Kondisi Sumber Daya Tambang dan Migas di RI Kian Memprihatinkan

Kamis, 17 Maret 2016 - 16:15 WIB
Kondisi Sumber Daya Tambang dan Migas di RI Kian Memprihatinkan
Kondisi Sumber Daya Tambang dan Migas di RI Kian Memprihatinkan
A A A
JAKARTA - Konsisi sumber daya alam (SDA) pertambangan, minyak dan gas di Indonesia kian memprihatinkan, karena perusahaan sektor ini mulai mempertimbangkan untuk memindahkan usaha mereka di Indonesia.

Petaka di sektor energi dan tambang ini masih berlanjut, setelah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terus membayang.

Yang terbaru dialami INPEX Indonesia. Operator Blok Masela itu memutuskan mengurangi jumlah karyawan. Menurut pernyataan SKK Migas pada Rabu 16 Maret 2016, INPEX Indonesia telah memutuskan untuk melakukan downsizing personel menjadi 40 persen dari total personel di Indonesia.

Bahkan SKK Migas mengkhawatirkan hal ini dapat menimbulkan lay off. Hal ini menambah panjang daftar perusahaan global sektor tambang dan migas di Indonesia yang melakukan hal serupa.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala menyatakan, perusahaan sektor tambang dan migas skala global mulai me-review portofolio bisnis mereka di Indonesia.

Bila dimungkinkan, mereka akan fokus ke lokasi-lokasi pertambangan mereka di negara lain yang lebih mendatangkan benefit.

“Sekarang kuncinya adalah efisiensi perusahaan, karena bagi mereka yang penting bisa bayar utang bank dan operasional terus berjalan. Perusahaan-perusahaan juga sekarang pun banyak yang me-review portofolio mereka,” kata Supriatna saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Kamis (17/3/2016).

Review portofolio dilakukan mengingat kondisi industri tambang dan migas yang kian mengkhawatirkan. Review portofolio perusahaan juga dilakukan untuk memastikan perusahaan tetap efisien karena mereka juga berupaya sekuat mungkin mencegah PHK karena pemberian pesangon juga memberatkan perusahaan.

Di negara-negara lain, gelombang PHK menerjang perusahaan-perusahaan global. Heillong Longmay Mining asal Chinatelah memberhentikan 100.000 orang karyawan.

Schlumberger, Chevron, Halliburton dan Chevron di Amerika Serikat masing-masing telah mem-PHK 34.000 orang, 20.000 orang, dan 1.500 orang (lihat infografik).

Di dalam negeri pun demikian. Di sektor migas, pada Februari 2016 lalu PT Chevron Pacific Indonesia sudah resmi mengirimkan surat rencana PHK terhadap 1.200 karyawannya kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).

Di sektor tambang batubara, dalam enam bulan terakhir sudah lebih dari 125 perusahaan di Kalimantan Timur yang tidak beroperasi dan menyebabkan ribuan orang terkena PHK. Gelombang PHK berpotensi terus terjadi mengingat harga komoditas energi masih memburuk.

Supriatna berharap pemerintah bisa segera merespon kondisi ini. Sebab, bukan tidak mungkin ini menjadi titik awal keterpurukan industri tambang dan migas Indonesia yang bakal merembet ke berbagai sektor bisnis lainnya.

“Kalau tidak justru akan merugikan pemerintah sendiri, seperti kekurangan lapangan kerja dan menurunnya kepercayaan investasi,” ucap Supriatna.

Menurut Supriatna, pemerintah harus memberi insentif dan kemudahan bagi perusahaan sektor tambang dan energi yang tetap berkomitmen berinvestasi di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memberikan keringanan pajak.

“Keringanan pajak tidak perlu dengan menghapus pungutan atau pembebasan pajak seperti di Australia, tapi cukup dengan tidak ada kenaikan pajak yang lain seperti PBB atau PNBP,” tutur Supriatna.

Corporate Secretary PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), Joko Pramono mengakui saat ini situasi bisnis sektor energi sangat sulit. Sehingga, perusahaan-perusahaan sektor energi melakukan efisiensi besar-besaran.

Kondisi bisnis global saat ini mempengaruhi harga komoditas sehingga mengalami penurunan signifikan terutama sepanjang 2015. “Kita seperti kembali pada kondisi 2009 – 2010. Pada 2011 kita sudah diprediksi akan ada penurunan secara global, tapi tidak sedalam ini,” kata Joko saat dihubungi.

Dalam kondisi saat ini, pihaknya berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif seperti pajak. Sebaliknya, pemerintah memberikan sejumlah insentif dan mendukung lahirnya coal utilization.

Hal senada diungkapkan Director of Corporate Affairs BHP Billiton, Imelda Adhisaputra. Menurut dia, bisnis tambang secara global memang dalam kondisi kurang baik terutama tambang batu bara.

Oleh karena itu, wajar saja sebagai entitas bisnis berskala internasional apabila induk usaha mereka, yakni BHP Billiton yang berbasis di Australia, mempertimbangkan untuk mengkaji dan me-review kembali nilai keekonomian proyek-proyek mereka di seluruh dunia.

“Namun untuk di Indonesia, PT Lahai Coal melalui tambang Haju malah memulai operasi nya pertengahan tahun lalu dengan target 1 juta ton/tahun. Kami berharap bisa mempertahankan komitmen kami dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan ekonomi lokal dan nasional Indonesia,” kata Imelda.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8086 seconds (0.1#10.140)