Jangan Salah Pahami Khittah

Senin, 08 November 2021 - 18:56 WIB
Benar saja, ruang politik NU selalu terbuka. Pada Pemilu pertama pasca khittah memang diwarnai aksi "penggembosan" kepada PPP yang telah dianggap banyak mengecewakan. Tak sedikit pula yang kemudian "eksodus" ke Golkar seperti Slamet Efendi Yusuf dkk. Namun setelah berganti era reformasi, atas nama desakan warga, PKB juga berdiri.

KH Ma'ruf Amin, juga KH Cholil Bisri, di antara pejuang politik lahirnya partai berbasis nahdliyin itu, sering memberikan alasan bahwa berpolitik merupakan bagian dari tanggung jawab NU. Para kiai tak mungkin membiarkan perpolitikan berjalan sendiri. Reformasi harus tetap terkendali. NU mempunyai tanggung jawab menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, selaras dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.

Baca juga: Resmikan Masjid Saung, Rais Aam PBNU Harap Semangat Ibadah Jamaah Meningkat

Lebih penting lagi, jalan politik memang dinilai paling efektif mewujudkan kemaslahatan. Apalagi jika kekuasaan sudah dalam genggaman. Dulu, "berkuasa" di Departeman Agama saja sudah dianggap segalanya. Itulah jatah wajib NU yang selama Orde Baru (seakan) telah dihilangkan.

Kini, tak hanya Menteri Agama. Wapres NU, sekian pos kementerian, bahkan menjadi Presiden pun sudah dirasakan. Tak hanya di situ, sampai ke bawah, yang menjadi kepala daerah, juga sangat banyak. Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU yang kini menjadi Dubes di Tunisia itu, pernah menyampaikan, ada 130-an kepala daerah berlatar belakang NU hasil Pilkada 2020 yang berangkat dari PDI Perjuangan.

Belum lagi yang dari partai lain. Wabil khusus PKB, yang memang dilahirkan dari "rahim" NU. Kalau anggota legislatif, dari atas sampai ke bawah, tentu sudah sangat berlimpah.

Dengan mobilitas vertikal itu, demikian banyak kader NU yang berhasil menduduki jabatan di pemerintahan, sebenarnya tak ada alasan untuk tidak lagi fokus pada program-program kemaslahatan. Sekadar mendirikan sekolah dan perguruan tinggi, rumah sakit, atau membuka lapangan usaha, apa susahnya? Ini yang menjadi tugas pokok NU.

Di situlah aktualisasi khittah sesungguhnya. Mempersempit makna hanya dalam kaitan politik kepartaian, justru mengerdilkan kiprah politik NU itu sendiri. Era multipartai saat ini jelas sudah beda dibanding Pemilu 1955 yang paling demokratis dulu. NU yang saat itu tampil solid dan "ideologis" saja hanya meraih 18 persen.

Sekarang Pemilu sangat terbuka. Presiden dipilih langsung, demikian pula kepala daerah, dan Anggota Legislatif. Mereka berjibaku mencari suara sendiri. Rakyat juga "merdeka" menentukan pilihan. Masih efektifkah, misalnya, jika NU membuat fatwa?

Realistis saja. Menganggap rakyat masih bisa dimobilisasi, untuk saat ini, hanyalah ilusi. Warga NU khususnya sudah sangat cerdas. Apalagi dalam urusan politik, berseberangan dengan kiai panutan sekali pun sudah bukan lagi dianggap pelanggaran.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More