KSPI Soroti Hilangnya UMSK, Karyawan Kontrak dan Outsourcing di RUU Ciptaker
Selasa, 29 September 2020 - 13:31 WIB
Hal lain yang dikritisi KSPI adalah berkaitan dengan karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan. Menurut Said, sistem tersebut adalah masalah serius bagi kaum buruh.
Sistem itu memungkinkan tidak ada pengangkatan karyawan tetap karena pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyaknya buruh kontrak yang mudah dipecat, dengan sendirinya pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, serta jaminan kesehatan akan berpotensi hilang alias tidak didapatkan buruh.
Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Sebab, tidak mungkin buruh membayar kompensasi kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Apalagi, buruh outsourcing. Ia mempertanyakan siapa yang akan JKP tersebut karena mustahil agen outsourcing mau bayar JKP.
"Aneh kalau buruh harus membayar kompensasi dengan uangnya sendiri. Itu pun belum jelas, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Berarti buruh kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam omnibus law di atur kompensasi buruh kontrak yang diberikan setelah bekerja selama 1 tahun," celetuknya.
Said berpandangan, untuk saat ini tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara. Anggaran negara (APBN) bisa jebol karena jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekitar 70-80 persen dari total jumlah buruh formal yang bekerja sekitar 56 juta orang.
Sementara JKP yang ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan Panja adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap. Bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen. Said menilai, bisa saja pemerintah menyetujui ini karena tahu kalau ke depan sudah tidak ada lagi karyawan tetap.
Sistem itu memungkinkan tidak ada pengangkatan karyawan tetap karena pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyaknya buruh kontrak yang mudah dipecat, dengan sendirinya pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, serta jaminan kesehatan akan berpotensi hilang alias tidak didapatkan buruh.
Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Sebab, tidak mungkin buruh membayar kompensasi kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Apalagi, buruh outsourcing. Ia mempertanyakan siapa yang akan JKP tersebut karena mustahil agen outsourcing mau bayar JKP.
"Aneh kalau buruh harus membayar kompensasi dengan uangnya sendiri. Itu pun belum jelas, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Berarti buruh kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam omnibus law di atur kompensasi buruh kontrak yang diberikan setelah bekerja selama 1 tahun," celetuknya.
Said berpandangan, untuk saat ini tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara. Anggaran negara (APBN) bisa jebol karena jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekitar 70-80 persen dari total jumlah buruh formal yang bekerja sekitar 56 juta orang.
Sementara JKP yang ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan Panja adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap. Bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen. Said menilai, bisa saja pemerintah menyetujui ini karena tahu kalau ke depan sudah tidak ada lagi karyawan tetap.
(maf)
tulis komentar anda