Fenomena Begal, Salah Siapa?

Selasa, 07 April 2015 - 08:41 WIB
Fenomena Begal, Salah Siapa?
Fenomena Begal, Salah Siapa?
A A A
Awal 2015 antara medio Januari-Februari masyarakat dikejutkan dengan ada gangguan keamanan ketertiban masyarakat yang melanda di sekitar Jabodetabek dan diikuti dengan beberapa daerah di Jawa serta daerah lain di Indonesia.

Gangguan kantibmas itu disebabkan ada begal. Istilah ”begal” penulis ketahui sejak kecil. Kala itu begal diartikan seorang atau sekelompok orang yang melakukan ”pencegatan” kepada seseorang yang melakukan perjalanan malam (baik jalan kaki, sepeda, maupun sepeda motor) di antara satu desa dan desa lain, di mana jarak desa yang satu ke desa lain cukup jauh.

Fenomena begal waktu itu tidaklah terlalu menakutkan karena biasa hanya bermaksud mengambil harta dari korban tanpa mencederainya. Kini fenomena begal yang saya ketahui dahulu itu sudah sangat jauh berbeda karena pada zaman yang sudah modern ini begal telah berubah menjadi sosok yang amat menakutkan.

Begal merupakan upaya disertai paksaan/kekerasan seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai harta orang lain (korban). Kekerasan yang dilakukan para begal memang sudah keterlaluan karena tidak hanya dengan kekerasan psikis, tapi juga kekerasan fisik sehingga para pembegal tidak menginginkan harta semata.

Menyeruaknya masalah sosial ”begal” akhir-akhir ini sepanjang cacatan penulis dimulai ada balapan motor liar yang dilakukan oleh anak muda yang hampir ada di setiap daerah. Para ”pembalap” liar itu tidak sekadar adu cepat tujuannya, tetapi mereka juga sering melakukan teror di tengah-tengah masyarakat dengan merusak fasilitas umum (public facility) dan menggasak harta milik masyarakat sekitar yang dilewati oleh aksi kebut-kebutan liar mereka.

Kini setelah aktivitas balapan liar itu meredup di tengah masyarakat, fenomena begal yang tidak sekadar menginginkan motor dari korban, tetapi kalau perlu dilakukan dengan mencederai korban atau bahkan membunuh korbannya.

Apa Penyebabnya?

Kini begal menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Keberadaannya tidak datang dengan tiba-tiba dan banyak faktor yang menjadi pendorong lahirnya ”algojo- algojo” jalanan dan ”penyerobot” sepeda motor di jalan tersebut. Penyebabnya antara lain: Pertama, budaya konsumerisme dan gaya hidup materialismemasyarakat.

Seperti kita ketahui bahwa budaya ini sudah menjangkiti para remaja kita dengan ditandai sangat cepat berubahnya model/ tampilan dalam dunia gadget dan automotif. Banyak model telepon seluler yang silih berganti setiap saat dengan fitur dan aplikasi yang amat memanjakan konsumen sehingga konsumen berniat untuk membeli/ menggantinya setiap ada model baru.

Dalam dunia automotif, kehadiran model baru sepeda motor dari berbagai merek dengan segala kecanggihan dan keindahannya menjadikan konsumen anak muda ”menelan ludah” untuk segera memilikinya. Kedua, faktor pandangan sosial masyarakat. Saat ini tengah terjadi perubahan yang sangat drastis pandangan sosial masyarakat karena masyarakat cenderung permisif terhadap perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa ketidaktaatan kepada hukum merupakan hal yang biasa, pelaku dianggap mengalami nasib sial kalau tertangkap dan merasa bangga manakala bisa keluar dari jeratan hukum aparat penegak hukum.

Ketiga, dampak berita/ tontonan film, game pada media massa dan media elektronik. Salah satu yang menonjol pada abad digital ini adalah mudahnya masyarakat mendapatkan dan menikmati sajian hiburan kekerasan yang dapat digunakan sebagai inspirasi untuk melakukan kejahatan dan kekerasan serta menaburkan sifat antiperikemanusiaan. Budaya kekerasan dalam media tersebut menjadi tren anak muda untuk mengekspresikan kemauannya.

Keempat, cara berpikir serbainstan. Anak muda kadang lupa atau tidak mengerti bahwa hidup itu kadang banyak dihiasi dan diselingi dengan penderitaan, kekurangan, serta keterbatasan. Mereka tidak sabar sehingga memilih cara-cara cepat mendapatkan sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan itu melanggar aturan atau tidak, menyengsarakan orang lain atau tidak.

