Enam Catatan PKS tentang Kinerja Jokowi-JK Bidang Polhukam

Jum'at, 21 Oktober 2016 - 13:19 WIB
Enam Catatan PKS tentang Kinerja Jokowi-JK Bidang Polhukam
Enam Catatan PKS tentang Kinerja Jokowi-JK Bidang Polhukam
A A A
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan enam catatan evaluasi kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama dua tahun di bidang politik, hukum dan keamanan (polhukam).

Pertama, ‎Pemerintah Jokowi-JK dinilai telah mengintervensi terlalu jauh urusan internal partai politik yang bersebrangan dengan pemerintah. Padahal dalam Undang-undang Partai Politik, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya menjalankan keputusan pengadilan dengan menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik.

Ketua Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Dewan Pimpinan Pusat PKS Almuzzammil Yusuf menilai kasus konflik pergantian kepemimpinan Partai Golkar dan PPP adalah tragedi politik di era Pemerintahan Jokowi-JK yang mengancam iklim demokrasi di Indonesia.

Dalam kasus ini, kata dia, Komisi II DPR menyarankan agar Pemerintah Jokowi-JK belajar dari Pemerintahan SBY yang lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai, meskipun berseberangan dengan pemerintah pada saat itu.

Kedua, ‎pencabutan 3.143 peraturan daerah oleh Pemerintah Jokowi-JK tanpa kajian yang komprehensif, transparansi, pelibatan publik, dan koordinasi yang baik dengan pemerintahan daerah.

Pembatalan Perda tahun ini, lanjut dia, adalah yang terbanyak untuk kurun waktu satu tahun berjalan. (Baca juga: Johan Budi: Keteladanan Pemimpin Bagian dari Revolusi Mental)

Wakil Ketua Komisi II DPR ini menambahkan, perda yang dibatalkan termasuk Perda pendidikan gratis seperti Perda Nomor 5 Tahun 2009 Kabupaten Sarolangun Jambi tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah Gratis serta Perda Nomor 5 Tahun 2014 Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat tentang Pendidikan Gratis.

Padahal, kata dia, sebelumnya Kemendagri mengatakan perda yang dicabut hanya perda menyangkut investasi, retribusi, dan pajak.

Dalam hal ini, kata Almuzammil, Komisi II DPR menilai Pemerintah Jokowi-JK kurang menghargai perda yang merupakan produk politik daerah yang memiliki konteks kearifan lokal.

Dia mengatakan, jika tidak hati-hati maka pencabutan perda besar-besaran mengancam otonomi masing-masing daerah dan merupakan wujud kegagalan Pemerintah Jokowi-JK dalam melakukan supervisi, pembinaan, dan koordinasi dengan pemerintahan daerah.

"Saran kami ke depan, Pemerintah Jokowi-JK harus lebih hati-hati, mengkaji secara komprehensif dan melibatkan publik, terutama akademisi/universitas dan LSM di daerah sebelum mencabut perda,” papar Almuzammil dalam siaran pers DPP PKS, Jumat (21/10/2016).

Ketiga, lanjut dia,‎ ‎Presiden Jokowi menggunakan hak prerogatif mengangkat pejabat negara secara tidak cermat dan inkonsisten.

Publik mempertanyakan pengangkatan menteri ESDM yang memiliki kewarganegaraan ganda, pemilihan Jaksa Agung dari unsur partai, dan masuknya menteri dari anggota koalisi baru pemerintahan.

"Saran kami, ke depan Pemerintah Jokowi-JK seharusnya konsisten memilih pejabat negara yang dibutuhkan masyarakat, berintegritas, berkompeten, dan tidak memiliki konflik kepentingan," ungkapnya.

Hal demikian dianggapnya penting untuk menjaga muruah Pemerintah dan NKRI.

Keempat, ‎lanjut dia, Presiden telah bersikap pasif terhadap perbuatan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI yang mengancam Pancasila, khususnya sila Ketuhananan yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.

“Saran kami dengan sikap kenegarawanan, Presiden Jokowi seharusnya menyampaikan posisi sikap tegas sebagai Kepala Negara bahwa siapapun penista agama, pemecah persatuan bangsa harus diproses secara hukum meskipun dalam proses pemilihan kepala daerah," tuturnya.

‎Presiden Jokowi pun diminta lebih aktif dan secara terbuka meminta Kapolri memproses secara hukum karena Indonesia adalah negara hukum.

Menurut dia, pasifnya Presiden Jokowi dalam kasus ini dianggap bernilai negatif bagi publik, terutama umat Islam. "Sikap tegas dan keberpihakan Presiden terhadap kebenaran dan hukum ini sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia,” katanya.

Kelima, ‎paket kebijakan hukum Pemerintah Jokowi harus segera disusun dan dilaksanakan karena indeks rule of law Indonesia peringkat 52 dan indeks persepsi korupsi pada urutan 88.

"Kami mempertanyakan realisasi Nawacita Presiden Jokowi Nomor 4 yang menyebutkan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya," tuturnya.

Pasalnya, kata dia, ada lima hal penting yang harus diperhatikan dalam paket kebijakan hukum Pemerintah Jokowi-JK di antaranya adanya konsistensi dan kepastian hukum bagi semua, aparat penegak hukum yang bersih dan profesional, tidak adanya intervensi terhadap penegakan hukum, adanya peningkatan pelayanan publik, dan adanya keteladan pejabat publik dalam melaksanakan putusan hukum.

"Jika ini tidak diperhatikan maka jangan berharap akan terjadi perbaikan budaya hukum di Indonesia,” tuturnya.

Keenam, ‎‎kata dia, Pemerintah Jokowi-JK telah mengancam independensi dan kebebasan pers dengan memblokir beberapa media online Islam tanpa ketelitian, klarifikasi, dan transparansi.

Di antaranya arrahmah.com. hidayatullah.com,dakwatuna.com, eramuslim.com, kiblat.net dan media online Islam lainnya. Cara-cara seperti ini mengingatkan kembali ke rezim Orde Baru yang represif dan otoriter.

“Seharusnya pemerintah memberikan peringatan dan mengundang para pengelola website dan berdialog sebelum diblokir. Tidak serta merta merekomendasikan pemblokiran tanpa tolok ukur yang jelas," tuturnya.‎

Menurut dia, perlu melibatkan para ahli, tokoh agama, ormas Islam serta MUI untuk mengetahui apakah konten dalam website itu menyimpang atau tidak dalam ajaran Islam.

"Jangan sampai media yang menyampaikan ayat Alquran dan sunah, mengecam kebiadaban Israel dan barat dianggap radikal. Jika demikian, ke depan eksistensi media informasi dan pendidikan Islam terancam rezim Pemerintahan Jokowi yang menggunakan pasal karet untuk mengebiri umat Islam,” tuturnya.

Terakhir, Almuzzammil menegaskan enam catatan tersebut adalah bentuk sikap Fraksi PKS sebagai oposisi loyal, di luar Pemerintahan. "Semoga bermanfaat untuk perbaikan politik, hukum, dan keamanan Indonesia di masa yang akan datang,” katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5813 seconds (0.1#10.140)