Intoleransi Masih Jadi PR Serius Periode Kedua Jokowi

Minggu, 03 November 2019 - 19:49 WIB
Intoleransi Masih Jadi PR Serius Periode Kedua Jokowi
Intoleransi Masih Jadi PR Serius Periode Kedua Jokowi
A A A
JAKARTA - Masalah intoleransi masih menjadi permasalahan yang dihadapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua pemerintahannya. Hal ini tercermin dalam hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Hasil survei menunjukkan bahwa secara umum ada sejumlah masalah atau gejala menurunnya kebebasan sipil dan meningkatnya intoleransi pada awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

"Secara umum belum ada perbaikan dalam indikator intoleransi beragama dan berpolitik. Dibandingkan 2018 dan 2019 cenderung stagnan. Dan jika dibandingkan 2017 dan 2016 tampak situasi yang Iebih buruk, khususnya dalam kehidupan berpolitik," papar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan saat mempersentasikan hasil survei nasional LSI bertajuk "Tantangan Intoleransi dan Kebebasan Sipil serta Modal Kerja pada Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo" di Jakarta, Minggu (3/11/2019).

Temuan survei menunjukkan, warga muslim yang intoleran (keberatan) terhadap nonmuslim dalam membangun rumah ibadah sebesar 53 persen. Hanya 36,8 persen yang mengaku tidak keberatan. Dalam soal non-muslim mengadakan acara keagamaan/kebaktian di sekitar mereka, hasilnya lebih baik. Yang keberatan hanya 36,4 persen dan yang merasa tidak keberatan 54 persen.

Yang juga tinggi adalah intoleransi dalam hal politik. Mayoritas Muslim merasa keberatan jika non-muslim menjadi kepala pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden. Yang keberatan jika non-muslim menjadi presiden sebesar 59,1 persen, Yang tidak keberatan 3 1 ,3 persen. Yang keberatan jika non-muslim menjadi wakil presiden sebesar 56,1 persen.

"Yang tidak keberatan 34,2 persen. Yang keberatan jika nonmuslim menjadi gubernur sebesar 52 persen. Yang tidak keberatan 37,9 persen. Yang keberatan jika non-muslim menjadi wakilota/bupati sebesar 51,6 persen. Yang tidak keberatan 38,3 persen," urainya.

Djayadi menambahkan, sikap intoleran kalangan muslim juga tampak dalam hubungan antara mayoritas dan minoritas. Cukup banyak muslim yang setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan muslim mayoritas (37,2 persen). Tapi hanya 14,8 persen yang setuju jika umat Islam yang menjadi minoritas di negara Iain harus mengikuti mayoritas di negara tersebut.

"Karena itu, bisa dimengerti jika ada 67,4 muslim yang setuju dan sangat setuju bila pemerintah seharusnya mengutamakan Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara karena Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Sementara muslim yang berpandangan sebaliknya hanya 23,9 persen," paparnya.

Isu intoleransi di kalangan non-muslim juga dipotret dalam survei yang dilakukan pada 81 7 September 2019 dengan melibatkan 1.550 responden yang terpilih secara acak dengan margin of error sekitar 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen itu.

Mayoritas warga non-Muslim (lebih dari 60 persen) menyatakan tidak keberatan jika muslim menjadi kepala pemerintahan di level mana pun. "ltu artinya, sebagian besar nonmuslim tidak keberatan jika warga muslim menjadi walikota/bupati, gubernur, wakil presiden, maupun presiden," katanya.

Mayoritas non-muslim juga tidak menunjukkan keberatan jika muslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggal mereka dan mengadakan acara keagamaan. Mereka juga terbuka jika ada warga etnis Tionghoa menjadi wali kota/bupati.

"Tapi ada catatan yang perlu mendapat perhatian tentang temuan ini. Jumlah persentase non-muslim yang menyatakan tidak keberatan tampak terjadi penurunan dibandingkan pada tahun lalu. Begitu juga jumlah mereka yang tidak keberatan jika muslim penjadi pemimpin publik dan yang tidak keberatan terhadap kegiatan keagamaan Muslim di sekitar mereka. Jadi peningkatan intoleransi politik juga terjadi di kalangan non-muslim," katanya.

