Pilkada Diusulkan Hanya Satu Putaran
A
A
A
JAKARTA - Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) menimbulkan sejumlah perdebatan baru di DPR. Mayoritas fraksi menginginkan agar pilkada langsung dilaksanakan satu putaran saja demi efektivitas waktu dan biaya.
“Soal satu putaran atau dua putaran menjadi perdebatan fraksi. Tapi, demi efisiensi, lebih baik satu putaran. Dari kejadian mana pun satu putaran (pilkada) itu sudah selesai, jangan dipersulit,” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman di Jakarta kemarin.
Menurut Rambe, sebagian fraksi lain menginginkan sistemnya tetap sama dengan pilkada selama ini, yakni berlaku dua putaran jika tidak ada kandidat kepala daerah yang mencapai kemenangan lebih dari 30%. “Jadi, kalau nanti (keputusannya) satu putaran, bisa kita buat ambang batas (kemenangan), yakni 20% atau 30%,” ujar politikus Partai Golkar itu. Namun Rambe menegaskan, persoalan ambang batas ini masih menjadi polemik.
Ada yang berpendapat bahwa pemenang pilkada ditentukan oleh ambang batas minimal perolehan suara yang harus dicapai. Artinya, untuk menang satu putaran tetap diperlukan batas minimal perolehan suara. Namun ada juga fraksi yang berpendapat bahwa tidak perlu ambang batas, siapa pun calon yang memperoleh suara tertinggi dia otomatis memenangi pilkada dalam satu putaran.
“Ada delapan fraksi yang minta satu putaran saja. Tapi mereka ada yang minta perlu ambang batas, yakni di atas 20%. Siapa yang mampu mencapai suara 20%, ya langsung menang,” kata Rambe. Aturan yang berlaku selama ini, jika pilkada diikuti lebih dua pasangan calon, kandidat baru dinyatakan unggul jika mendapatkan dukungan minimal 30% suara.
Jika tidak ada satu pun kandidat yang mendapatkan jumlah dukungan minimal tersebut, pilkada akan dilanjutkan ke putaran kedua yang diikuti dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi. Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengatakan, pilkada langsung sebaiknya diadakan dalam satu putaran saja demi efisiensi waktu dan juga biaya, baik yang dikeluarkan negara maupun calon.
“Tidak perlu ada dua putaran. Anggaran yang dialokasikan untuk dua putaran bisa untuk membangun daerah,” kata Ketua Fraksi PKS tersebut kemarin. Menurut Jazuli, ambang batas pun tidak diperlukan dalam menentukan siapa pemenang pilkada. Jadi, siapa pun calon yang mendapatkan perolehan suara tertinggi, dia akan menjadi pemenang pilkada. “Ambang batas 30%, 40%, atau 50% tidak diperlukan, siapa yang memperoleh suara tertinggi dia yang menang,” tandasnya.
Anggota Fraksi Partai Gerindra Riza Patria menyatakan, fraksinya juga setuju pilkada cukup satu putaran. Namun dia menilai tetap perlu ambang batas kemenangan, yakni di angka 25%. Dengan mampu memperoleh suara sebesar itu, kandidat bisa langsung dinyatakan menang. Menurutnya, dengan pilkada satu putaran, hal itu juga akan meminimalisasi potensi terjadinya konflik di daerah.
“Kami kan maunya terlaksana cepat, maka biar terjadi satu putaran saja. Terjadi efisiensi anggaran dan waktu,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR itu kemarin. Di lain pihak, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, PPP bukan mempermasalahkan satu atau dua putaran.
Tapi demi legitimasi kepala daerah terpilih, diperlukan ambang batas sebesar 30% seperti yang berlaku saat ini untuk bisa memenangi pilkada. Menurut Arwani, perlu standar perolehan suara bagi kandidat demi legitimasi bahwa dia pilihan masyarakat. “Bukan lalu mendorong satu atau dua putaran. Kalau kandidat menangnya 30%, ya cukup satu putaran,” ujarnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, sebagian fraksi memang menginginkan pilkada cukup berakhir satu putaran saja. “Kami di PAN tetap setuju ambang batas 30%, cenderung ke situ,” ujarnya kemarin. Yandri tidak setuju jika ambang batas kemenangan dihapus dan kemenangan hanya berdasarkan suara terbanyak karena itu akan menimbulkan sejumlah risiko.
Misalnya, partai minoritas yang solid bisa saja mengalahkan partai mayoritas yang terpecah-pecah karena mengajukan banyak calon. Dia mengkhawatirkan partai mayoritas akan dipimpin partai minoritas jika hanya berdasar pada suara terbanyak. Sebaliknya, kalau mayoritas yang menang bisa menekan minoritas.
“Di sini penekanan asas keadilan perlu diperhatikan untuk mempertimbangkan soal ambang batas kemenangan pilkada,” ujarnya. Anggota Komisi II dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arief Wibowo mengatakan, fraksinya menilai ambang batas kemenangan di pilkada tidak perlu diubah. “Sebaiknya masih 30%, ini menyangkut legitimasi minimal,” ujarnya di Gedung DPR, Jumat (30/1).
