Omnibus Law dan Kekerasan Struktural

Senin, 17 Februari 2020 - 08:51 WIB
Omnibus Law dan Kekerasan Struktural
Omnibus Law dan Kekerasan Struktural
A A A
JAKARTA - Bhakti Eko Nugroho
Staf Pengajar Departemen Kriminologi Universitas IndonesiaSurat Presiden (Surpres) beserta draf Omnibus Law/Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah disampaikan pemerintah kepada parlemen pada Rabu, 12 Februari 2020. Enam orang Menteri Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 hadir langsung dalam prosesi penyerahan draf Omnibus Law tersebut kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Secara prinsip, tujuan Pemerintahan Jilid II Joko Widodo menginisiasi Omnibus Law adalah menciptakan lompatan pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia yang berada di peringkat ke-7 pada tahun 2019 ditargetkan meningkat ke posisi 5 besar pada 2045 nanti. Menurut pemerintah, lompatan economic growth Indonesia akan lebih mudah tercapai apabila postur peraturan perekonomian ramah terhadap investasi. Dua elemen kunci yang dianggap memiliki signifikansi terhadap hadirnya investasi adalah prosedur izin bisnis dan tenaga kerja. Para promotor Omnibus Law menganggap bahwa kedua aspek tersebutlah yang justru masih menjadi kelemahan Indonesia.

Berdasarkan Ease Business Survey2020 yang dirilis Bank Dunia, kemudahan izin usaha di Indonesia berada diperingkat ke-73 dari total 190 negara. Jauh dibawah posisi Singapura yang berada di peringkat ke-2 atau Malaysia dan Thailand yang berada di urutan ke-12 dan 21. Omnibus Law diharapkan mampu meringkas prosedur izin bisnis di Indonesia yang saat ini diatur oleh lebih dari 24.000 peraturan, baik peraturan pemerintah pusat maupun daerah.

Konon para investor juga tidak tertarik dengan urusan ketenagakerjaan di Indonesia. Selama periode waktu tahun 2004-2018, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah Tiongkok dan Malaysia, namun biaya tenaga kerja (Indeks Unit Tenaga Kerja) Indonesia justru lebih tinggi dari kedua negara tersebut.

Proses pengesahan Omnibus Law akan berdampak terhadap sedikitnya 81 UU dengan 1.244 pasal. 11 klaster pembahasan yang akan menjadi kerangka pewacanaan lanjutan RUU ini adalah (1) penyederhanaan izin bisnis; (2) prasyarat investasi; (3) ketenagakerjaan; (4) pemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM); (5) kemudahan usaha; (6) fasilitasi kegiatan riset dan inovasi; (7) administrasi pemerintahan; (9) pengenaan sanksi; (10) pengadaan tanah dan pemanfaatan kawasan hutan; (11) proyek dan investasi pemerintah, dan optimalisasi kawasan ekonomi.

Esai ini fokus pada pembahasan izin usaha dan kaitannya dengan pelestarian lingkungan serta aspek ketenagakerjaan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak pekerja. (Baca: Menolak Muluskan, PKS Akan Kritisi Omnibus Law Cipta Kerja)

Potensi Kekerasan Struktural

Membangun infrastruktur yang ramah terhadap investasi dengan melonggarkan prosedur pelestarian lingkungan hidup sekaligus abai pada kesejahteraan pekerja akan berpotensi pada berlangsungnya kekerasan struktural. Terminologi kekerasan struktural diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang fokus pada studi-studi mengenai konflik dan perdamaian. Menurut Galtung, peristiwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara langsung (directviolence) dalam bentuk perlukaan fisik atau psikis di mana pelaku dan korbannya berada dalam satu momen waktu dan/atau lokasi yang sama (Galtung & Hoivik,1971).

Kekerasan, sebagai suatu alat kontrol dan alat kuasa (Parsons, 2007), juga bisa terjadi secara tidak langsung. Kekerasan struktural dimulai saat sumber daya terdistribusikan secara timpang. Galtung memberikan contoh bahwa membiarkan kelompok marjinal tidak bisa mengakses layanan kesehatan merupakan bentuk kekerasan struktural; sebab secara substansial, tidak memberikan pertolongan medik kepada orang sakit yang lemah secara ekonomi memiliki dampak penderitaan yang sama dengan peristiwa penyerangan fisik kepada seseorang yang dilakukan secara langsung.

