Etika lembaga survei

Jum'at, 06 Juli 2012 - 11:30 WIB
Etika lembaga survei
Etika lembaga survei
A A A
SETIAP pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu muncul polemik terkait publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik. Tren kehadiran lembaga survei ini kian menyemarakkan demokrasi elektoral di Indonesia.

Nyaris setiap saat media massa menjadi saluran publikasi hasil riset dari lembaga berbeda-beda. Hasil riset pun kini kecenderungannya menjadi tema utama pemberitaan yang tentu memengaruhi diskursus masyarakat. Karena posisinya yang kian strategis dalam bingkai pemberitaan media (media news framing) inilah, lembaga survei wajib memerhatikan sejumlah nilai etis kerja profesional mereka.

Gelombang survei
Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warga negara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique (opini publik).

Tentu untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS survey (call in survey), internet survey, selain juga scientific survey yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam pemilu. Paling tidak ada tiga gelombang eksistensi lembaga survei di Indonesia.

Pertama, gelombang sentralisasi di mana hampir seluruh aktivitas survei dikelola dan dalam pengendalian pemerintah. Fase ini berlangsung di era Orde Baru. Inisiator awal lembaga survei jenis ini adalah Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta, serta Departemen Penerangan yang lahir Oktober 1968. Salah satu kontribusi lembaga survei ini di pemilu bisa kita lacak misalnya dalam publikasi hasil survei terkait Pemilu 1971.

Saat itu hasil survei menunjukkan Golkar diprediksi memenangi 37,7% suara dalam pemilu. Pemerintah sangat represif mengendalikan hasil survei di luar mainstream, salah satu korbannya adalah PT Survei Business Research Indonesia (Suburi) yang tak bisa bertahan lama. Baru pada 1985 media berpartisipasi melakukan aktivitas riset antara lain dilakukan oleh majalah Tempo dan Kompas yang melakukan survei terkait antusiasme kalangan muda dalam Pemilu 1987.

Kedua, gelombang konsolidasi awal. Ini diawali pada 1999, sesaat setelah reformasi bergulir dan memberi ruang ekspresi berdemokrasi kepada berbagai kekuatan di Indonesia. Kita mencatat sejumlah aktivitas survei mulai eksis antara lain Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan International Foundation for Elections Systems (IFES), selain juga aktivitas survei yang dilakukan kampus-kampus dan media massa. Di fase ini meskipun aktivitas survei sudah ramai, belum mengerucut pada spesifikasi profesional sebagai lembaga survei.

Ketiga, gelombang komodifikasi survei. Fase ini ditandai dengan hubungan yang sangat erat antara lembaga-lembaga survei dan media massa. Pada 2004 survei-survei lebih maju dari sudut metodologi, tidak hanya pre-election, melainkan juga election survey seperti exitpoll ataupun quick count. Saat itu ada kurang lebih tujuh lembaga survei yakni IFES, LP3ES, International Republican Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Sugeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute, dan Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan (Balitbang PDIP).

Survei pemilu
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembaga survei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orang atau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral.

Sangat terbuka lebar kemungkinan ada conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung. Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisa saja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain.

Karena itu, sangat penting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligus operasionalisasinya di lapangan. Di level publikasi hasil survei juga kerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat lembaga survei menaikkan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya.

Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingat keterbatasan rubrik atau air time, serta agenda setting yang menjadi pilihan mereka. Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil. Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam pertarungan isu media.

Untuk itu perlu standar publikasi penyajian hasil riset di media. Di Amerika misalnya ada standar penulisan yang direkomendasikan oleh National Council on Public Polls (NCPP) maupun standar minimum American Association for Public Opinion Research(AAPOR). Untuk itu, di Indonesia juga perlu ada asosiasi profesional lembaga survei yang kuat dan kredibel. Masalahnya, sudahkah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) ini bisa diterima lembaga-lembaga survei kita?

Atau baru sekadar pertarungan prestise dan lahan antarlembaga survei besar yang sudah ada saat ini? Ke depan lembaga survei perlu terus membenahi profesionalitasnya jika tidak ingin terjebak menjadi “tukang” dalam pemenangan!

GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7227 seconds (0.1#10.140)