Djayadi juga memaparkan adanya kecenderungan memburuknya sejumlah indikator kebebasan sipil. Publik yang menganggap bahwa sekarang masyarakat takut bicara tentang politik semakin banyak, 43%, dibanding 2014 yang hanya 17%. Mereka yang menyatakan sekarang warga takut karena penangkapan semena-mena oleh aparat hukum juga naik, dari 24% pada 2014 menjadi 38%.

Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut berorganisasi juga naik, dari 10% pada 2014 menjadi 21 %. Hal yang sama juga dalam hal ketidakbebasan beragama, dari 7% pada 2014 menjadi 13%.Dalam hal kebebasan pers juga tampak belum menggembirakan.

Mereka yang beranggapan bahwa media massa kita bebas dan tidak disensor pemerintah cukup banyak, 43%. "Namun yang menyatakan tidak bebas dan disensor pemerintah juga besar, 38%.Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat merasakan kebebasan sipil yang menjadi pondasi demokrasi belum baik dan bahkan cenderung memburuk," tutur Djayadi.

Meski demikian, menurut Djayadi, ada modal yang cukup besar dan bisa dimaksimalkan Pemerintahan Jokowi periode kedua di tengah kabar kurang mengembirakan ini. Tampak ada tren penguatan keyakinan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah landasan berbangsa dan bernegara yang paling baik. Selama tiga tahun terakir juga ditemukan tren penguatan identitas kebangsaan yang dibarengi dengan pelemahan identitas keagamaan dan kesukuan.

Tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi juga masih baik, di level 70 persen. Dan yang tidak kalah penting, komitmen warga terhadap demokrasi masih tinggi (di atas 80 persen) pada 2019.

"Demokrasi merupakan modal yang cukup baik bagi Pemerintahan Jokowi periode kedua. Tantangannya, bagaimana pemerintah memelihara dan meningkatkan kepuasan terhadap demokrasi? Bagaimana pemerintah menjaga dan memperbaiki kecenderungan menurunnya kebebasan sipil, dan mengatasi peningkatan gejala intoleransi di masyarakat baik politik maupun relijius-kultural?" pungkas Djayadi.

Senada dengan Djayadi, CEO & Founder Alvara Research Center Hasanuddin Ali juga mengatakan bahwa di antara tantangan terberat pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke depan yaitu terus berkembangnya intoleransi dan paham radikalisme. Karena itupula, dalam penyusunan kabinet barunya, Jokowi banyak menempatkan kalangan berlatar belakang militer, termasuk di dalamnya kepolisian.

Salah satunya Menteri Agama Fachrul Razi yang merupakan pensiunan militer.Padahal selama ini menteri agama umumnya berasal dari ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau parpol berbasis Islam seperti PPP.

"Salah satu tantangan pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin adalah soal intoleransi dan radikalisme, dan Presiden Jokowi lebih memilih hard approach dalam menangani kasus radikalisme di Indonesia. Karena itu Jokowi memasukkan banyak pensiunan militer masuk dalam Kabinet Indonesia Maju, termasuk Menteri Agama," ujar Hasanuddin.

Dikatakan Hasanuddin, target pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia yang ditekankan Jokowi akan terpenuhi jika kondisi stabilitas Indonesia terjaga. Dari komposisi kabinet yang ada, kata Hasanuddin, sangat terlihat bahwa Jokowi lebih menitiberatkan pada pembangunan ekonomi, dimana komposisi menteri ekonomi yang terdiri dari kombinasi menteri berpengalaman dan muda. "Ini menunjukkan Presiden Jokowi menginginkan adanya akselerasi pembangunan ekonomi secepat mungkin," tutur Hasanuddin.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5341 seconds (0.1#10.140)