Perppu UU KPK

Jum'at, 04 Oktober 2019 - 05:56 WIB
Perppu UU KPK
Perppu UU KPK
A A A
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah diketuk DPR, hingga saat ini masih menjadi bola panas yang terus bergulir. Apalagi, sinyal pemerintah yang akan menge­luar­kan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK masih belum jelas. Sikap tegas pemerintah harus segera ditunjuk­kan dalam mengakhiri polemik tersebut. Intinya, pemerin­tah harus mendukung setiap langkah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Banyak pejabat enggan bicara saat ditanya soal niatan pemerintah untuk penerbitan Perppu UU KPK tersebut. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengaku belum tahu terkait perppu tersebut. Begitu pula Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahkan enggan berkomentar soal Perppu UU KPK.

Mungkin wajar berkomentar demikian karena isu ini sangat sensitif. Dan satu hal lagi, jawaban para pembantu presiden ini seperti menyiratkan bahwa pemerintah sedang “galau” apakah akan menerbitkan perppu atau tidak. Seperti ada “tembok besar kokoh” yang membuat pemerintah belum juga menerbitkan Perppu UU KPK.

Kegalauan pemerintah ini dapat dipahami karena harus menghadapi dua kelompok yang memberikan tuntutan berbeda terkait keberadaan UU KPK yang revisinya baru saja disahkan DPR. Satu sisi, masyarakat dan para penggiat antikorupsi sangat keberatan saat DPR tiba-tiba merevisi UU KPK.

Dalam revisi tersebut, pasal-pasal yang direvisi menyangkut “senjata ampuh” KPK dalam meringkus para koruptor dilucuti mulai penyadapan yang harus mendapat izin Dewan Pengawas hingga KPK bisa menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Akibat revisi UU KPK tersebut, lembaga antirasuah tersebut dinilai seperti macan ompong, karena KPK tidak memiliki “keistimewaan” lagi sehingga hampir mustahil bisa menumpas korupsi yang kita tahu sudah sangat mengkhawatirkan ini. Intinya, masyarakat merasa KPK telah dilemahkan.

Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menolak revisi UU KPK tersebut sampai akhirnya diketuk DPR pada Selasa, 17 September lalu. Keputusan ini pun menuai kontroversi di masyarakat hingga menjadi salah satu isu sentral dalam demo-demo mahasiswa dan anak STM yang terjadi beberapa hari lalu.

Di sisi lain, pemerintah seperti bimbang dengan Perppu UU KPK karena mayoritas partai-partai pendukung ternyata masih bergeming dengan revisi UU KPK. Mereka rata-rata tidak ingin Presiden Jokowi menerbitkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.

Melihat hal ini, posisi pemerintah seperti terjepit.

Terjadi tarik-menarik kepentingan antara kedua kubu tersebut. Antara memenuhi aspirasi mayoritas suara masyarakat atau menyetujui desakan dari para partai-partai politik yang selama ini telah mendukungnya. Di sinilah sebenarnya sikap tegas Presiden Jokowi diuji, terutama terkait komitmennya dalam pemberantasan korupsi.

Kita tahu, dalam banyak kesempatan Presiden Jokowi ber­komitmen dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, sebelumnya, dia berjanji akan terus memperkuat keberadaan KPK. Karena itu, sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah untuk bersikap dalam masalah ini; karena pilihannya sudah jelas, memilih melemahkan KPK dengan taruhan korupsi makin merajalela atau tetap men­dukung KPK (atau malah menguatkan KPK) dengan target negara maju tanpa korupsi.

Semua sadar sesadar-sadarnya bahwa korupsi merupakan biang masalah di negara ini. Korupsi telah membuat negara ini tertinggal dengan negara-negara tetangga yang sebelumnya berada di bawah kita. Karena memang korupsi ini telah merusak tatanan bangsa, tidak saja telah menggarong uang negara, tapi juga telah merusak mental para pejabat dan aparat hukum.

Karena itu, tidak ada cara lain untuk membuat negara ini maju selain memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Dan tanpa komitmen yang kuat, mustahil mengenyahkan korupsi dari Tanah Air.

Sebaliknya, selama ini KPK memang belum optimal dalam men­jalankan tugasnya sehingga bisa dikatakan misi KPK belum berhasil dalam memerangi korupsi, karena masih banyak pejabat yang berani korupsi. Karena itu, banyaknya pejabat yang terkena operasi tangkap tangan sebenarnya bukan merupakan prestasi KPK sebab KPK belum mampu memberikan efek jera.

Berkaca dari sini, kita sepakat bahwa KPK perlu diperbaiki sehingga tidak salah arah, karena revisi UU KPK bukan hal sakral yang dilarang. Namun, revisi tersebut jangan sampai malah melemahkan KPK seperti UU yang telah disahkan DPR tersebut. Belum terlambat untuk memperbaiki negara ini.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4355 seconds (0.1#10.140)