Mengkritisi wacana perubahan UU KPK

Senin, 23 Juli 2012 - 09:34 WIB
Mengkritisi wacana perubahan UU KPK
Mengkritisi wacana perubahan UU KPK
A A A
WACANA penyidik independen untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berkembang sedemikian rupa dan akan menjadi kenyataan. Bahkan Ahmad Yani, anggota Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa perubahan UU KPK antara lain karena pimpinan KPK menghendaki adanya penyidik independen sehingga UU KPK harus diubah.

Tampaknya pernyataan salah satu pimpinan KPK soal penyidik independen kini menjadi kontraproduktif ketika kemudian ditangkap oleh Komisi III sebagai “pintu masuk” melakukan perubahan UU KPK. Di sinilah letak kelemahan pimpinan KPK dalam mengelola dan mengawal lembaga independen yang superbodi ini.

Sekiranya pimpinan KPK tidak obral pernyataan di muka publik, maka dorongan Komisi III DPR RI untuk mengubah UU KPK tidak muncul, apalagi dorongan perubahan itu semakin kuat ketika banyak anggota DPR RI yang terlibat perkara korupsi ditangani KPK. Anggota Komisi III DPR RI selalu berkilah bahwa perubahan UU KPK justru hendak memperkuat keberadaan KPK. Sebaliknya yang akan terjadi adalah hilangnya wewenang penuntutan dan pengetatan wewenang penyadapan yang jelas melemahkan kekuatan KPK sebagai lembaga superbodi.

Terutama yang dilemahkan adalah wewenang koordinasi dan supervisi serta mengambil alih tugas dan wewenang Polri dan kejaksaan dalam penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Perubahan pada dua wewenang tersebut akan berdampak, pertama, dengan kewenangan penuntutan beralih ke kejaksaan, posisi dan peranan koordinasi serta supervisi beralih kepada tangan kejaksaan sesuai dengan ketentuan KUHAP (P19 sd P21) dan secara faktual posisi serta peranan KPK yang hanya memiliki wewenang penyelidikan dan penyidikan sama sebangun dengan kedudukan, tugas, dan wewenang kepolisian.

Apalagi hanya diberi wewenang sebagai lembaga pencegahan saja. Berdasarkan UU KPK, justru penyidik Polri dan kejaksaan dalam perkara wajib menyampaikan SPDP kepada KPK sebagai lembaga independen yang memiliki fungsi koordinasi dan supervisi. Kedua, KPK juga bukan lagi lembaga independen yang bebas melaksanakan wewenang penyadapan karena harus meminta izin pengadilan terlebih dulu, sedangkan fakta tak terbantahkan masih ada hakim bermasalah.

Ketiga, jika perubahan UU KPK disahkan, posisi dan peranan serta status lembaga superbodi beralih dari KPK kepada kejaksaan karena kejaksaan sekaligus memiliki dua kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam satu tangan. Adapun hal tersebut justru bertentangan dengan kejaksaan yang telah diakui sebagai “master of dominus litis” sesuai dengan tuntutan KUHAP dan konsisten terhadapnya, maka wewenang penyidikan seharusnya dikembalikan kepada Polri yang secara universal diakui memiliki tugas dan wewenang penyelidikan dan penyidikan, bukan pada tangan kejaksaan.

Jika Komisi III DPR RI konsisten terhadap mandat KUHAP, diferensiasi fungsional antara Polri, kejaksaan, dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan dapat dikembalikan secara proporsional. Wacana penyidik independen juga tidak rasional dan tidak proporsional karena sejak pembentukan UU KPK sampai saat ini kinerja KPK telah berjalan baik sesuai dengan mandat UU KPK, bahkan capaian kinerja dalam penindakan telah mencapai 99%.

Ada tiga indikasinya, pertama, perkara korupsi yang ditangani KPK selalu berujung padan penghukuman oleh Pengadilan Tipikor, hanya satu perkara (Sekretaris Gubernur BI) yang dibebaskan. Ada satu perkara lagi Eep dibebaskan, tetapi di MA dijatuhi hukuman. Capaian tersebut membuktikan bahwa kinerja penyidik Polri sangat baik dibandingkan dengan kinerja mereka di institusi asalnya.

Kedua, sampai saat ini tidak pernah ada pernyataan pimpinan KPK sejak jilid I sampai dengan jilid III yang menegaskan kemandulan kinerja penyidik KPK. Ketiga, daripada merekrut penyidik independen, sebaiknya pimpinan KPK merekrut petugas BPKP pegawai KPK yang berstatus PNS dan telah berpengalaman sebagai penyelidik. Rekrutmen petugas BPKP dengan status PNS menjadi penyidik sangat beralasan karena dibenarkan menurut KUHAP.

Wacana penyidik independen juga tidak produktif dan mengabaikan realitas bahwa rekrutmen memerlukan biaya tidak sedikit dan pelatihan dengan waktu yang cukup serta kemungkinan “job seeker” tidak terhindarkan. Alih-alih mengubah UU KPK, lebih efisien dan produktif jika pimpinan KPK memperkuat satuan pengawas internal (SPI) dan jadikan hasil pemeriksaan SPI sebagai bukti petunjuk penyimpangan petugas KPK.

Penguatan Komisi Etik diperlukan, yaitu dengan memasukkan unsur akademisi dan praktisi di luar petugas KPK sehingga akan diperoleh rekomendasi objektif dan positif bagi reorganisasi dan restrukturisasi KPK. Salah satu penguatan SPI adalah agar SPI diberi wewenang melakukan koreksi terhadap yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan KUHAP seperti tidak memberikan kebebasan tersangka untuk menemui penasihat hukum atau keluarganya atau sebaliknya kecuali dalam waktu tertentu.

SPI selain mengawasi perilaku juga mengawasi sejauh mana ketentuan KUHAP dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten oleh penyidik KPK. Bidang pengaduan masyarakat harus diperkuat dengan penambahan tenaga penyeleksi laporan masyarakat yang benar-benar diperlukan langkah tindak lanjut atau tidak sehingga tingkat kepercayaan masyarakat yang dirugikan karena masalah hukum akan meningkat dan KPK tidak dipandang sebagai pilih bulu dalam hal tersebut.

Jika dianggap perlu, tidak ada salahnya membentuk lembaga pengawas KPK daripada membentuk KPK di daerah-daerah. Akhirnya setelah KPK berkiprah selama 10 tahun, pimpinan KPK ternyata juga manusia, bukan malaikat, bahkan juga bukan manusia setengah malaikat.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3063 seconds (0.1#10.140)