Dalam konteks Omnibus Law, kekerasan struktural bisa berpotensi terjadi apabila wacana perizinan amdal (analisa dampak lingkungan hidup) jadi diperlonggar atau dihapuskan. Dalam proyeksi RUU ini, terdapat diversitas mekanisme penilaian terhadap dampak linkungan berdasarkan jenis usaha. Hanya jenis usaha yang di anggap ”memiliki dampak penting” terhadap lingkungan yang membutuhkan izin lingkungan.

Prosedur untuk memastikan terjaganya keseimbangan ekologi bisa jadi memakan waktu. Bagi badan usaha, bisa jadi proses ini dianggap tidak ekonomis. Dengan prosedur amdal saja sebenarnya bukan jaminan lingkungan hidup kita tetap lestari, apalagi jika prosedur tersebut diperlonggar atau dihilangkan. Suhu panas yang ekstrem, polusi udara, asap akibat pembakaran hutan, banjir, dan peristiwa alam lain yang telah kerap muncul sebagai dampak dari rusaknya lingkungan, akan semakin parah apabila pelestarian alam dikesampingkan dalam upaya pencapaian kemajuan ekonomi. Potensi kekerasan struktural lain yang berpotensi terjadi adalah wacana munculnya sejumlah gagasan dalam RUU yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja. Sejauh ini sejumlah kekhawatiran kelompok-kelompok buruh terhadap Omnibus Law antara lain, wacana penghapusan pengaturan tentang upah minimum, pengurangan jumlah pesangon, dan dekriminalisasi kejahatan yang dilakukan perusahaan dengan memindahkannya kedalam wilayah hukum perdata.

Dengan sudut pandang kekerasan struktural, Omnibus Law berpotensi memiliki fungsi sama dengan buldoser yang menumbangkan pohon-pohon dan mengeksploitasi hutan dalam jumlah masif, serta menjadi mesin yang merepresi posisi pekerja dalam hubungan kerja industrial dengan pemilik modal. Ekses lain dari dampak kekerasan struktural ini (ketidakadilan dan ketimpangan akses terhadap sumber daya dan kesejahteraan) adalah potensi lahirnya kejahatan-kejahatan yang bersifat konvensional. Saat struktur sosial tidak memberikan individu pilihan untuk secara sah memenuhi kebutuhan hidup, maka cara tidak sah akan menjadi jalan keluar yang terpaksa harus dipilih individu untuk bertahan.

Minim Ruang Partisipasi

Muncul kesan bahwa pemerintah menginginkan agar proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law berlangsung cepat. Bahkan, perampungan draf RUU itu menjadi salah satu target dalam 100 hari pertama masa jabatan periode ke-2 Presiden Joko Widodo. Namun proses penyusunan produk hukum yang memiliki dampak luas ini sepatutnya dilakukan dengan membuka ruang partisipasi selebar mungkin. Komunikasi politik dengan seluruh pemangku kepentingan harus segera dilakukan.

Saat esai ini diajukan, belum satu pun situs laman resmi, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif yang mengumumkan RUU Cipta Kerja beserta naskah akademiknya kepada publik. Termasuk kantor-kantor kementerian yang para menterinya mengantarkan langsung draf Omnibus Law itu ke Senayan. Pada beberapa kalangan beredar dokumen digital naskah akademik RUU Cipta Karya setebal 2.276 halaman. Namun, pada naskah tersebut tidak terdapat keterangan tertulis yang jelas bahwa dokumen itu adalah rancangan milik pemerintah yang diajukan ke DPR RI.

Protes publik yang luas selama proses Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang berlangsung pada akhir tahun 2019 lalu, selain problem substansi, juga dipengaruhi buruknya komunikasi politik yang dilakukan oleh eksekutif dan parlemen kepada warga. Harapannya, pemerintah dan DPR RI tidak kembali melakukan kegagalan komunikasi serupa ketika menyusun Omnibus Law ini. Para pembahas Omnibus Law harus memperhatikan betul prinsip efisiensi berkeadilan dan prinsip berwawasan lingkungan yang merupakan basis dalam penyelenggaraan eko nomi nasional (Pasal33 Ayat 4 UUD 1945). Konstitusi harus menjadi mantra yang bisa mencegah negara melakukan praktik kekerasan struktural.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8451 seconds (0.1#10.140)