Kelima, keluarga yang broken home. Sebuahfenomenayangmenyeruak di permukaan ternyata para pelaku kebanyakan berasal dari keluarga broken home. Sebuah keluarga yang tidak kuat tiang-tiang penyangganya melahirkan generasi yang tidak kerasan di rumah dan akhirnya suka mengganggu orang di jalanan agar diakui eksistensinya. Cukup banyak cerita yang memperkuat asumsi bahwa perceraian orang tua menjadi pemicu utama broken home tersebut.

Keenam, ada bullying, suatu tindakan kasar serta kekerasan terhadap seseorang manakala menginginkan sesuatu. Bullying ini baik secara psikis maupun verbal sangat mengganggu dan cukup mendominasi pemikiran anak muda karena pengaruh emosi yang tidak terkontrol.

Ketujuh, kondisi perekonomian yang kurang baik karena harus diakui semakin miskin seseorang, peluang untuk melakukan kejahatan dan kekerasan akan semakin besar.

Kedelapan, lemahnya pengawasan sosial. Harus diakui bahwa di tengah masyarakat tengah terjadi perubahan atau pergeseran yang besar karena ada budaya hedonistis. Orang tidak perlu berpikir kepentingan orang lain dan yang penting diri sendiri ”happy” dan puas tanpa mempertimbangkan sesama, orang tidak lagi ”mengawasi” dan peduli terhadap orang lain hingga seolaholah hidup ini hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri semata-mata.

Kesembilan, fenomena begal disebabkan banyak pengangguran. Saat ini mencari sekolah atau kuliah sulit. Jika sudah lulus juga, tidak mudah mendapatkan pekerjaan atau bahkan yang sudah bekerja di-PHK sehingga meningkatkan pengangguran. Jika dalam masyarakat banyak terjadi pengangguran, amat berpotensi begallah yang merupakan jalan keluarnya.

Pendekatan Hukum Pidana

Secara umum konstruksi hukum yang berkait dengan begal adalah pencurian. Pencurian dalam KUHP ada 6 Pasal yang dimulai Pasal 362 hingga 367. Pasal 362 sebagai dasar pencurian biasa diartikan sebagai mengambil barang milik orang lain baik sebagian maupun seluruhnya untuk dimiliki sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum.

Secara khusus Pasal 365 KUHP memberikan batasan pendekatan atas ”begal” dari pencurian karena pada pembegalan sebelum mengambil harta orang lain, begal memberikan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud mempermudah atau mempersiapkan pencurian itu.

Sanksi atas pembegalan dalam Pasal 365 adalah pidana penjara selama sembilan tahun dan paling lama 12 tahun manakala dilakukan pada waktu malam atau dijalan umum. Sebagai konsekuensi jika korban pembegalan sampai meninggal dunia, begal dapat diancam dengan hukuman pidana paling lama 15 tahun hingga pidana mati atau seumur hidup.

Hukuman ini hampir sama manakala begal yang di dalam hukum Islam termasuk hirabah itu hukumannya bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki. Harus diakui bahwa fenomena begal yang marak akhirakhir ini juga disebabkan banyak putusan pengadilan yang ringan terhadap pelaku walaupun landasan normatifnya amat kuat dan jelas dalam KUHP.

Karena ketidakpuasan atas putusan hakim tersebut, kita masih sering melihat tindakan main hakim sendiri (eigen rechting) yang dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan pembakaran dan penyiksaan secara beramai-ramai hingga meninggal bagi pelakunya.

Penulis berpendapat bahwa pemberian sanksi hukum atas pelaku begal belum memberikan efek jera karena efek jera bukan bergantung pada berat-ringan hukuman, melainkan pelaku begal banyak dijatuhi hukuman pidana masih jauh dari kehendak pembuat undang-undang.

Fenomena begal yang menyebabkan hampir setiap lapisan waswas bila pulang malam tidak bisa dicegah dengan hanya menggunakan pendekatan tunggal misalnya hukum atau ekonomi atau budaya atau pendidikan semata-mata, namun secara utuh harus dicari faktor pemicunya.

Misalnya pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberdayakan keluarga, bukan hanya dari aspek ekonomi, melainkan juga pola pengasuhan anak yang ramah dan berkarakter. Harus diakui bahwa keluarga merupakan tempat bersemai anak bangsa yang akan datang.

Selain itu, masyarakat secara umum, tenaga pendidik dan kependidikan, bersatu padu dan mencegah kekerasan dengan keyakinan bahwa tidak ada masalah yang selesai dengan baik manakala diselesaikan dengan kekerasan.

Jamal Wiwoho
Dosen Fakultas Hukum, Wakil Rektor II Universitas Sebelas Maret
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4112 seconds (0.1#10.140)