Segera Antisipasi Dampak Sistemik

Jum'at, 20 Maret 2020 - 06:35 WIB
Segera Antisipasi Dampak Sistemik
Segera Antisipasi Dampak Sistemik
A A A
Perekonomian nasional tampaknya akan lebih rendah dibandingkan periode-periode sebelumnya. Dampak wabah korona sudah semakin nyata dan mulai memukul perekonomian nasional.

Nilai tukar rupiah menggunakan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate atau JISDOR sudah di posisi Rp 15.900 per dolar AS. Sedangkan kurs jual di bank-bank besar seperti BCA, BRI dan Bank Mandiri sudah menembus Rp16 ribu per dollar AS. Terpuruknya nilai tukar rupiah tersebut terburuk sejak krisis ekonomi yang menghantam negeri ini pada 1998 lalu.

Tak hanya nilai tukar, pasar saham pun terus menunjukkan tren negatif. Bahkan, otoritas bursa beberapa kali melakukan penghentian aktivitas perdagangan agar indeks harga saham gabungan (IHSG) tak terjerembab terlalu dalam. Tentunya kondisi yang tidak baik-baik saja itu akan memengaruhi perekonomian nasional.

Lembaga pemeringkat Moody’s telah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,9% menjadi 4,8%. Seperti halnya China, asal wabah korona, jika tak diantisipasi, rantai pasokan terganggu dan tak akan mampu memenuhi permintaan konsumsi domestik yang pasti akan meningkat.

Sektor pariwisata dan perdagangan sudah mengalami pelemahan terbesar. Restoran dan hotel sudah merasakan dampak penurunan okupansi. Hal ini membuat perusahaan melakukan efisiensi.Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun mulai terjadi. Penanganan wabah virus yang terlihat kedodoran semakin memperburuk kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha kepada pemerintah.

Arus keluar modal asing semakin deras. Hal ini membuat Bank Indonesia (BI) terpaksa merogoh uang dalam jumlah sangat besar untuk melakukan pembelian terhadap Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual oleh investor asing. Jumlahnya tak tanggung-tanggung menembus Rp195 triliun.

Kondisi perekonomian nasional memang sedang menghawatirkan. Apalagi, belum ada langkah-langkah konkrit dari pemerintah untuk mengatasi maslah yang terjadi dan gejolak yang akan terjadi di masa mendatang. Protokol penanganan krisis belum maksimal, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terkadang tak seiring sejalan.

Namun demikian, kondisi yang terjadi saat ini tak hanya dialami bangsa ini saja, tetapi juga bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Karenanya, perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipatif yang konkrit untuk meredam kejatuhan perekonomian nasional lebih dalam lagi.

Perlu ada sumber perekonomian yang kuat agar tak berdampak signifikan. Berkaca dari pengalaman pada krisis ekonomi 1998 lalu, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM) mampu melewati badai dengan aman. Perekonomian yang morat-marit akibat banyaknya korporasi besar yang bertumbungan ditopang oleh pertumbuhan sektor UMKM yang konstan.

Pemerintah juga perlu mengukur efektifitas beragam insentif yang diberikan kepada sektor usaha. Jangan sampai beragam insentif yang diberikan tersebut malah membuat dunia usaha terlena dan tidak melakukan apa-apa. Insentif yang diberikan harus benar-benar menjamin bahwa dunia usaha akan ikut berperan aktif dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional dan mendorong daya beli agar tetap stabil.

Pemerintah perlu memperhatikan masalah perlambatan ekonomi dan dampak terburuk yang akan menghantam sektor keuangan. Insentif berupa stimulus fiskal harus bisa memperbaiki perekonomian meskipun masih dalam tahap menahan badai yang saat ini menerpa perekonomian nasional. Stimulus fiskal itu harus efektif untuk menahan laju penurunan perekonomian dan harus selalu terukur.

Pemerintah harus mampu menghasilkan kebijakan yang taktis dan strategis. Sebab, krisis ekonomi bukan lagi isapan jempol belaka jika pemerintah tak mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tepat, terukur dan terarah. Jika tidak, ada potensi ekonomi domestik jauh lebih terpuruk dari yang diperkirakan.

Penurunan daya beli masyarakat yang sudah mulai terjadi akan membuat tingkat konsumsi rumah tangga merosot. Padahal, konsumsi rumah tangga saat ini masih menjadi komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) terbesar.

Ekonomi Indonesia sangat bergantung pada konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi rumah tangga menyumbang hingga 56,62% terhadap ekonomi Indonesia sepanjang 2019. Diikuti dengan komponen investasi serta ekspor dan impor. Kekhawatiran masyarakat atas wabah virus asal China ini terus merongrong konsumsi domestik.

Untuk mengatasi kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah tak bisa sendirian, perlu perna aktif masyarakat dan dunia usaha untuk mersama-sama mengatasi persoalan yang terjadi.

Apalagi, dalam kurun lima tahun terakhir, dunia usaha telah dimanjakan oleh beragam insentif sehingga sudah saatnya memberikan summbangan berupa aksi nyata dalam rangka menjaga bangsa dan negara ini dari keterpurukan yang lebih dalam lagi..
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5988 seconds (0.1#10.140)