Terkucil Dikecam Kejam dan Misinformasi
Selasa, 05 Desember 2023 - 09:35 WIB
Demonstrasi artinya memberikan dukungan simbolis kepada rakyat Palestina dan menegaskan bahwa bangsa Arab mendukung perlawanan mereka. Ini juga merupakan tekanan pada rezim untuk mengubah posisi mereka dan memaksa sebagian dari mereka untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap apa yang terjadi di Jalur Gaza, Israel, Tepi Barat, dan wilayah pendudukan di Palestina lainnya.
Beberapa konsep penghentian perang yang secara regional secara efektif dapat dilakukan. Pertama, selain senjata minyak dan gas, Mesir, misalnya, sebenarnya bisa memanfaatkan senjata ampuhnya "Terusan Suez". Dunia sudah melihat bertahun-tahun yang lalu bagaimana bila ada larangan kapal masuk ke terusan itu akan berdampak pada perdagangan global. Ini adalah senjata penting dan sah yang bisa digunakan untuk memberikan tekanan pada negara-negara Barat yang mendukung Israel. Negara-negara Arab cukup memberikan dukungan suara di PBB- tidak harus mempersiapkan tentara dan mengirim mereka ke Palestina
Kedua, tidak bisa juga dibayangkan bila duta besar entitas Iarael tersebut diusir sampai batas perjanjian perdamaian dan normalisasi Gaza selesai, semata-mata untuk menekan Israel agar menghentikan kejahatan mereka terhadap warga Palestina yang tidak bersalah.
Ketiga, para pemimpin Arab harus kompak menggunakan diplomasi untuk mempublikasikan keadilan perjuangan Palestina serta memobilisasi dukungan di forum internasional, sampai tercapai konsensus yang mengkritik praktik entitas Israel, yang dapat memaksa mereka menghentikan agresi yang telah berlangsung selama berhari-hari ini
Memang, praktik selama ini, diplomasi Arab dirasakan relatif lemah, membuat beberapa negara yang selama ini mendukung perjuangan Palestina mundur dari posisinya dan berbalik berpihak pada entitas Israel. Hal ini terjadi karena Israel berhasil menyusup ke banyak entitas dan kelompok lokal, regional, dan internasional.
Bocornya Informasi Intelijen yang Melemahkan Israel Sendiri
Sungguh tidak bisa disangka bahwa negara sekuat dan setangguh Israel bisa mengalami bocor dokumen intelijennya yang dimuat di global media. Ada analisis yang menganggap kebocoran informasi intelijen dari internal Israel, karena kelemahan siatem intelijen seperti halnya serangan 7 oktober lalu, saat Netanyahu mendapat informasi yang keliru sehingga Israel yang tidak siap, dan dengan mudah bisa diserbu Hamas. Kelemahan intelijen ini juga terjadi terhadap perlakuan sandera yang kejam berbanding terbalik dengan perlakuan humanis Hamas terhadap tawanan sebagai fenomena Stockholm Syndrome. Kebencian dan tuntutan meluas terjadi terhadap pemerintah Israel bahkan oleh warganya sendiri eks tawanan Hamas.
Kebocoran kali ini juga terjadi, sebagaimana dimuat dalam situs web yang berbasis di Tel Aviv bernama "+972", yang menulis bahwa aplikasi kecerdasan buatan, yang disebut "Habsora", yang digunakan tentara Israel untuk menentukan target dalam serangannya terhadap Jalur Gaza, telah digunakan dengan sengaja untuk menyerang infrastruktur sipil, dan di situ selalu diketahui berapa banyak warga sipil yang akan tewas dalam serangan. Target dihasilkan secara otomatis dengan aplikasi ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh situs web "+972" bekerja sama dengan Local Call dan berdasarkan wawancara dengan tujuh anggota intelijen Israel saat ini dan mantan, termasuk personel intelijen militer dan angkatan udara yang terlibat dalam serangan Israel di Gaza, tentara Israel memfokuskan target di Gaza. Ia menggunakan teknologi kecerdasan buatan saat memilih target. Menurut juru bicara militer, pada 10 November, Israel telah menyerang total 15.000 sasaran di Gaza dalam 35 hari pertama serangan tersebut.
