Soal Pelonggaran PSBB, Begini Pandangan Pendiri INDEF Didik J Rachbini
Rabu, 20 Mei 2020 - 07:55 WIB
JAKARTA - Pendiri INDEF Didik J Rachbini menilai, wacana pelonggaran sudah membawa dampak pada penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah. Sebabnya adalah, komunikasi yang kurang baik bahkan kacau dari pejabat pemerintah mulai dari awal penghindaran dan menolak ("denieal") terhadap Covid.
”Komunikasi yang menjadi blunder sangat banyak sekali, di antaranya cukup makan nasi kucing dari menteri, minum saja susu kuda liar dari wapres, dan kebingungan memahami larangan mudik dan pulang kampung "oke" dari presiden sendiri sebagai materi komunikasi yang salah kaprah dan ditanggapi negatif oleh masyarakat,” ujarnya dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (20/5/2020). (Baca juga: Update Corona Indonesia 19 Mei: 18.496 Positif, 4.467 Sembuh, dan 1.221 Meninggal)
Didik menilai, komunikasi seperti ini bukan hanya tidak baik atau buruk tetapi salah kaprah sehingga kebijakan tidak efektif. Hasil dari kebijakan tersebut terlihat pada saat ini dimana terjadi kebingungan publik di tengah simpang siur kebijakan yang tidak konsisten. ”Presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarakat luas. Ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan,” ucapnya. (Baca juga: Said Aqil Siroj: Tidak Usah Panik Hadapi Covid-19)
Didik menjelaskan, sejarah pandemi influenza di Indonesia sudah pernah terjadi satu abad yang lalu dan memakan korban yang sangat besar sampai kisaran 20% dari penduduk meninggal dunia. Tabel di bawah ini adalah catatan disertasi Prof Dr Widjojo Nitisastro tentang pandemic influenza yang memakan korban meninggal banyak sekali. ”Catatan ini perlu mendapat perhatian bahwa kita pernah mengalami pandemi yang berat karena di masa lalu sarana kesehatan kurang,” kata dia.
Jika presiden dan jajaran pemerintahannya tidak berhati-hati, maka kejadian pandemi ini bukan tidak mungkin memakan korban lebih banyak lagi dari yang sekarang sudah berkembang lebih berat dengan kurva yang terus meningkat. ”Kebijakan PSBB sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses,” katanya.
Data hasil PSBB dan kebijakan pandemic Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibandingkan dengan tingkat kesuksesan negara-negara tetangga di ASEAN (Gambar dengan sumber endcoronavirus.org). (Referensi: Nitisastro, Widjojo. 1970. Population Trend in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press)
”Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan? Baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah,” paparnya.
Keadaan ini terjadi karena pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah Covid-19 itu sendiri. Pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah. Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan "Herd Immunity".
”Yang kuat sukses sehat, yang lemah tewas. Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya,” tandasnya.
”Komunikasi yang menjadi blunder sangat banyak sekali, di antaranya cukup makan nasi kucing dari menteri, minum saja susu kuda liar dari wapres, dan kebingungan memahami larangan mudik dan pulang kampung "oke" dari presiden sendiri sebagai materi komunikasi yang salah kaprah dan ditanggapi negatif oleh masyarakat,” ujarnya dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (20/5/2020). (Baca juga: Update Corona Indonesia 19 Mei: 18.496 Positif, 4.467 Sembuh, dan 1.221 Meninggal)
Didik menilai, komunikasi seperti ini bukan hanya tidak baik atau buruk tetapi salah kaprah sehingga kebijakan tidak efektif. Hasil dari kebijakan tersebut terlihat pada saat ini dimana terjadi kebingungan publik di tengah simpang siur kebijakan yang tidak konsisten. ”Presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarakat luas. Ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan,” ucapnya. (Baca juga: Said Aqil Siroj: Tidak Usah Panik Hadapi Covid-19)
Didik menjelaskan, sejarah pandemi influenza di Indonesia sudah pernah terjadi satu abad yang lalu dan memakan korban yang sangat besar sampai kisaran 20% dari penduduk meninggal dunia. Tabel di bawah ini adalah catatan disertasi Prof Dr Widjojo Nitisastro tentang pandemic influenza yang memakan korban meninggal banyak sekali. ”Catatan ini perlu mendapat perhatian bahwa kita pernah mengalami pandemi yang berat karena di masa lalu sarana kesehatan kurang,” kata dia.
Jika presiden dan jajaran pemerintahannya tidak berhati-hati, maka kejadian pandemi ini bukan tidak mungkin memakan korban lebih banyak lagi dari yang sekarang sudah berkembang lebih berat dengan kurva yang terus meningkat. ”Kebijakan PSBB sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses,” katanya.
Data hasil PSBB dan kebijakan pandemic Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibandingkan dengan tingkat kesuksesan negara-negara tetangga di ASEAN (Gambar dengan sumber endcoronavirus.org). (Referensi: Nitisastro, Widjojo. 1970. Population Trend in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press)
”Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan? Baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah,” paparnya.
Keadaan ini terjadi karena pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah Covid-19 itu sendiri. Pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah. Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan "Herd Immunity".
”Yang kuat sukses sehat, yang lemah tewas. Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya,” tandasnya.
(cip)
tulis komentar anda