Desember 2016 - 16:03 WIB
Tiga Hari di Tengah Rawa Bersama Petinggi GAM
Tiga Hari di Tengah Rawa Bersama Petinggi GAM
A A A
HARI penyanderaan baru memasuki hari kelima namun naluri kewartawan Ersa Siregar ingin tahu kasus tersebut di luar tidak bisa dibendung. Ersa pun minta GAM mengizinkan menonton tv, khususnya berita RCTI terkait kasus penyanderaan dirinya dkk.

Permintaan Ersa dikabulkan. Pagi, 4 Juli 2003 karena situasi dianggap aman dikawal GAM, Ersa turun gunung menyelinap ke perkampungan penduduk melihat buletin siang RCTI pukul 12.00 WIB. Empat jam kemudian Ersa sudah balik ke lokasi penyenderaan di tengah hutan.

Kali ini wajah Ersa begitu murung. Ersa mengabarkan, ibunya meninggal. Kami semua sedih dan menangis. Tak terkecuali sebagaian anggota GAM. Mungkin mereka membayangkan sedihnya kehilangan ibu dalam kondisi disandera dan tidak berbuat apa-apa. Baik sandera maupun GAM melakukan doa bersama untuk Ibunda Ersa.

Esoknya, pukul 13.00 WIB para sandera diminta berkemas pindah lokasi persembunyian. ’’ Kalian akan menghadap Abu Ci,’’ ujar anggota GAM. Abu Ci adalah Ishak Daud, Panglima GAM wilayah Aceh Timur.

’’Kalau Kak Cut memang mata-mata TNI, Abu Ci tidak akan memaafkan kakak. Kepala Kak Cut pasti dipenggal," kata seorang anggota GAM. Mendengar itu Safrida ketakutan. ‘‘Kepalanya langsung terasa berat dan pening,’’ aku Safrida.

Sejak saat itu yang ada di pikirannya cuma Ishak Daud. ’’Ayo cepat kita berangkat. Kemasi semua barang,’’ bentak GAM pada sandera. GAM selalu buru-buru dan dipenuhi ketegangan karena selalu diburu TNI. Itu membuat para sandera stres berat.

Para sandera dipaksa menuruni bukit, naik lagi, masuk hutan lagi. Sehari minimal jalan 20 kilometer keluar masuk hutan dengan medan berat. Bahkan bisa lebih jauh antara 35 sampai 50 kilometer kalau terus diburu TNI. Soraya terpaksa jalan dengan pantat, atau memerosotkan pantatnya untuk menuruni jalan setapak yang licin agar tidak terpesrosok ke jurang.

Tiba-tiba Ersa jatuh dan tergelincir. Kepalanya terantuk batu. Darah pun berceceran, tapi Ersa tidak menghiraukannya dan terus berjalan mematuhi perintah GAM.
Rombongan sandera da GAM berjalan mengendap-endap takut ketahuan TNI. Mata mereka awas. Siap memuntahkan peluru jika berpapasan dengan TNI. Suasananya tegang. Guna mencairkan situasi aku menagih janji pada GAM soal pakaian. Sebab, sudah lima hari tak ganti. Jadinya, kulit terasa gatal.

’’Mana pakaian untuk kami?’’ tagih Safrida. ‘’Sebentar lagi, kalian dapat pakaian baru. Lagi, dibeli,’’ jelas anggota GAM. Setelah turun gunung, perjalanan dilanjutkan naik motor. Mata para sandera ditutup. Satu jam perjalanan turun. Lalu dilanjutkan naik angkot selama satu jam tetap dalam kondisi mata ditutup.
Di sini para sandera mendapat jatah pakaian yang dijanjikan. Aku dan Soraya mendapat blues, celana panjang, celana dalam, BH, mukena, jilbab dan pembalut. Disambung naik perahu.

Entah sudah berapa jam berperahu, baru menjelang magrib sampai di sebuah gubuk. Sandera diterima seorang tentaranya GAM atau TNA. Berbadan tinggi besar, berusia 45 tahun. Nama sandinya Pawang. Orangnya sopan, bahasa Indonesianya bagus. Begitu juga Bahasa inggrisnya. Itu saya dengar saat Pawang berbicara dengan rekannya.

Kabarnya, Pawang lulusan Libya. Malam itu sandera dijamu makan nasi, telur goreng dan sambal. Ersa makan lahap sampai nambah dua kali. Juga Soraya. Saya sendiri makan sedikit. Lesu, karena memikirkan nasib saat bertemu Ishak Daud. Dan, teror potong leher.

Fery tampak diam. Dia terlihat terpukul sekali. Mungkin dia takut terjadi apa-apa karena sebagai orang Jawa. GAM sangat membenci orang Jawa karena dianggap menjajah Aceh karena banyak prajurit militer dari Jawa ditempatkan di Aceh. Jelas anggapan itu salah besar? Saya kasihan melihat Fery.

Setelah makan, para sandera dibawa satu per satu menggunakan motor menuju areal pertambakan, tepatnya sebuah pulau kecil. Jalannya sempit dan licin. Mendadak tasku tersangkut pohon bakau. Aku menjerit. ‘’Tasku tersangkut,’’ teriakku.’’Diam..’’Hardik GAM. ‘’Tas saya nyangsang di pohon bakau,’’ tegasku. ‘’Wuh…dasar perempuan cerewet. Nahan perempuan apa sih gunanya? Merepotkan,’’ keluhnya. Aku diam. Tas ku akhirnya diambilkan.

Pukul 22.00 WIB malam semua sandera sudah sampai di pulau kecil di pertambakan udang yang merupakan markas GAM. Di tempat itu, Safrida bertemu seorang camat yang juga disandera GAM karena dituduh mata-mata TNI. Matanya sembab, banyak bagian tubuhnya luka. Mungkin dianiaya GAM.

Esoknya para sandera digiring menemui Ishak Daud, pentolan GAM wilayah Aceh Timur. Rombongan menyusuri pematang tambak yang licin. Saat itulah Fery terjatuh. Untung kamera selamat. Hari makin terik, sandera dipaksa jalan terus. Badan letih enggak karuan. Badan juga gatal karena sebelumnya mandi air asin dengan pakaian lengkap karena berada di ruang terbuka. Jadinya, tetap kotor dan bau.

Menjelang Magrib baru keluar tambak. Para sandera dibawa satu per satu dengan motor melintasi perkampungan. Baru menjelang Isak sampai pertambakan bandeng. Sandera turun dan dipaksa jalan merayap agar tidak diketahui TNI. Tapi, Safrida menolak karena jalan merayap membuat tubuh sakit, dengkul lecet. Ditambah lingkungan kotor dan bau tak sedap. Belum lagi jika ada ular. Soraya juga menolak.

Ersa dimarahi GAM karena juga menolak. Giliran Fery yang bingung. GAM akhirnya mengalah dan sandera berjalan biasa. ‘’Ayo jalanya cepat,’’ bentak GAM. Soraya jalannya lambat karena kelelahan.

‘’Yang bandel dilempar ke tambak,’’ ancam GAM’’Adikku tidak bisa jalan cepat karena sedang hamil,’’ jelasku pada GAM. ‘’Siapa yang menghamili,’ celetuk anggota GAM yang lain seraya tertawa. Soraya hanya menahan amarah. ‘’Husss.’’ Seruku kesal. ‘’Yang menghamili Soraya ya suaminya,’’ kataku ketus. Anggota GAM langsung diam.

Jalan sekitar satu kilometer sampailah di suatu tempat, masih di lahan bandeng. Lokasinya berdempetan dengan desa yang dihuni penduduk. Di sinilah para sandera menunggu kedatangan Ishak Daud, Panglima GAM Aceh Timur. Perasaan saya teraduk-aduk antara cemas dan takut. Karena istri TNI dianggap GAM musuh dan hukumannya potong leher seperti sering diancamkan anggota GAM kepada saya.

Namun Ishak Daud belum juga muncul. Sebelumnya, saat penyanderaan di gunung pertama seorang anggota GAM menunjukkan almbum foto pimpinan GAM dan aktivitasnya. Di antaranya, Hasan Tiro, Zaini Abdullah dan Bachtiar Abdullah yang tinggal di Swedia.

Zaini Abdullah kini jadi Gubernur Aceh. Juga ada Malik Mahmud dan Zakaria Zaman yang juga tinggal di luar negeri. ‘Nah, ini foto Abu Ci,’’ katanya ketika menunjuk foto lelaki bertubuh tegap sedang pidato di depan masa. Abu Ci tak lain Ishak Daud.

