Terlalu Mahal, Demokrasi di Indonesia Dinilai Perlu Dikaji Ulang
Sabtu, 01 Mei 2021 - 15:41 WIB
Sementara untuk Pilkada Kota Depok pada tahun 2020, anggaran KPU sebesar Rp64 miliar dan belum termasuk untuk APD dan rapid test yang ditanggung oleh pemda.
"Jika kita buat simulasi kebutuhan anggaran pemilihan gubernur secara keseluruhan di 34 provinsi yang ada di Indonesia, dengan rata-rata angggaran sebesar Rp3 triliun per provinsi, maka berarti akan menghabiskan total anggaran sebesar Rp102 triliun," tuturnya.
Sementara itu, kata dia, untuk kebutuhan anggaran pilkada secara keseluruhan di 514 kota/kabupaten di Indonesia,dengan rata-rata anggaran sebesar Rp50 miliar per kabupaten/kota maka berarti menghabiskan total anggaran sebesar Rp25,7
triliun.
"Semua hal tersebut tentu belum termasuk dengan biaya uang saksi yang harus di persiapkan oleh partai dan paslon dalam pilkada tersebut," tandasnya.
Keempat, sambung dia, pilkada yang telah dilalui saat ini secara langsung dapat berdampak negatif pada polarisasi masyarakat yang ada. Masyarakat terpecah menjadi faksi faksi kelompok politik dan sangat mungkin merusak kultur gotong royong masyarakat Indonesia.
Bahkan, kata Mochtar, bisa lebih membingungkan lagi kalau berbuntut pada gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda keputusannya.
"Belum lagi pilkada yang dibatalkan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa saja terjadi kekacauan di daerah tersebut," tuturnya.
Kelima, pilkada serentak yang akan dilakukan pada tahun 2024 dapat mengakibatkan kekacauan masa periodesasi pemerintahan. "Sebanyak 270 daerah yang baru saja melakukan pilkada terpaksa harus mengikuti lagi Pilkada serentak kembali di tahun 2024," ujarnya.
Belum lagi adanya korban dari pemilu serentak. KPU mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 adalah 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali," tuturnya.
"Jika kita buat simulasi kebutuhan anggaran pemilihan gubernur secara keseluruhan di 34 provinsi yang ada di Indonesia, dengan rata-rata angggaran sebesar Rp3 triliun per provinsi, maka berarti akan menghabiskan total anggaran sebesar Rp102 triliun," tuturnya.
Sementara itu, kata dia, untuk kebutuhan anggaran pilkada secara keseluruhan di 514 kota/kabupaten di Indonesia,dengan rata-rata anggaran sebesar Rp50 miliar per kabupaten/kota maka berarti menghabiskan total anggaran sebesar Rp25,7
triliun.
"Semua hal tersebut tentu belum termasuk dengan biaya uang saksi yang harus di persiapkan oleh partai dan paslon dalam pilkada tersebut," tandasnya.
Keempat, sambung dia, pilkada yang telah dilalui saat ini secara langsung dapat berdampak negatif pada polarisasi masyarakat yang ada. Masyarakat terpecah menjadi faksi faksi kelompok politik dan sangat mungkin merusak kultur gotong royong masyarakat Indonesia.
Bahkan, kata Mochtar, bisa lebih membingungkan lagi kalau berbuntut pada gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda keputusannya.
"Belum lagi pilkada yang dibatalkan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa saja terjadi kekacauan di daerah tersebut," tuturnya.
Kelima, pilkada serentak yang akan dilakukan pada tahun 2024 dapat mengakibatkan kekacauan masa periodesasi pemerintahan. "Sebanyak 270 daerah yang baru saja melakukan pilkada terpaksa harus mengikuti lagi Pilkada serentak kembali di tahun 2024," ujarnya.
Belum lagi adanya korban dari pemilu serentak. KPU mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 adalah 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali," tuturnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda