PKS seriusi ide pembubaran KPK

Rabu, 05 Oktober 2011 - 06:00 WIB
PKS seriusi ide pembubaran KPK
PKS seriusi ide pembubaran KPK
A A A
Sindonews.com - Partai Keadilan Sejahtera berencana mendalami wacana pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebelumnya disampaikan Fahri Hamzah, kader mereka di DPR, saat rapat konsultasi pimpinan DPR dengan penegak hukum, Senin lalu. Pembahasan ini, kata Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, akan melibatkan Dewan Pimpinan Pusat Partai dan Fraksi PKS di DPR.

“DPP PKS akan mengajak Fraksi PKS untuk mendalami wacana tersebut secara objektif dan tidak emosional,” kata Presiden Luthfi dalam pernyataan tertulis kepada Okezone, Rabu (5/10/2011).

Meski demikian, Luthfi menegaskan, pernyataan Fahri Hamzah yang turut disaksikan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief itu, murni pendapat pribadi yang bersangkutan. Sebagai anggota dewan, Fahri memiliki hak konstitusi untuk menyampaikan pendapat. Dan pendapatnya tersebut tidak harus selalu dimaknai sebagai pendapat struktur partai atau fraksinya. Karena PKS sendiri saat ini tidak dalam posisi mengkaji secara khusus posisi KPK, di antara institusi penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi.

Terhadap kontroversi yang timbul dari ucapan Fahri, Luthfi mengajak agar semua kalangan baik akademisi, anggota lembaga swadaya masyarakat, partai politik dan pihak-pihak terkait, untuk mencermati, mendalami konsideran, dan latar belakang setiap pernyataan anggota dewan, tanpa harus menghubungkannya dengan sikap Fraksi PKS.

“Jika yang disampaikan tidak relevan bisa diabaikan. Tetapi jika benar dan baik bagi sistem kenegaraan kita, bisa ditindaklanjuti dan dirumuskan untuk menjadi kebijakan kolektif,” imbuh dia.

Secara pribadi, Luthfi menilai hingga kini masih banyak permasalahan nasional yang belum tuntas. Oleh karena itu, KPK harus menyusun skala prioritas berdasarkan kepentingan nasional secara obyektif karena mereka tak mungkin menyelesaikan seluruh kasus sendirian.

“Skala prioritas berdasarkan kepentingan nasional secara obyektif, bukan berdasarkan kepentingan pihak-pihak yang memiliki akses kuat ke KPK dan atau personelnya,” katanya.

Sama dengan beberapa anggota partai politik lainnya, Luthfi juga menyoroti kinerja KPK dalam mengusut dugaan korupsi dalam kasus Bank Century. Dalam kasus itu, DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah menyatakan terdapat indikasi kuat pelanggaran dalam kasus ini. “Namun KPK belum juga bergerak. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya besar,” ujarnya.

II

Dengan suara lantang, Fahri Hamzah menyampaikan ide pembubaran KPK, Senin lalu. “Lebih baik KPK dibubarkan, karena saya tidak percaya institusi superbody dalam demokrasi. Tidak boleh ada institusi superbody dalam demokrasi,” katanya.

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Tamsil Linrung, rekan Fahri di PKS mengatakan, Fahri memang sudah sejak lama ingin membubarkan KPK. Tamsil adalah salah seorang saksi yang diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah senilai Rp500 miliar di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

“Fahri dari dulu memang begitu. Dia mau membubarkan KPK karena dianggap menghalangi perjuangan dia. Fahri melihat KPK sebagai lembaga intelijen dengan kewenangan menyadap yang tidak jelas dasarnya.”

Pada bulan Juli lalu, perdebatan mengenai pembubaran KPK juga sempat mencuat dengan gaung yang lebih
besar karena disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie. Jika dirujuk ke belakang, sejarah lembaga pemberantasan korupsi memang sejak Orde Baru selalu kandas di tangan para pejabat di negeri ini.

Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin dalam salah satu makalahnya pernah menyebutkan, pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni, Operasi Militer di tahun 1957, Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Operasi Tertib pada tahun 1977, tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).

”Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957,” demikian Jasin.

Dia menambahkan, pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut.

Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya Undang-Undang no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.

”Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi,” ujarnya. Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Menurut Jasin, terdapat 7 kendala program pemberantasan korupsi di Indonesia. Yaitu, dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama.

Keempat, masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan atau partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi. Kelima, tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi.

Keenam, tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, serta ketujuh, lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.

”Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya,” katanya.

Pada tahun 2010, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dilansir Transparency International hanya 2.8, sama dengan tahun sebelumnya. Ini membuat Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara. Indonesia satu grup dengan negara-negara Afrika seperti Ethiopia, Mozambik dan Senegal.

Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tergolong lambat. Sejak tahun 2001 hingga sekarang angkanya tak pernah menyentuh 3. Pada periode 2001-2008 misalnya hanya bergerak sedikir dari 1.9, 1.9, 1.9, 2.2, 2.2, 2.4, 2.3 dan 2.6.

Jika KPK dibubarkan, pemberantasan korupsi akan kembali hanya ditangani kejaksaan dan kepolisian. Faktanya, pada tahun 2009, berdasarkan hasil penelitian Transparency International Indonesia menunjukkan kepolisian adalah lembaga paling rentan suap.

Indeks Suap polisi mencapai 48%, yang berarti dari total interaksi antara responden pelaku bisnis dengan institusi tersebut (n=1218), hampir setengahnya terjadi suap. Menyusul polisi, bea cukai (41%), imigrasi (34%), DLLAJR (33%) dan pemda (33%) adalah lembaga-lembaga yang berada pada urutan paling tinggi kecenderungan terjadi suap.

Jadi, bisa anda bayangkan akan kemana arahnya bangsa ini jika KPK benar-benar dibubarkan?
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9834 seconds (0.1#10.140)