Kekuatan media sosial

Rabu, 31 Oktober 2012 - 09:04 WIB
Kekuatan media sosial
Kekuatan media sosial
A A A
Benarkah media sosial bakal makin penting saat pemilu tahun 2014 mendatang? Boleh jadi. Bisa jadi pula, media konvensional seperti koran, televisi dan radio, tetap menjadi andalan para politisi untuk berkampanye saat itu.

Sekarang kita belum tahu pasti. Yang jelas, belakangan ini media sosial itu terasa kian berperan, khususnya setelah muncul pernyataan presiden awal Oktober lalu yang menyebut soal media baru itu dalam kasus KPK vs Polri.

Barangkali inner circle SBY memang memonitor apa yang dibicarakan orang di media sosial. Boleh jadi mereka mendengar kicauan ramai di Twitter, salah satu microblogging paling riuh di Indonesia ini. Saat terjadi kericuhan mengenai isu pelemahan KPK itu, ratusan ribu atau jutaan pengguna Twitter menggalang aksi dukungan bagi KPK.

Para tokoh antikorupsi seperti Usman Hamid (Kontras), Illiandeta (dari ICW), dan Anita Wahid saling bahu-membahu menggalang kekuatan bersama tokoh lain seperti Fadjroel Rachman, Anies Baswedan, Alissa Wahid, dan banyak lain-lainnya.

Dari Twitter, kegiatan yang mereka lakukan merambah ke tempat lain. Di antara yang mereka lakukan, misalnya @hamid_usman menggalang kekuatan melalui situs change.org-nya, dan @Illiandeta menjadi salah satu motor pengerah massa ke depan gedung KPK dan bundaran HI.

Sementara itu @AnitaWahid menginisiasi petisi "Serahkan Kasus Korupsi Polri ke KPK. Hentikan Pelemahan KPK." Bagaikan sebuah simfoni, petisi itu digaungkan kawan-kawan antikorupsi lain —utamanya lewat kicauan di Twitter— sehingga berhasil memperoleh hampir 15 ribu tanda tangan.

Lewat Twitter itu pula, Usman Hamid dan kawan-kawannya menggalang pemakaian tanda-pagar (tagar) alias hash tag #SaveKPK, yang menjadikan mengakselerasi munculnya kekuatan itu dalam waktu singkat.

Seperti yang kita tahu, lazimnya lewat sebuah tagar para pengguna Twitter berusaha mempercepat efek pemberlanjutan sebuah pesan, sehingga sering menyebabkan munculnya 'trending topic'. Walhasil, melalui Twitter pe-ngerahan sejumlah orang secara massal yang merasa punya keinginan yang sama untuk membela KPK itu kemudian jadi lebih mudah.

Lewat media sosial itu ratusan ribu orang segera tahu bahwa ada sejumlah besar 'teman' lain yang punya tekad yang sama untuk berdemo di bundaran HI, membuat petisi atau pun aksi lainnya.

Lewat Twitter itu, semua orang jadi seperti punya surat kabar sendiri, yang dalam waktu singkat —dibantu berbagai perangkat smart-phone— menjadi pencipta berita, sekaligus pengguna dan pembaca berita.

Lalu, ketika berita tadi dikicaukan (tweeted) secara bersamaan dan terus menerus oleh begitu banyak orang, terjadilah percepatan dalam hitungan deret ukur, bukan lagi deret hitung.

Dalam waktu singkat, jutaan orang bisa tahu rencana aksi demo di bundaran HI, misalnya. Perkara tidak semua yang nge-tweet tadi ikut hadir di seputaran HI -itu masalah lain— karena kesibukan para pengguna di dunia nyata memang tidak sama.

Tetapi setidaknya mereka bisa sama-sama berpartisipasi dalam menyebarluaskan ajakan, kritik atau bahkan ancaman kepada suatu pihak, siapa pun 'pihak' yang dimaksud.

Senjata baru

Sesungguhnya, sebelum ramai soal media sosial itu mencuat, masyarakat di perkotaan Indonesia telah lama berkutat dengannya. Hanya saja, banyak pengambil keputusan dan politisi tampaknya kurang menghiraukannya, dan baru setelah muncul konflik KPK versus Polri belakangan saja kesadaran itu tersentak.

