Akankah Khilaf Selesai dengan Maaf?
Sabtu, 29 Juli 2023 - 10:14 WIB
Penggunaan mekanisme koneksitas dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan hal yang baru sepenuhnya. Pada tahun 2002, sebelum berdirinya lembaga antirasuah dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, telah ada Putusan Mahkamah Agung yakni Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 yang memutus mengenai keabsahan tim penyidik koneksitas dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan Menteri Pertambangan ketika itu dan perkaranya telah dihentikan pada Oktober tahun 2004.
Dalam Putusan Nomor 35 K/Pid/2002, Majelis Hakim Agung telah menjawab pertanyaan mengenai siapa yang berwenang mengkoordinasikan dan memimpin penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seorang anggota militer yang secara bersama-sama dengan orang sipil diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Tim Penyidik Koneksitas yang terdiri dari Penyidik Sipil dan Penyidik Militer yang dipimpin oleh Jaksa Agung adalah sah menurut hukum dan karena itu berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penahanan.
Selain pasal-pasal aturan hukum yang telah disebutkan oleh Wakil Ketua KPK dan Kababinkum TNI dalam konferensi pers masing-masing yang dilakukan secara terpisah, maka Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 dapat dijadikan referensi sebagai solusi atas apa yang dianggap adanya tumpang tindih wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pembentukan tim koneksitas yang terdiri dari penyidik KPK, penyidik TNI dan dipimpin oleh Jaksa Agung dapat dipertimbangkan sebagai jalan tengah penyelesaian tumpang tindih pelaksanaan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan sipil.
Pembentukan tim koneksitas tersebut selaras juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 Jo. Nomor 16/PUU-X/2012 mengenai differensiasi fungsi/wewenang aparat penegak hukum (Kejaksaan dengan Kepolisian) yang oleh Majelis Hakim Konstitusi telah ditegaskan bahwa Kejaksaan juga secara sah memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan juga penuntutan.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa eksistensi differensiasi wewenang bermaksud agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Lebih lanjut, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum.
Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis).
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 juga berpendapat bahwa sudah saatnya pembentuk undang-undang menyelaraskan berbagai ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang penyidikan, sehingga lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan serta jaminan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Dalam Putusan Nomor 35 K/Pid/2002, Majelis Hakim Agung telah menjawab pertanyaan mengenai siapa yang berwenang mengkoordinasikan dan memimpin penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seorang anggota militer yang secara bersama-sama dengan orang sipil diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Tim Penyidik Koneksitas yang terdiri dari Penyidik Sipil dan Penyidik Militer yang dipimpin oleh Jaksa Agung adalah sah menurut hukum dan karena itu berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penahanan.
Penggunaan Mekanisme Koneksitas Pasca Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Publik menantikan apa yang selanjutnya akan terjadi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi untuk suap pengadaan alat bencana yang diduga melibatkan dua orang anggota TNI aktif dan tiga orang sipil.Selain pasal-pasal aturan hukum yang telah disebutkan oleh Wakil Ketua KPK dan Kababinkum TNI dalam konferensi pers masing-masing yang dilakukan secara terpisah, maka Putusan Nomor 35 K/Pid/2002 dapat dijadikan referensi sebagai solusi atas apa yang dianggap adanya tumpang tindih wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pembentukan tim koneksitas yang terdiri dari penyidik KPK, penyidik TNI dan dipimpin oleh Jaksa Agung dapat dipertimbangkan sebagai jalan tengah penyelesaian tumpang tindih pelaksanaan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan sipil.
Pembentukan tim koneksitas tersebut selaras juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 Jo. Nomor 16/PUU-X/2012 mengenai differensiasi fungsi/wewenang aparat penegak hukum (Kejaksaan dengan Kepolisian) yang oleh Majelis Hakim Konstitusi telah ditegaskan bahwa Kejaksaan juga secara sah memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan juga penuntutan.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa eksistensi differensiasi wewenang bermaksud agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Lebih lanjut, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum.
Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis).
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 juga berpendapat bahwa sudah saatnya pembentuk undang-undang menyelaraskan berbagai ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang penyidikan, sehingga lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan serta jaminan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
tulis komentar anda