Menurut penelitian tersebut, dibandingkan dengan serangan-serangan Israel sebelumnya di Gaza, dalam serangan kali ini tentara Israel secara signifikan dapat meningkatkan sasarannya terhadap permukiman sipil, sementara sasaran-sasaran tersebut mencakup tempat tinggal pribadi, gedung-gedung publik, infrastruktur sipil, yang oleh tentara digambarkan sebagai “kekuatan target".
Beberapa konsep penghentian perang yang secara regional secara efektif dapat dilakukan. Pertama, selain senjata minyak dan gas, Mesir, misalnya, sebenarnya bisa memanfaatkan senjata ampuhnya "Terusan Suez". Dunia sudah melihat bertahun-tahun yang lalu bagaimana bila ada larangan kapal masuk ke terusan itu akan berdampak pada perdagangan global. Ini adalah senjata penting dan sah yang bisa digunakan untuk memberikan tekanan pada negara-negara Barat yang mendukung Israel. Negara-negara Arab cukup memberikan dukungan suara di PBB- tidak harus mempersiapkan tentara dan mengirim mereka ke Palestina
Kedua, tidak bisa juga dibayangkan bila duta besar entitas Iarael tersebut diusir sampai batas perjanjian perdamaian dan normalisasi Gaza selesai, semata-mata untuk menekan Israel agar menghentikan kejahatan mereka terhadap warga Palestina yang tidak bersalah.
Ketiga, para pemimpin Arab harus kompak menggunakan diplomasi untuk mempublikasikan keadilan perjuangan Palestina serta memobilisasi dukungan di forum internasional, sampai tercapai konsensus yang mengkritik praktik entitas Israel, yang dapat memaksa mereka menghentikan agresi yang telah berlangsung selama berhari-hari ini
Memang, praktik selama ini, diplomasi Arab dirasakan relatif lemah, membuat beberapa negara yang selama ini mendukung perjuangan Palestina mundur dari posisinya dan berbalik berpihak pada entitas Israel. Hal ini terjadi karena Israel berhasil menyusup ke banyak entitas dan kelompok lokal, regional, dan internasional.
Bocornya Informasi Intelijen yang Melemahkan Israel Sendiri
Sungguh tidak bisa disangka bahwa negara sekuat dan setangguh Israel bisa mengalami bocor dokumen intelijennya yang dimuat di global media. Ada analisis yang menganggap kebocoran informasi intelijen dari internal Israel, karena kelemahan siatem intelijen seperti halnya serangan 7 oktober lalu, saat Netanyahu mendapat informasi yang keliru sehingga Israel yang tidak siap, dan dengan mudah bisa diserbu Hamas. Kelemahan intelijen ini juga terjadi terhadap perlakuan sandera yang kejam berbanding terbalik dengan perlakuan humanis Hamas terhadap tawanan sebagai fenomena Stockholm Syndrome. Kebencian dan tuntutan meluas terjadi terhadap pemerintah Israel bahkan oleh warganya sendiri eks tawanan Hamas.
Kebocoran kali ini juga terjadi, sebagaimana dimuat dalam situs web yang berbasis di Tel Aviv bernama "+972", yang menulis bahwa aplikasi kecerdasan buatan, yang disebut "Habsora", yang digunakan tentara Israel untuk menentukan target dalam serangannya terhadap Jalur Gaza, telah digunakan dengan sengaja untuk menyerang infrastruktur sipil, dan di situ selalu diketahui berapa banyak warga sipil yang akan tewas dalam serangan. Target dihasilkan secara otomatis dengan aplikasi ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh situs web "+972" bekerja sama dengan Local Call dan berdasarkan wawancara dengan tujuh anggota intelijen Israel saat ini dan mantan, termasuk personel intelijen militer dan angkatan udara yang terlibat dalam serangan Israel di Gaza, tentara Israel memfokuskan target di Gaza. Ia menggunakan teknologi kecerdasan buatan saat memilih target. Menurut juru bicara militer, pada 10 November, Israel telah menyerang total 15.000 sasaran di Gaza dalam 35 hari pertama serangan tersebut.
Menurut penelitian tersebut, dibandingkan dengan serangan-serangan Israel sebelumnya di Gaza, dalam serangan kali ini tentara Israel secara signifikan dapat meningkatkan sasarannya terhadap permukiman sipil, sementara sasaran-sasaran tersebut mencakup tempat tinggal pribadi, gedung-gedung publik, infrastruktur sipil, yang oleh tentara digambarkan sebagai “kekuatan target".
tulis komentar anda