Padahal tren baru yang ada sekarang menunjukkan bahwa ratusan juta orang di dunia makin peduli pada status sosial mereka, khususnya dengan memanfaatkan 'senjata baru' yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: internet.

Sehingga lewat internet itulah terjadi aksi sosial; orang berkenalan, berteman atau berbisnis. Teman lama ketemu lagi, saling berbagi info, rekomendasi, atau menggalang kegiatan bersama. Semua kemudian saling berkelindan satu dengan banyak orang, lalu sekelompok orang dengan himpunan orang lainnya.

Terjadilah jejaring sosial bagaikan sarang laba-laba, yang kini menjadi penanda sosial penting. Yang menarik, ketersambungan jejaring sosial itu dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Asia saja, penetrasi internet tahun ini melonjak dari 24 persen (tahun lalu) menjadi 27 persen.

Berkat hal itu, tahun ini terdapat 1,034 miliar netizens (populasi orang di internet) di Asia. Demikian pula halnya dengan telepon seluler (mobile). Penetrasi ponsel di Asia yang tahun lalu berada di angka 74 persen, tahun ini tumbuh menjadi 82 persen, sehingga Asia kini menjadi rumah bagi tiga miliar pelanggan jasa mobile.

Perlu dicatat, bagi banyak orang perangkat ponsel itu utamanya dipakai untuk mengakses internet, khususnya media sosial. Nah, bicara media sosial, kita melihat bahwa dari satu miliar pengguna internet di Asia itu ternyata 811 juta di antaranya menggunakannya untuk kegiatan di media sosial, seperti Facebook, Qzone(di China), dan Twitter.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sekitar 50 persen pengguna sosial media di dunia berada di Asia. Tentu saja itu menjadikan banyak perusahaan makin memerhatikan internet dan media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Diperkirakan sekitar 2/3 perusahaan di Asia yang ada di media sosial hadir di Twitter. Kebanyakan kegiatan perusahaan di media sosial itu memfokuskan diri dalam urusan marketing, tetapi belakangan makin banyak yang memanfaatkannya untuk tujuan pelayanan pelanggan (customer service) juga.

Penetrasi internet dan media sosial di Indonesia juga amat menarik. Hingga Oktober ini, pengguna Facebook di Indonesia mencapai sekitar 44 juta orang (di atas Twitter: sekitar 28 juta). Angka itu hanya kalah oleh India (55 juta pengguna Facebook), tetapi di atas Filipina (29 juta), dan Malaysia (13 juta pengguna).

Pengguna media sosial terbesar di Asia sebenarnya adalah China, yakni sebesar 552 juta jiwa. Tetapi di Negeri Tirai Bambu itu orang tidak menggunakan Facebook, melainkan Qzone.

Dari sisi jumlah penduduk, angka penetrasi pengguna media sosial di Indonesia itu baru 18 persen (dari jumlah penduduk RI), masih dibawah rata-rata penetrasi media sosial penduduk dunia (sekitar 23 persen).

Angka itu juga masih di bawah Filipina (29 persen penduduk) dan Malaysia, yang 45 persen warganya menggunakan media sosial. Meski begitu, melihat pertumbuhan penduduk kita (yang kini berkisar 240 juta), dan naiknya pertumbuhan internet sebesar 27 persen pertahun, maka kita boleh optimistis bahwa pengguna internet kita pada tahun 2014 mendatang akan mencapai sekitar 70 juta jiwa.

Angka itu tentu penting artinya bagi para pengambil keputusan dan politisi yang akan bertarung pada pemilihan umum tahun 2014 itu. Memang kita belum tahu isu apa yang akan mencuat dua tahun lagi. Tetapi kuat dugaan masalah korupsi masih akan mendominasi perbincangan, baik di Senayan, di depan gedung KPK, bundaran HI, maupun di media sosial.

Malah, sangat boleh jadi, kegiatan antikorupsi di media sosial bakal makin marak. Para tokoh antikorupsi yang belakangan ini sangat gencar menggalang kekuatan kini merasa makin yakin bahwa tekanan mereka kepada pemerintah belum lama ini telah membawa hasil yang cukup melegakan. (*)

Syafiq Basri Assegaff
Blogger, Konsultan Komunikasi dan Dosen di Universitas Paramadina, Twitter: @sbasria
(lil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3333 seconds (0.1#10.140)