Kiswondari/Mula akmal
“Soal satu putaran atau dua putaran menjadi perdebatan fraksi. Tapi, demi efisiensi, lebih baik satu putaran. Dari kejadian mana pun satu putaran (pilkada) itu sudah selesai, jangan dipersulit,” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman di Jakarta kemarin.
Menurut Rambe, sebagian fraksi lain menginginkan sistemnya tetap sama dengan pilkada selama ini, yakni berlaku dua putaran jika tidak ada kandidat kepala daerah yang mencapai kemenangan lebih dari 30%. “Jadi, kalau nanti (keputusannya) satu putaran, bisa kita buat ambang batas (kemenangan), yakni 20% atau 30%,” ujar politikus Partai Golkar itu. Namun Rambe menegaskan, persoalan ambang batas ini masih menjadi polemik.
Ada yang berpendapat bahwa pemenang pilkada ditentukan oleh ambang batas minimal perolehan suara yang harus dicapai. Artinya, untuk menang satu putaran tetap diperlukan batas minimal perolehan suara. Namun ada juga fraksi yang berpendapat bahwa tidak perlu ambang batas, siapa pun calon yang memperoleh suara tertinggi dia otomatis memenangi pilkada dalam satu putaran.
“Ada delapan fraksi yang minta satu putaran saja. Tapi mereka ada yang minta perlu ambang batas, yakni di atas 20%. Siapa yang mampu mencapai suara 20%, ya langsung menang,” kata Rambe. Aturan yang berlaku selama ini, jika pilkada diikuti lebih dua pasangan calon, kandidat baru dinyatakan unggul jika mendapatkan dukungan minimal 30% suara.
Jika tidak ada satu pun kandidat yang mendapatkan jumlah dukungan minimal tersebut, pilkada akan dilanjutkan ke putaran kedua yang diikuti dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi. Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengatakan, pilkada langsung sebaiknya diadakan dalam satu putaran saja demi efisiensi waktu dan juga biaya, baik yang dikeluarkan negara maupun calon.
“Tidak perlu ada dua putaran. Anggaran yang dialokasikan untuk dua putaran bisa untuk membangun daerah,” kata Ketua Fraksi PKS tersebut kemarin. Menurut Jazuli, ambang batas pun tidak diperlukan dalam menentukan siapa pemenang pilkada. Jadi, siapa pun calon yang mendapatkan perolehan suara tertinggi, dia akan menjadi pemenang pilkada. “Ambang batas 30%, 40%, atau 50% tidak diperlukan, siapa yang memperoleh suara tertinggi dia yang menang,” tandasnya.
Anggota Fraksi Partai Gerindra Riza Patria menyatakan, fraksinya juga setuju pilkada cukup satu putaran. Namun dia menilai tetap perlu ambang batas kemenangan, yakni di angka 25%. Dengan mampu memperoleh suara sebesar itu, kandidat bisa langsung dinyatakan menang. Menurutnya, dengan pilkada satu putaran, hal itu juga akan meminimalisasi potensi terjadinya konflik di daerah.
“Kami kan maunya terlaksana cepat, maka biar terjadi satu putaran saja. Terjadi efisiensi anggaran dan waktu,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR itu kemarin. Di lain pihak, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, PPP bukan mempermasalahkan satu atau dua putaran.
Tapi demi legitimasi kepala daerah terpilih, diperlukan ambang batas sebesar 30% seperti yang berlaku saat ini untuk bisa memenangi pilkada. Menurut Arwani, perlu standar perolehan suara bagi kandidat demi legitimasi bahwa dia pilihan masyarakat. “Bukan lalu mendorong satu atau dua putaran. Kalau kandidat menangnya 30%, ya cukup satu putaran,” ujarnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, sebagian fraksi memang menginginkan pilkada cukup berakhir satu putaran saja. “Kami di PAN tetap setuju ambang batas 30%, cenderung ke situ,” ujarnya kemarin. Yandri tidak setuju jika ambang batas kemenangan dihapus dan kemenangan hanya berdasarkan suara terbanyak karena itu akan menimbulkan sejumlah risiko.
Misalnya, partai minoritas yang solid bisa saja mengalahkan partai mayoritas yang terpecah-pecah karena mengajukan banyak calon. Dia mengkhawatirkan partai mayoritas akan dipimpin partai minoritas jika hanya berdasar pada suara terbanyak. Sebaliknya, kalau mayoritas yang menang bisa menekan minoritas.
“Di sini penekanan asas keadilan perlu diperhatikan untuk mempertimbangkan soal ambang batas kemenangan pilkada,” ujarnya. Anggota Komisi II dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arief Wibowo mengatakan, fraksinya menilai ambang batas kemenangan di pilkada tidak perlu diubah. “Sebaiknya masih 30%, ini menyangkut legitimasi minimal,” ujarnya di Gedung DPR, Jumat (30/1).
Kiswondari/Mula akmal
(bbg)