Klaster Ketenagakerjaan Ditunda, Fadli Zon: DPR Harus Kritisi Perppu Corona
Minggu, 26 April 2020 - 07:10 WIB
Padahal, lanjut mantan Wakil Ketua DPR ini, sejauh yang dia pelajari omnibus law di negara lain paling banyak mengubah 5 hingga 8 undang-undang saja, itupun yang materinya serumpun. Misalnya, omnibus law ketenagakerjaan isinya ya hanya sebatas mengatur soal ketenagakerjaan, tidak mengubah norma Undang-undang Pers, Undang-undang Penyiaran, atau undang-undang lain yang tak serumpun.
Fadli menjelaskan jadi di luar isu ketenagakerjaan yang belum-belum sudah ditolak oleh kaum buruh, omnibus law perlu dipertimbangkan kembali oleh semua anggota Parlemen karena membuat kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang jadi terdegradasi. Hak DPR semakin direduksi oleh eksekutif.
"Sementara, di sisi lain, kekuasaan Presiden jadi demikian besar sekali. Tidak ada lagi Trias Politika, jika sebuah RUU bisa menerabas 79 undang-undang sekaligus. Logika ini bisa merusak demokrasi," tandasnya.
Oleh sebab itu, dirinya bisa memahami kenapa RUU Ciptaken ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Sebab, ada tendensi otoritarianisme di belakangnya. Kekuasaan eksekutif jadi sangat luar biasa besar, di mana parlemen sekadar jadi cap stempelnya saja. Parlemen semakin tidak relevan.
"Saat ini DPR seharusnya fokus mengkaji dan memperhatikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu tersebut juga mendapat banyak sorotan dan bahkan tengah dalam proses digugat di Mahkamah Konstitusi," terangnya.
Dia menambahkan banyak materi dalam Perppu tersebut yang harus dikritisi oleh DPR, seperti pelebaran defisit hingga 5% yang secara sepihak diputuskan oleh pemerintah, rencana utang baru hingga lebih dari seribu triliun hingga akhir tahun ini, serta alokasi anggaran penanganan COVID-19 yang nilainya lebih dari Rp400 triliun. "Itu jauh lebih urgen dilakukan oleh DPR daripada membahas omnibus law," tutup Fadli.
Fadli menjelaskan jadi di luar isu ketenagakerjaan yang belum-belum sudah ditolak oleh kaum buruh, omnibus law perlu dipertimbangkan kembali oleh semua anggota Parlemen karena membuat kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang jadi terdegradasi. Hak DPR semakin direduksi oleh eksekutif.
"Sementara, di sisi lain, kekuasaan Presiden jadi demikian besar sekali. Tidak ada lagi Trias Politika, jika sebuah RUU bisa menerabas 79 undang-undang sekaligus. Logika ini bisa merusak demokrasi," tandasnya.
Oleh sebab itu, dirinya bisa memahami kenapa RUU Ciptaken ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Sebab, ada tendensi otoritarianisme di belakangnya. Kekuasaan eksekutif jadi sangat luar biasa besar, di mana parlemen sekadar jadi cap stempelnya saja. Parlemen semakin tidak relevan.
"Saat ini DPR seharusnya fokus mengkaji dan memperhatikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu tersebut juga mendapat banyak sorotan dan bahkan tengah dalam proses digugat di Mahkamah Konstitusi," terangnya.
Dia menambahkan banyak materi dalam Perppu tersebut yang harus dikritisi oleh DPR, seperti pelebaran defisit hingga 5% yang secara sepihak diputuskan oleh pemerintah, rencana utang baru hingga lebih dari seribu triliun hingga akhir tahun ini, serta alokasi anggaran penanganan COVID-19 yang nilainya lebih dari Rp400 triliun. "Itu jauh lebih urgen dilakukan oleh DPR daripada membahas omnibus law," tutup Fadli.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda