Pakar Hukum Bahas Aturan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik
Senin, 09 Agustus 2021 - 22:55 WIB
"Ini cukup unik, ketika ada kalimat lembaga bantu pemerintah Non APBN. Jadi lewat diskusi ini, harapan kami dapat dapat memberikan masukan yang lebih efektif bagi lembaga pelaksana agar dapat berkedudukan dengan lebih tepat. Dan yang lebih penting bagi ILCD, ke depan pembuat kebijakan akan lebih berhati-hati," ujar Fitriani Ahlan Syarif.
Sebagai keynote speaker, Prof Agus Sardjono membicarakan LMKN dari perspektif Hukum Adminitrasi Negara (HAN) dan juga dari perspektif Hukum Tata Negara (HTN). LMKN dalam sejarahnya dibentuk untuk memperbaiki sistem pemungutan dan distribusi royalti. LMK muncul diawali dari keluhan pengguna lagu yang keberatan karena didatangi beberapa orang yang menagih pembayaran rotalti atas nama LMK (Collecting Management Organization).
"Saat itu, sekitar tahun 2012-2013 memang sudah ada beberapa LMK, seperti KCI, WAMI, REI, dan lain-lain. Di mana LMK tersebut mewakili pemegang hak, yang salah satu tugasnya memungut royalti dari para user," kata Prof Agus. "User ini adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menggunakan karya musik dalam kegiatan komersial mereka," katanya.
Tentu saja kehadiran beberapa LMK ini mengganggu para user, karena sebetulnya mereka memang wajib membayar royalti. Namun, mereka terganggu karena bukan hanya satu orang yang datang menagih, melainkan beberapa nama lembaga.
Menyikapi keluhan para user dan niat baik memperbaiki mekanisme pemungutan royalti, saat itu atas inisiatif PAPRI dilakukan pertemuan LMK guna membahas masalah tersebut. Pertemuan pertama dilakukan di kantor PAPPRI di Kawasan Kuningan. Diikuti beberapa orang yang mewakili berbagai LMK. "Singkat cerita, dari banyak pertemuan LMK, kemudian disepakati untuk lahirnya single gate system (atau system satu pintu), dalam proses pemungutan royalti," tutur Agus.
Ada satu ide yang muncul pada saat itu adalah melalui pembentukan federasi berbadan hukum. Ide dasarnya adalah agar pihak yang memungut royali dari para user hanya ada satu pihak, sehingga keluhan para user dapat diatasi dengan baik. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan memberikan kuasa dari LMK kepada federasi LMK tersebut.
"Ketika hampir disepakati bentuk hukumnya, terbitlah UUHC No 28 Tahun 2014 atau UUHC 14. Dalam UUHC itu ide federasi ini diwujudkan dalam bentuk LMK Nasional," katanya. "Jadi ada LMK, ada LMKN yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil di UUHC ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK. Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UUHC, LMKN adalah LMK juga, bukan sesuatu yang lain," katanya.
Apalagi di dalam UUHC juga tidak ada defenisi LMKN. Itu berarti menurut UUHC 2014, LMKN adalah LMK juga sebagai perwakilan pemilik hak cipta. Oleh sebab itu sebagai LMKn, mereka mendapatkan kuasa dari pemilik hak lewat LMK-LMK yang menjadi federasinya. Dengan demikian secara perdata LMKn ini mempunyai hak untuk mewakili pemilik hak cipta untuk memungut royalti kepada para user.
"Sayangnya, dalam perjalan implementasinya, terjadi penyimpangan konsep LMK yang disebutkan dalam UUHC. Penyimpangan terjadi ketika dalam pelaksanaannya, LMKn berubah menjadi LMKN (huruf besar) dan ditempelkan langsung. Ini dasarnya adalah keputusan Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu," ungkap Prof Agus.
Lihat Juga :
tulis komentar anda