Sekitar pukul 24.00 WIB pria yang sangat kutakuti itu akhirnya datang. ‘’Ya Allah lindungi hamba-MU yang lemah ini,’’ aku berdoa khusuk. ‘’Yang mana istri Letkol Ashari?’’ kudengar suara Ishak Daud memecah keheningan malam. ‘’Saya istri Letkol Ashari,’’ jawabku spontan sambil menghampiri.

Ishak Daud lalu mengangguk kepadaku. Kemudian dia menyalami Ersa, Fery dan Rahmatsyah. Selanjutnya, Ishak lalu mengangguk ke Soraya. Kuperhatikan Soraya memandangi Ishak Daud dengan bola mata membesar. Ersa tersenyum hormat padanya. Sedangkan Fery mengangguk dengan mulut terkunci. Rahmatsyah sendiri sepertinya terheran-heran saat berhadapan dengan Panglima GAM Aceh Timur itu.

Mendadak rasa takutku hiang begitu berhadapan dengan Ishak Daud. Karena lelaki ini menujukkan air muka ramah dan sorot mata bersahabat kepada para sandera. Ishak malam itu tampil necis.Mengenakan kaos biru dengan celana warna senada. Sepatunya kulit Doc Mart dengan tas kecil menyelimpang di tubuhnya. Sama sekali tidak menujukkan sosok kumel meski naik turun gunung. Ishak dikawal empat tentara GAM. Salah satu juru bicara GAM wilayah Peureulak, Aceh Timur. Nama sandinya Lebeh. Masih muda sekitar 20 tahun.

Lebeh pernah sekolah di Malaysia atas biaya Ishak Daud. Karena itu dia fasih bahasa Inggris. Perilakunya juga sopan.Dia juga tampil necis seperti bosnya Ishak Daud. Kulihat pengawal Ishak membawa ransel besar. Dua hari kemudian aku tahu itu berisi peralatan Ishak mulai tikar, bantal, pakaian, peralatan mandi. Semua dimasukkan ransel agar mudah dibawa kemana pun. Satu lagi pengawal membawa alat komunikasi seperti telepon satelit, laptop, kamera , radio pangil/HT, tape recorder dan sebagainya. Semua dikemas rapi.

Ishak daud datang ke lokasi sandera dengan perahu pompong. Ishak suka naik perahu pompong menghindari jalur darat. Apalagi, naik gunung. Kalau pun terpaksa jalan darat Ishak lebih suka naik sepeda motor. Ishak memang dibesarkan dari keluarga nelayan. Makanya, dia lebih suka bergerilya di laut.

’’Mari ikut kami,’’ ajak Ishak Daud. Dia menuju rangkang semacam gubuk kecil. Ada tiga rangkang. Satu untuk saya dan Soraya, satu rangkang untuk Fery, Ersa dan Rahmatsyah, satu rangkang untuk Ishak daud dan Pak Camat yang disandera. Masing-masing rangkang jaraknya berjauhan. Soraya tampak ketakutan dan aku coba menenangkannya.

Sebelum masuk ke rangkang, Ishak Daud memanggilku dan bertanya siapa diriku sebenarnya. Maka, kujelaskan sejujujurnya siapa diriku dan Soraya. Kalau ada yang belum jelas, Ishak bertanya lagi tanpa ada nana membentak. ‘’Kalian tulis riwayat hidup masing-masing,’’ ujar Ishak sambil menyodorkan buku tulis dan pulpen.

‘’Kak Cut,’’ Ishak memanggilku dengan sebutan Kak Cut.’’ Kamu minta buku tulis yang tebal untuk menulis riwayat hidup Kak Cut. Karena perjalanan cerita baru dimulai.’’ ujarnya.

Kemudian Ishak tersenyum. Aku terkejut mendengar kalimatnya ‘’perjalanan baru dimulai’’. Apa maksudnya? Tapi itu tidak aku ceritakan pada sandera yang lain teramsuk adikku Soraya. Belakangan aku baru paham setelah disandera GAM berbulan-bulan.

Esoknya, 6 Juli 2003, aku mandi dikawal tiga anggota GAM di sumur tua belakang rangkang. Soraya sendiri enggan mandi karena asmanya kambuh. Melihat itu
GAM memaksa Soraya mandi dengan mendorongnya pakai senjata. Soraya menangis histeris hingga berniat bunuh diri. Soraya pun kupeluk dan kubujuk untuk mengurungkan niatnya yang tercela itu.

Tak lama Soraya pun tenang. Pukul 10.00 WIB para sandera dikabari akan ada jumpa pers dengan RCTI. Temanya, soal keberadaan para sandera. Lokasinya di tanah lapang, jauh dari rangkang. Tujuannya, agar keberadan sandera tidak bisa diendus TNI. Ishak Daud memberi kebebasan sandera berbicara apa saja kecuali menyebutkan lokasi penyanderaan.

Ketika diwawancarai, kami mengatakan, diperlakukan baik-baik oleh GAM. Sandera diberi kesempatan berbicara dengan keluarganya. Aku hanya bicara sama anak-anak karena GAM tidak membolehkan berbicara dengan suami yang saat itu sedang di Aceh. Perasaanku hancur. Aku menangis tetapi Ishak Daud dan pengawalanya tidak peduli. Bahkan mereka mengejek-ejek aku. Duh..sakit hati ini.

Habis jumpa pers, Ishak Daud membawa para sandera melewati sungai kecil. Semua sandera diperiksa berdasarkan riwayat hidup yang sudah ditulis. Anggota GAM tidak membentak karena sudah diwanti-wanti Ishak agar memperlakukan para sandera dengan baik.

Setelah istirahat, para sandera dibawa Ishak naik perahu pompong menyusuri pantai. Baru 15 menit berkayar bertiup angin kencang yang menimbulkan gelombang besar. Perahu terombang ambing enggak karuan yang membuat tubuh semua penumpang basah kuyup. Ditambah hujan deras.

Ombak semakin besar. Aku dan semua penumpang menggigil kedinginan. Karena tidak tahan aku lari mencari tempat yang teduh di perahu. Maka, aku nekat jalan ke kamar mesin pompong. Melihat kenekatanku Fery mengingatkan, ‘’Hati-hati Mbak,’’ katanya.

Saat duduk di mesin kamar pompong aku teringat Soraya, adikku. Aku merasa berdosa meningalkan adikku di geladak perahu. Saat hendak menyusul, aku lihat Soraya sudah menyusulku ke kamar mesin. Kami berpelukan dan bertangisan.

Mendadak ada kapal patroli TNI AL melintas dekat perahu pompon kami. Anggota GAM pun siap-siap menembak. Tapi, untungnya kapal patroli TNI menjauh. Safrida yang semula ketakutan jika terjadi baku tembak akhirnya menyeru Alhamdulillah.

Tanggal 7 Juli 2003, perahu pompong yang dinaiki rombongan sandera dan Ishak Daud merapat di suatu dermaga. Sayang, saya tidak tahu nama lokasinya. Tempatnya sepi. Mungkin itu dermaga khusus perahu GAM. Setelah sarapan ala kadarnya hanya biskuit keras dan air para sandera dibawa naik speedboat yang melewati sungia kecil dan sempit.

Sampai di suatu tempat speedboat berhenti. Sudah ada dua orang GAM menunggu kedatangan para sandera. Tak lama kami tiba di sebuah gubuk yang dikelilingi rawa-rawa. Jangan tanya nyamuknya. Sangat banyak. Kami membungkus tubuh serapat mungkin.

Menjelang tengah malam sopir Rahmatsyah jatuh sakit. Dia muntah dan tidak bisa bangun setelah sebelumnya mabuk laut. Wajahnya pucat. Setelah kuobati dengan caraku, berangsur kondisi Rahmatsyah membaik.

Ersa sebetulnya juga sakit. Terlihat dari gerakanya yang lamban. Padahal, biasanya lincah. Kondisi Ersa lebih parah saat tingal di gubuk di tengah rawa. Ersa juga mengobrol dengan Ishak Daud agar segera dibebaskan. Tapi, permintana Ersa tidak dikabulkan. Setelah tiga hari tinggal di tengah rawa, para sandera dibawa menuju sungai Ara Kundo yang cukup dalam.

Perahu yang seharusnya hanya mampu memuat dua orang disesaki enam sandera dan empat anggota GAM. Mendadak perahu bocor, agar tidak tenggelam Ersa menguras air di perahu dengan piring.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8382 seconds (0.1#10.140)